Cap iblis sebagai pembangkang setelah terang-terangan menolak perintah Tuhan supaya bersujud kepada Nabi Adam menjadi tantangan tersendiri bagi manusia. Sebab setelah itu, iblis memproklamirkan diri sebagai musuh utama manusia sampai hari kiamat karena permintaannya untuk hidup abadi dikabulkan. Kerjaannya tidak lain adalah menjerumuskan keturunan Adam ke dalam lembah kesesatan. Kata iblis, “Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua”. (QS. al Hijr: 39).
Usaha penyesatan iblis itu dilakukan dengan seribu cara, mulai dari yang halus sampai yang kasar. Salah satunya ghuluw atau berlebihan dalam beragama yang menjadi sumber sikap fanatisme. Sikap ini, apabila telah akut dalam pribadi seseorang akan menjadi virus berbahaya, apalagi fanatisme berlebihan dalam agama, dan lebih berbahaya lagi kultus individu. Apabila berlarut-larut akan mengkristal menjadi kebutaan dan ketulian sehingga yang bersangkutan menjadi individu yang tertutup dan susah untuk diajak berdialog.
Ghuluw sangat berbahaya karena menjadi model kesesatan yang sulit disembuhkan. Beda jika seseorang hanya sesat karena keliru memahami teks-teks keagamaan, ia lebih mudah diluruskan dengan penyadaran intelektual. Tapi apabila ghuluw sudah merasuki kalbu manusia menjadi sulit dikembalikan ke jalan asal keagamaannya yang “waras”. Inilah salah satu trik iblis menyesatkan manusia.
Hari ini dan kemaren, media memberitakan penyerangan terhadap ustad. Mungkin saja kasus kriminal biasa . Namun, penyebabnya yang paling mungkin karena soal materi ceramah yang disampaikan tidak sesuai dengan anutan penyerang atau aktor dibaliknya. Kalau kemungkinan kedua yang menjadi penyebabnya, maka, ini jelas sebuah kegilaan sikap beragama.
Fenomena kegilaan seperti ini jelas dilakukan oleh orang yang tidak waras dan bukan oleh orang yang waras. Benar, ini akibat ghuluw yang telah merasuki hati pelaku. Untuk itu, hal seperti ini harus diungkap seterang-terangnya karena akibatnya sangat serius. Persatuan dan solidaritas sosial-keagamaan yang selama ini terbangun dengan indah akan hancur. Dan jelas ini mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa.
Nabi Muhammad sebagai juru selamat manusia kemudian mewanti-wanti dan memberi solusi terlepas dari perangkap ghuluw. Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda, “agama itu mudah, jangan berlebih-lebihan dalam agama, karena jika demikian agama yang akan menundukkanmu (menjadi fanatik)”.
Celakanya, masih banyak yang terpedaya oleh ghuluw meski Nabi telah mengingatkan. Mereka membentuk ruang-ruang pembenaran yang dipaksakan atas nama agama. Mereka menganggap mencaci, menghina, memaksa, mengintimidasi, mempersekusi, menuduh kafir dan sejenisnya sebagai pekerjaan agama yang bernilai pahala.
Lebih jauh, tentu akan berakibat pada tumbuhnya sikap intoleransi. Selanjutnya bisa ditebak, pasti kekacauan dan bahkan kekerasan pasti lahir sebagai reaksi atas perbedaan yang ada dan atas kenyataan-kenyataan sosial yang semakin berkembang. Dan itu, bila dibiarkan terus berlanjut akan menjadi petaka bagi bangsa Indonesia yang plural; agama, etnis dan golongan.
Solusinya, “Yang waras jangan mengalah”. Dalam arti terus melakukan upaya membentengi umat Islam dari virus ghuluw. Maka konsep moderasi beragama seperti digagas NU dan Muhammadiyah harus terus ditingkatkan gairahnya sebagai basis perjuangan menjaga keutuhan bangsa dari rongrongan orang-orang “gila bergama” yang mafsadatnya menjadi bom waktu dan kapan saja bisa meledak menghancurkan tatanan kedamaian di negeri ini.