SUATU ketika ada seorang perempuan hitam datang menghadap Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Siapakah engkau?” Wanita itu berkata, “Saya adalah Ummu Muldam.”
Beliau bersabda lagi, “Apa yang bisa engkau kerjakan, wahai Ummu Muldam?” Ia berkata lagi, “Saya memakan daging dan mengisap darah, dan panas saya berasal dari uap neraka jahanam.”
Nabi SAW memandang tajam wanita itu seolah ingin menegaskan sesuatu, yang beliau telah menduganya. Maka wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah penyakit panas. Allah memerintahkan saya mewujud dalam wanita hitam ini untuk menghadap engkau. Sekarang utuslah saya kepada suatu keluarga yang paling engkau cintai.”
Nabi SAW memerintahkan wanita itu mendatangi suatu keluarga Anshar, dan para sahabat itu langsung menderita sakit panas. Setelah seminggu berlalu bersabar dalam sakit panas itu, keluarga Anshar itu mengirim utusan kepada Nabi SAW untuk mengabarkan keadaan sakitnya. Maka beliau memanjatkan doa kepada Allah untuk kesembuhan keluarga Anshar tersebut.
Setelah sembuh para sahabat Anshar itu datang menghadap Rasulullah SAW, dan beliau menyambutnya dengan gembira, “Selamat wahai kaum yang telah disucikan oleh Allah dengan sesuci-sucinya.”
Dalam kesempatan lainnya, Nabi SAW menyatakan, bahwa ketika sakit panas datang pada seorang mukmin, nyawa sang mukmin itu akan berkata, “Wahai penyakit panas, apakah yang engkau inginkan dari jiwa yang mukmin ini?”
Penyakit panas berkata, “Wahai nyawa yang baik, sesungguhnya jiwamu ini tadinya suci, kemudian dikotorkan dengan dosa-dosa dan kesalahan, maka aku datang untuk menyucikannya kembali.”
Maka nyawa itu berkata, “Kalau begitu datanglah, datanglah, datanglah ke sini, lalu sucikanlah jiwa ini.”
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Nabi SAW menjelaskan bahwa Allah berfirman, “Demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku, Aku tidak akan mengeluarkan seseorang dari dunia (yakni mematikannya) padahal Aku berkehendak memberi rahmat kepadanya, sehingga Aku bersihkan ia dari dosa yang dilakukannya, dengan (memberikan) penyakit dalam tubuhnya atau kesulitan dalam kehidupannya. Apabila masih ada dosa dalam dirinya, maka aku beratkan ia dalam kematiannya (sakaratul mautnya) sehingga ia datang kepada-Ku sebagaimana ia dilahirkan oleh ibunya.
Dan Aku tidak mengeluarkan seseorang dari dunia padahal Aku berkehendak menyiksanya, sehingga Aku membayar tunai setiap kebaikan yang dilakukannya dengan kesehatan di tubuhnya, atau kelapangan dalam kehidupannya (rezekinya). Apabila masih ada sisa kebaikannya, maka Aku mudahkan kematian baginya (sakaratul mautnya), sehingga ia datang kepada-Ku dan sama sekali ia tidak membawa kebaikan (yang belum dibayar/dibalas).”