UNTUK apa kita berdoa? Bukankah dengan demikian, kita tidak pasrah dan tak sanggup menerima takdir yang sudah digariskan Tuhan? Bukankah sebagian sufi menyatakan, bahwa rela terhadap takdir Tuhan justru lebih utama, ketimbang kita melawan ketetapan sang waktu?
Dalam aktivitas berdoa, tersirat adanya keangkuhan lantaran seorang hamba menuntut disegerakan “takdir kebaikan” untuknya. Doa yang seharusnya merupakan wujud penghambaan, kemudian menjelma menjadi penentangan terhadap iradah dan ketentuan Tuhan. Barangkali di situlah alasan sebagian berpendapat, bahwa diam dan rela dengan takdir yang telah digariskan lebih utama ketimbang manusia menyibukkan diri dengan berdoa dan meminta pada Tuhan.
Sementara itu, Abul Qasim bin al-Qusyairi menegaskan dalam kata-katanya yang bersayap: “Doa adalah etika penghambaan pada waktu tertentu. Dalam kondisi yang lain, bisa jadi diam lebih baik daripada berdoa. Karena, setiap kondisi dapat diketahui oleh seorang hamba yang berhubungan langsung dengan Tuhannya. Dalam setiap kondisi, ketika seorang hamba memiliki isyarat untuk berdoa, sebaiknya ia berdoa dengan khusyuk. Akan tetapi, ketika kondisi lain ia mendapat isyarat untuk diam, lebih baik ia memilih diam.”
Al-Qusyairi menjelaskan secara mendetil, bahwa ketika kita punya obsesi yang didorong oleh kepentingan nafsu pribadi, lebih baik kita memilih diam dan tak usah berdoa. Tapi, jika di dalam hati terbersit hak Tuhan sebagai tujuan untuk berdoa, maka sebaiknya kita berdoa. Dengan demikian, terkandung kesenyawaan antara niat, doa dan kepentingan yang dituju oleh si pemohon dan pendoa.
Suatu kali, saudagar kaya-raya Abdurrahman bin Auf berdoa, agar dirinya dimiskinkan oleh Allah Swt. Karena, ia merasa khawatir dengan kekayaan yang melimpah justru akan mempersulitnya menyeberangi tangga-tangga hisab yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Tetapi kemudian, apakah doa agar dimiskinkan itu diijabah oleh Allah? Justru tak lama kemudian, Allah menambah dan menambah kembali kekayaan dunia yang dimiliki sahabat Nabi tersebut.
Rupanya dulu ia pernah memiliki tekad, bahwa jika Allah memberinya kekayaan yang melimpah, ia berjanji pada dirinya untuk menanggung biaya dan kesejahteraan hidup bagi mantan istri-istri Rasulullah setelah beliau wafat. Jadi, Allah Maha Tahu kepentingan dan kebutuhan hidup bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa, ketimbang si hamba itu sendiri. Di sini, terdapat konteks yang harmoni dengan petuah Al-Qusyairi di atas, bahwa berdoa maupun tidak, tetap Allah akan menambahkan pundi-pundi kekayaan Abdurrahman bin Auf, lantaran kebutuhan hidup yang melimpah, serta karakteristiknya yang betul-betul amanah.
Dari perspektif umum, aktivitas berdoa identik dengan pengukuhan ketidakmampuan diri serta kebutuhan seorang hamba akan Tuhannya. Ia menetapkan bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah, sebagai implementasi kalimat tauhid. Namun di sisi lain, misalnya dalam kasus Abdurrahman bin Auf tadi menunjukkan, bahwa berdoa pada suasana hati yang tidak tepat, dapat membawa hamba pada suatu perasaan yang keliru dalam menyikapi kehendak Tuhannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah menyatakan bahwa doa adalah inti dari ibadah (mukhul ibadah). Ia laksana pedang bagi seorang mukmin yang dapat menembus perisai takdir kehidupan. Sebagian ulama juga menerjemahkan makna “salat” sebagai aktivitas berdoa. Begitu pentingnya doa dalam menjalin hubungan hamba kepada Tuhannya, hingga setiap ajaran agama yang berkaitan dengan ibadah ketauhidan memiliki esensi yang sama, yakni aktivitas berdoa.
Kita mengenal tabiat Nabi Ibrahim, sebagai nabi yang banyak berdoa, tetapi seperti dikisahkan dalam Tafsir at-Thabari, di saat-saat menentukan ketika ia harus pasrah pada ketentuan Allah, Nabi Ibrahim justru memilih diam. Karena baginya, hanya Allah-lah Yang Maha Tahu keputusan apapun yang akan diberikan kepadanya.
