Ibadah haji memiliki karakteristik ibadai yang tidak kaku dalam pelaksanaannya. Sehingga bagi orang yang sudah mampu secara ekonomi namun fisik tidak maka dapat diwakilkan.
Ichsanuddin Kusumadi dalam bukunya Memahami Haji dan Umrah mengatakan, kebolehan mewakilkan ibadah haji, sesuai pendapatnya Imam Syafi’i.
“Imam Syafi’i berpendapat atas wajibnya mewakilkan,” katanya.
Jadi menurut pendapatnya seseorang yang mempunyai harta yang mencukupi bagi orang lain untuk menghajikan dirinya, jika dirinya memang tidak sanggup mengerjakan Haji sendiri, maka wajib atasnya mengongkosi orang lain untuk berhaji atas namanya.
“Yakni atas nama pemilik harta dengan hartanya itu,” katanya.
Jika ada lain baik saudara maupun bukan, yang sanggup menghajikan dirinya, maka gugurlah kewajiban hal tersebut.
Sementara, Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid menjelaskan secara singkat akan hukum mewakili ibadah haji, yaitu bahwa mengenai seseorang yang tidak sanggup mengerjakan sendiri ibadah hajinya, tetapi ia sanggup mewakilinya kepada orang lain, maka Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib atasnya mewakilkan.
Ichsanuddin Kusumadi mengatakan, silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan hadis. Pertama yang menggunakan qiyas menghendaki bahwa dalam urusan-urusan beribadah dan itu seseorang tidak bisa mewakilkan orang lain. Seperti halnya dalam salat seseorang tidak dapat mengerjakan salat atas nama orang lain.
“Itu berdasarkan kesepakatan fuqoha,” katanya.
Berdasarkan hadis yang bertentangan dengan qiyas tersebut adalah Hadits Ibnu Abbas ra yang terkenal dan diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya. Sesungguhnya seseorang perempuan dari Khatami berkata kepada Rasulullah SAW.
“Ya Rasulullah kewajiban hamba-hamba Allah terhadap-Nya ialah ibadah haji dan aku menjumpai ayahku sudah lanjut usia dan tidak sanggup bertahan di atas kendaraan. Apakah aku boleh menghajikannya? “Nabi SAW bersabda, “Ya” dan ini terjadi pada Haji Wada. (HR Bukhari Muslim).