Berikut Fatwa MUI tentang Saham

Berikut Fatwa MUI tentang Saham

Masyarakat memerlukan penjelasan lebih lanjut terkait dhawabith (ketentuan) dan hudud (batasan) tentang Saham Perusahaan dari aspek Syariah.Nah berikut penjelasan fatwa MUI tentang saham.

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI  Nomor: 40/DSN-MUllXl2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal dan Fatwa DSN-MUI Nomor: 80/DSN-MUI/III 2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, belum mengatur kriteria penerbitan, dan pengalihan saham. Berdasarkan pertimbangan ini tentang fatwa MUI DSN MUI menetapkan fatwa tentang Saham untuk dijadikan pedoman.

Ketentuan Umum dalam Fatwa MUI tentang Saham

Dalam fatwa MUI tentang saham yang dimaksud dengan:

  1. Saham adalah bukti kepemilikan atas suatu Perusahaan yang batas bagian kepemilikannya (hishshah sya’i’ah) tidak bisa dipastikan, dan bernilai sarna.
  2. Saham Syariah adalah Saham yang memenuhi ketentuan dan kriteria berdasarkan prinsip syariah.
  3. Saham Biasa (al-Ashum al-‘Adiyah/Common Share) adalah Saham yang mempunyai hak suara untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, mempunyai hak untuk menerima dividen yang dibagikan, dan menerima sisa kekayaan hasil likuidasi.
  4. Saham Preferen (al-Ashum al-Mumtazah/Preferred Share) adalah Saham yang mempunyai hak istimewa melebihi Saham Biasa dalam hal mendapatkan hak menerima dividen lebih dahulu dan/atau dividen secara tetap (fixed dividend) dan/atat hak atas klaim pembagian sisa aset Perusahaan lebih dahulu pada saat dilikuidasi.
  5. Perusahaan adalah Perseroan Terbatas berbentuk badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam Saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
  6. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
  7. Penawaran Umum Saham adalah kegiatan penawaran yang dilalrukan oleh Emiten untuk menjual Saham kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
  8. Modal Dasar (authorized capital) adalah seluruh nilai nominal Saham Perseroan Terbatas yang disebut dalam Anggaran Dasar.
  9. Modal Ditempatkan (issued/subscrtbed capital) adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang Saham untuk dilunasinya, dan Saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki.
  10. Modal Disetor (paid-up capital) adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang Saham sebagai pelunasan pembayaran Saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari Modal Dasar Perusahaan.
  11. Modal Portepel atau Saham Portepel (unissued share) adalah Saharn/modal yang belum dikeluarkan atau belum ditempatkan.
  12. Pasar Perdana Saham adalah kegiatan penawaran ataq penjualan Saham untuk pertama kali oleh penerbit Saham baik yang dilakukan melalui Penawaran Umum maupun tidak melalui Penawaran Umum.
  13. Pasar Sekunder Saham adalah kegiatan untuk mengalihkan Saham dan hak atas Saham yang telah diterbitkan di Pasar Perdana Saham.

Akad Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi harta/modal usaha (ra’s al-mal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional.

Sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional terhadap modal usaha. Syirkah ini merupakan salah satu bentuk Syirkah Amwal dan dikenal dengan nama Syirkah Inan.

