Bolehkah Mengafani Jenazah dengan Baju Gamis?

Bolehkah Mengafani Jenazah dengan Baju Gamis?

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ جَاءَ ابْنُهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ اللهِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ قَمِيصَهُ أَنْ يُكَفِّنَ فِيهِ أَبَاهُ، فَأَعْطَاهُ

Ketika ‘Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia, anak laki-lakinya -yaitu ‘Abdulah bin ‘Abdullah- datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya memohon kepada beIiau agar sudi memberikan baju beliau kepada Abdullah untuk kain kafan ayahnya, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bajunya kepada Abdullah.” (HR. Bukhari no. 1269 dan Muslim no. 2400)

Hadis di atas menunjukkan bolehnya mengafani jenazah dengan baju gamis ketika ada tujuan syar’i. Jika tidak ada, maka yang lebih baik adalah meninggalkannya karena baju gamis itu memiliki lengan baju. Hal ini karena jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah dikafani dengan baju gamis.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ بَعْدَ مَا دُفِنَ، فَأَخْرَجَهُ، فَنَفَثَ فِيهِ مِنْ رِيقِهِ، وَأَلْبَسَهُ قَمِيصَهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi (jenazah) ‘Abdullah bin Ubay setelah dimasukkan ke dalam kubur, lalu beliau mengeluarkannya, memberkahi dengan ludahnya, dan memakaikan baju beliau kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1270)

Zahir hadis ini tampaknya bertentangan dengan hadis dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini karena hadis Ibnu ‘Umar menunjukkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay bin Salul meminta gamis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar dapat digunakan untuk mengafani jenazah bapaknya (‘Abdullah bin Ubay bin Salul). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberikan baju gamis beliau kepadanya. Sedangkan hadis Jabir menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakaikan gamis beliau kepada jenazah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul setelah menggali kuburnya, memberkahi dengan ludahnya, kemudian baru memakaikan baju gamis beliau ke jenazahnya.

Penjelasan atas hal yang tampaknya kontradiktif ini adalah sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

فَأَعْطَاهُ

Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bajunya kepada Abdullah.” adalah “beliau mengiyakan permintaannya.” Artinya, beliau berjanji akan memberikan baju gamisnya, tetapi tidak langsung diberikan pada saat itu juga.

Demikian pula, perkataan Jabir radhiyallahu ‘anhu,

بَعْدَ مَا دُفِنَ

setelah dimasukkan ke dalam kubur … “ adalah “tunjukkan kepadaku makamnya”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan jenazah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul agar dapat memenuhi janji beliau untuk mengafani jenazahnya dengan baju gamis beliau.

Ada juga ulama yang memberikan penjelasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada awalnya sudah memberikan salah satu baju gamisnya. Kemudian setelah jenazah dimakamkan, beliau memberikan lagi baju gamis kedua karena permintaan dari anaknya. (Lihat Fathul Baari, 3: 139)

Sebab mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan baju gamis beliau untuk mengafani jenazah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul adalah sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,

لَمَّا كَانَ يَوْمَ بَدْرٍ أُتِيَ بِأُسَارَى، وَأُتِيَ بِالعَبَّاسِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ثَوْبٌ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ قَمِيصًا، فَوَجَدُوا قَمِيصَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ يَقْدُرُ عَلَيْهِ، فَكَسَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهُ، فَلِذَلِكَ نَزَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيصَهُ الَّذِي أَلْبَسَهُ

Ketika terjadi perang Badar, tawanan-tawanan perang didatangkan dan di antaranya adalah Al-‘Abbas yang tidak mengenakan pakaian. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang perlu dicarikan baginya gamis (baju). Lalu mereka mendapatkan gamis ‘Abdullah bin Ubay yang cocok buat ukuran badannya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan gamis itu kepada Al-‘Abbas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melepas gamis yang dipakaikannya (kepada ‘Abdullah bin Ubay saat pemakamannya di kemudian hari).

Ibnu ‘Uyainah berkata,

كَانَتْ لَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يُكَافِئَهُ

Abdullah bin Ubay pernah punya jasa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga beliau suka untuk membalasnya.” (HR. Bukhari no. 3008)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka di antara maksud (tujuan) syar’i untuk mengafani dengan baju gamis adalah:

Pertama, untuk membalas jasa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul yang telah berbuat baik dengan memberikan baju gamis kepada kepada paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Al-‘Abbas ketika perang Badar.

Kedua, untuk menentramkan atau melegakan hati anaknya, yaitu sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay, yang telah mengajukan permintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena meskipun bapaknya adalah gembong orang munafik, anaknya (‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay bin Salul) adalah seorang sahabat yang saleh.

Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut juga menunjukkan kemuliaan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau tidak membalas keburukan dengan keburukan. Bahkan beliau membalas dengan kebaikan. Hal ini menunjukkan kemuliaan akhlak beliau yang bersedia memberikan baju gamisnya untuk seorang gembong munafik yang menjadi musuhnya dan telah menyakiti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya. (Lihat Tashilum Ilmam, 3: 31)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

والافضل ان لا يكون في الكفن قميص ولا عمامة فان كانا لم يكره لكنه خلاف الاولى

Yang lebih baik adalah tidak mengafani jenazah dengan baju gamis atau serban (imamah atau tutup kepala), meskipun keduanya tidaklah dimakruhkan. Akan tetapi, hal itu (mengafani dengan baju gamis) menyelisihi yang lebih utama (yaitu dengan tiga lapis kain kafan, pent.).” (Al-Majmu’, 5: 194)

Sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah di atas, yang lebih baik adalah mengafani jenazah dengan tiga lapis kain, sebagaimana yang disebutkan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفِّنَ فِي ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ، سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلاَ عِمَامَةٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (ketika wafat) dikafani jasadnya dengan tiga helai kain yang sangat putih terbuat dari katun yang berasal dari negeri Yaman. Dan tidak dikenakan kepada (jenazah) beliau baju gamis dan serban (tutup kepala).” (HR. Bukhari no. 1264 dan Muslim no. 941)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis (Ibnu ‘Umar) di atas, terdapat dalil bolehnya mengafani jenazah dengan baju gamis yang berjahit. Seandainya jenazah dikafani dengan kain berjahit, hal itu sudah mencukupi. Akan tetapi, hendaknya mengafani dengan kain kafan yang telah disebutkan di hadis sebelumnya (yaitu hadis Aisyah, pent.) sebagaimana kain kafan jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, itulah yang lebih baik (lebih afdal). Akan tetapi, jika dikafani dengan baju sesuai kebiasaan, yaitu yang memiliki lengan baju dan saku, atau memakaikannya dengan baju sebagaimana kondisinya ketika masih hidup, hal itu sudah mencukupi (boleh). Inilah dalil yang ditunjukkan oleh hadis Ibnu Umar tersebut.” (Tashilum Ilmam, 3: 31)

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 9 Syawal 1444/ 30 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 267-268) dan Tashilul Ilmam (3: 30-31).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84702-bolehkah-mengafani-jenazah-dengan-baju-gamis.html