Ketika api unggun besar itu berkobar-kobar, dan saatnya Ibrahim akan dilemparkan ke tengah bara api, Malaikat Jibril menampakkan diri seraya menawarkan, “Apa yang bisa aku bantu, wahai Ibrahim.”
“Jika kepadamu, aku tak butuh bantuan,” jawab Ibrahim dengan tenang.
“Lalu, kepada siapa kau butuh bantuan?”
“Cukuplah Allah yang menjadi Penolong bagiku.”
Ternyata dalam keadaan mendesak, Nabi Ibrahim justru memilih untuk tidak berdoa, melainkan berpasrah sepenuhnya pada ketentuan Allah Swt. Hanya Dia Yang Tahu segalanya, dan hanya Dia Yang berhak menolong hamba-hamba yang perlu ditolong dan dikasihi-Nya. Tak ada kekuatan apapun, baik jutaan jin dan manusia yang sanggup menghentikan keputusan-Nya. Juga tak ada kekuatan apapun yang bisa menolong dan memuluskan rencana seorang hamba, jika Allah menolak dan menghentikannya.
Terkait dengan ini, seringkali diperingatkan dalam Alquran, bagi hamba-hamba yang beriman, hendaknya memperbanyak rasa syukur yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Sebab, banyak orang yang giat berdoa di kala jatuh dan terpuruk, namun mereka lupa untuk mensyukuri nikmat di kala makmur dan lapang. Mereka semestinya menyadari, bahwa anugerah hidup adalah nikmat yang harus disyukuri. Sebab, dengan rasa syukur, Allah menjamin kenikmatan hidup (rizki) akan senantiasa ditambah dan ditambah terus.
Sedangkan, kesibukan menggiatkan doa, belum tentu diijabah oleh Allah, lantaran diselubungi oleh hijab (dosa-dosa) yang sering dilakukan manusia. Untuk itu, jika pun doa itu dipentingkan dan diutamakan, hendaknya seorang hamba (terlebih di era hiper modern ini) lebih memperbanyak istighfar agar diampuni dulu dosa-dosa yang menimbun, barulah hijab untuk dibukannya doa-doa akan terkabulkan.
“Kenapa sedikit sekali manusia bersyukur?” (qalilamma tasykurun). Teguran yang berkali-kali disampaikan Tuhan itu hendaknya diindahkan. Dengan kata lain, manusia seringkali rewel dalam meminta dan berdoa (tangan di bawah) tetapi sedikit sekali memberi dan memuji kebesaran Tuhan (tangan di atas). Kita seringkali ingin banyak diberi oleh Allah, tetapi sedikit sekali memberi untuk fakir-miskin, beristighfar, juga sedikit sekali memuji dan membesarkan keagungan Allah.
Bukankah rizki sebanyak apapun takkan terasa kenikmatannya jika tidak disyukuri? Bahkan, Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Rasulullah pernah menandaskan bahwa kualitas salat yang baik justru sebagai manifestasi rasa syukur. Jadi, mensyukuri nikmat Allah identik dengan ibadah yang paling berkualitas.
Sebagai penutup, ingin saya tegaskan, bahwa para kandidat Presiden RI yang akan melenggang di ajang kontestasi pemilu 2024, hendaknya memperbanyak rasa syukur hingga Allah berwenang memberi kekuasaan kepada figur yang terbaik menurut kehendak-Nya. Rakyat Indonesia hendaknya bukan hanya menyibukkan diri berdoa agar kandidatnya terpilih, tetapi juga memperbanyak rasa syukur.
Meskipun secara ekonomi sangat terbatas. Kita tak memiliki saldo miliaran di ATM dan rekening, tetapi untuk apa uang satu-dua miliar, jika pengeluaran hidup kita bernilai puluhan miliar? Mampukah kita membeli jantung, pankreas, dan hati anak-anak kita jika harus dioperasi dan ditransplantasi? Mampukah kita membeli ketenangan dan ketentraman hidup, jika Allah menentukan diri kita sakit, terpuruk dan terhinakan?
Untuk apa para kandidat dan calon penguasa itu sibuk wara-wiri bersandar pada kekuatan makhluk dan tuhan-tuhan palsu (dukun dan orang pintar)? Selalu saja mereka mementingkan yang instan, lalu melupakan bahwa hanya Allah Yang Memberi pertolongan lahir dan batin? Ya, hanya Dia Yang Berwenang mengangkat hamba-hamba-Nya di tampuk kekuasaan? Bahkan, Dia pula Yang Berwenang memuliakan dan melanggengkan kedudukan, juga Yang Menentukan siapapun dari mereka, yang akhirnya terjengkang dari kursi kekuasaan.
Lalu, kepada tuhan yang mana lagi kalian hendak meminta pertolongan? []