  1. Akad Syirkah Musahamah (Syirkah al-Musahamah Dzat al-Mas’uliyyah al-Mahdudah) adalah Akad Syirkah yang kepemilikan porsi (hishshah) modal para mitra atau pemodal berdasarkan Modal Disetor yang dibuktikan dengan Saham.
  • Syirkah Musahamah adalah Perusahaan yang pendiriannya menggunakan Akad Syirkah Musahamah.
  1. Akad Wakalah adalah akad pemberian kuasa dan Muwakkil kepada Wakil untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
  2. Akad Wakalah bi al-istitsmar adalah Akad Wakalah untuk menginvestasikan dan mengembangkan modal Muwakkil baik dengan imbalan (Wakalah bi al-Ujrah) maupun tanpa imbalan (Wakalah bi ghairi al-Ujrah).
  3. Muwakkil adalah pihak yang memberikan kuasa, baik berupa orang (Syakhshiyah thabi’iyah/natuurlijke persoon) maupun badan hukum (Syakhshiyah i’tibariah/syakhshiyah hukmiyah/rechtspersoon).
  4. Wakil adalah pihak yang menerima kuasa, baik berupa orang (Syakhshiyah thabi’iyah/natuurlijke persoon) maupun badan hukum (Syakhshiyah i’tibariah/syakhshiyah hukmiyah/rechtspersoon).
  5. Akad Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (malik/shahib al-mal) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola (‘amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad.
  6. Akad Ijarah adalah akad sewa antara mu’jir dengan musta’jir atau antara musta’jir dengan ajir untuk mempertukarkan manfaat dan ujrah, baik manfaat barang maupun jasa.
  7. Akad Bai‘ adalah akad pertukaran harta yang bertujuan mengalihkan kepemilikan harta tersebut.
  8. Riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang secara mutlak.
  9. Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas dan/atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya.
  10. Maysir (Perjudian) adalah segala bentuk permainan atau transaksi yang disyaratkan adanya suatu harta/materi yang diambil dari pihak yang kalah untuk diberikan kepada pihak yang menang.
  11. Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat.
  12. Risywah (Suap) adalah pemberian yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatalkan perbuatan yang haq (benar menurut syariah).
  13. Al-Ta’addi adalah melakukan suatu perbuatan yang tidak boleh/ seharusnya tidak dilakukan.
  14. Al-Taqshir adalah tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan.
  15. Mukhalafat al-syuruth adalah menyalahi isi dan/atau substansi atau syarat-syarat yang disepakati dalam akad.
  16. Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ peseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan peraturan perundang undangan dan/atau anggaran dasar

Ketentuan Hukum 

Penerbitan dan pengalihan Saham Syirkah Musahamah boleh dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini :

Ketentuan dan Kriteria Syirkah Musahamah 

  1. Persekutuan modal dalam Perseroan Terbatas menggunakan Akad Syirkah Musahamah yang merupakan salah satu pengembangan dari Syirkah Inan yang memiliki tanggung jawab secara terbatas dan larangan pembatalan (faskh) dari salah satu mitra (syarik) sampai dengan pembubaran Syirkah. 
  2. Ra’s al-mal (modal usaha) yang disertakan para mitra (syarik/pemegang Saham) menjadi milik Perusahaan; dan Perusahaan menjadi milik para mitra yang ber-syirkah.
  3. Hak a’mal masing-masing mitra ditentukan dan dilimpahkan kepada direksi Perusahaan melalui mekanisme musyawarah (Rapat Umum Pemegang Saham) yang hak suaranya ditentukan berdasarkan jumlah porsi kepemilikan (hishshah) atas Perusahaan (jumlah Saham yang dimiliki).
  4. Akad antara Perusahaan dengan pengurus Perusahaan yang ditentukan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham, adalah Akad Ijarah, Akad Wakalah bi al-Istitsmar atau Akad Mudharabah.
  5. Pengurus Perusahaan harus amanah dan memegang prinsip kehati hatian dalam mengelola Perusahaan.
  6. Akad antara Perusahaan dengan pegawai/karyawan adalah Akad Ijarah.
  7. Bagi hasil untuk pemegang Saham dalam Syirkah Musahamah harus berasal dari laba usaha Perusahaan.
  8. Perusahaan wajib membagikan laba usaha (jika ada) kepada pemegang Saham berupa bagi hasil/dividen berdasarkan:
  • jumlah porsi modal (hishshah) atau Saham yang dimiliki; atau
  • nisbah yang disepakati di awal, kecuali ada keputusan lain berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (mekanisme musyawarah untuk mufakat).
  1. Kekayaan Perusahaan merupakan kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi pemegang Saham.
  2. Pemegang Saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perusahaan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian dan utang Perusahaan yang melebihi jumlah Saham yang dimilikinya, kecuali apabila kerugian disebabkan oleh tindakan pemegang Saham.
  3. Perusahaan harus menyatakan bahwa Pemegang Saham memiliki tanggung jawab yang terbatas (dzimmah mustaqillah) baik melalui penyataannya sendiri atau berdasarkan peraturan perundang undangan yang menyatakan hal tersebut..
  4. Pemegang Saham tidak bisa mengakhiri (faskh) keikutsertaan dalam Perusahaan, kecuali atas dasar kesepakatan sebagian besar pemegang Saham lainnya melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham atau karena peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan tentang Saham Syariah dan Penerbitannya

  • Setiap unit Saham Syariah memiliki nilai kepemilikan yang sama Keempat (mutasawiyah al-qimah).
  • Modal Dasar dalam bentuk Modal Ditempatkan dapat disetor secara bertahap.
  • Saham Portepel (Modal Portepel) dan Modal Ditempatkan yang belum disetor merupakan bagian dari struktur Modal Dasar Perusahaan, tetapi belum boleh diakui sebagai Saham Syariah dan tidak memiliki hak yang melekat pada Saham Syariah.
  • Perusahaan dapat menerbitkan Saham Syariah baru untuk menambah modal Perusahaan dengan syarat menggunakan nilai wajar Saham.
  • Dalam hal Perusahaan menerbitkan Saham Syariah baru sebagaimana yang dimaksud pada angka 4, pemegang Saham lama memiliki hak untuk membeli Saham Syariah baru tersebut terlebih dahulu (haq al-awlawiyah/Hak Membeli Efek Terlebih Dahulu/HMETD).
  • Penerbitan Saham Syariah boleh dilakukan dalam jenis Saham Biasa (al-Ashum al-‘Adiyah/Common Share) dan tidak boleh dilakukan dalam jenis Saham Preferen (al-Ashum al-Mumtazah/Preferred Share).
  • Penerbitan Saham Syariah harus terhindar dari unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah antara lain: Riba, Gharar, Maysir, Tadlis, Dharar (membahayakan/merugikan), Risywah, haram, zhulm (penganiayaan) dan maksiat.
  • Dalam proses penerbitan Saham Syariah diperbolehkan adanya biaya-biaya penerbitan secara wajar.
  • Penjaminan emisi (dhaman al-ishdar/underwriting) dalam penerbitan Saham Syariah diperbolehkan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.

Transaksi Saham Syariah di Pasar Perdana Saham dan Pasar Sekunder Saham

  1. Transaksi Saham Syariah di Pasar Perdana Saham menggunakan Akad Syirkah Musahamah jika Saham Syariah yang ditawarkan ke publik berasal dari Saham Portepel.
  2. Transaksi Saham Syariah di Pasar Perdana Saham menggunakan akad jual beli (Akad Bai’) jika Saham Syariah yang ditawarkan ke publik berasal dari Saham Syariah yang dimiliki pemegang Saham sebelumnya.
  3. Mekanisme pengalihan kepemilikan Saham Syariah dan hak yang memiliki nilai ekonomis atas Saham Syariah, yaitu Waran dan HMETD dapat dilakukan antara lain dengan cara jual beli (Akad Bai’), hibah, wakaf, infak, zakat, hadiah dan/atau cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
  4. Dividen yang diterima atas Saham Syariah dapat dialihkan dengan cara hibah, wakaf, infak, zakat, hadiah dan/atau cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
  5. Pada prinsipnya jual beli Saham suatu perusahaan wajib terbebas dari unsur riba dan unsur-unsur haram lainnya, antara lain utang berbasis riba dan/atau pendapatan yang haram.
  6. Jika prinsip pada angka 5 di atas tidak dapat diwujudkan, dengan pertimbangan kaidah umum al-balwa dan kaidah al-katsrah wa al gillah wa al-ghalabah, maka boleh melakukan transaksi jual-beli Saham Perusahaan dimaksud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
  • Kegiatan usaha Perusahaan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;
  • Total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat puluh lima persen);
  • Total pendapatan tidak halal dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh persen); dan
  • Pemegang Saham yang menerapkan prinsip Syariah harus memiliki mekanisme pembersihan kekayaan dari unsur-unsur yang tidak sesuai dengan prinsip Syariah.
  1. Mekanisme transaksi Saham pada pasar regular Bursa Efek harus mengikuti ketentuan (dhawabit) dan batasan (hudud) sebagaimana terdapat dalam fatwa Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek.

Penyelesaian Perselisihan 

Penyelesaian sengketa wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku:

  1. melalui musyawarah mufakat,
  2. melalui lembaga penyelesaian sengketa, antara lain melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau Pengadilan Agama apabila musyawarah mufakat tidak tercapai.

Penutup 

Fatwa MUI tentang saham ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Demikian penjelasan lengkap fatwa lengkap DSN MUI tentang Saham. Semoga fatwa MUI tentang saham ini bermanfaat.

BINCANG SYARIAH