Bolehkah Perempuan Berpolitik

Bolehkah Perempuan Berpolitik

Bolehkah perempuan berpolitik? Sebagai negeri demokrasi, Tentunya membutuhkan campur tangan dari banyak elemen. Agaknya perempuan juga harus hadir mengisi pos-pos pemerintahan, yang mana memang biasanya struktural tersebut lebih maslahat diisi perempuan. 

Sebutlah nama besar seperti Sri Mulyani, Khofifah Indar Parawansa, dan seabrek nama lainnya, yang dengan gigih mengabdikan diri kepada negara. Atau dalam spektrum global, kita menemui nama elit politik yang bersinar seperti Ratu Bilqis (penguasa Yaman di era Nabi Sulaiman As), Ratu Elizabeth (Ratu UK), dan Halimah Yacob (Presiden Singapura), serta lainnya. 

Kalau boleh dianalogikan, politik itu semacam pisau. Boleh jadi bermanfaat, namun juga riskan memberikan madharat. Maka dari itu, tergantung pelaku politiknya. Tidak semua elit politik itu buruk, beberapa dari mereka juga pasti ada yang memang benar-benar ingin memberikan maslahat. 

Sebagaimana definisi politik yang diutarakan oleh Ibnu Aqil, di mana beliau menjelaskan;

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ فِعْلًا يَكُونُ مَعَهُ النَّاسُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ، وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ.

“Politik merupakan berbagai hal yang sifatnya praktis yang mendekati kemaslahatan bagi manusia dengan tujuan menjauhkan dari kerusakan meskipun tak digariskan oleh Rasulullah Saw.” (Ibnu Al-Qayyim, Al-Thuruq Al-Hukmiyyah fi al-siyasah al-syar’iyyah  Halaman 12) 

Maka seyogyanya seorang elit politik mencurahkan tenaganya untuk memberikan kemaslahatan pada publik, dan biasanya yang peka terhadap masalah beginian adalah kaum hawa. 

Lalu bolehkah seorang perempuan berpolitik? Jawabannya adalah boleh, bahkan untuk menjadi Hakim pun boleh dalam pandangan beberapa Ulama’. Meski tidak ada redaksi yang secara implisit menyatakan kebolehan berpolitik, namun ada banyak literatur yang memberikan implikasi pemahaman bahwa perempuan boleh berpolitik. 

Misalnya dalam konteks perempuan menjadi Hakim, Pakar hukum Islam kontemporer, Prof Wahbah Al-Zuhaili dalam salah satu magnum opusnya yang berjudul Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh memetakan masalah ini dari berbagai pro kontra para Ulama’. Dituliskan;

اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة، والاجتهاد

“Imam-imam mazhab sepakat bahwa hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran, penglihatan, dan percakapan yang baik. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal syarat ‘adalah’ (sejenis kesalehan), jenis kelamin laki-laki, dan kemampuan ijtihad,” 

Terkait status jenis kelamin, Syekh Wahbah Al-Zuhaili membahasnya dengan panjang lebar. Beliau menyatakan;

وأما الذكورة: فهي شرط أيضاً عند غير الحنفية، فلا تولى المرأة القضاء؛ لقوله صلّى الله عليه وسلم: «لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة»، ولأن القضاء يحتاج إلى كمال الرأي وتمام العقل والفطنة والخبرة بشؤون الحياة، والمرأة ناقصة العقل، قليلة الرأي، بسبب ضعف خبرتها واطلاعها على واقع الحياة، ولأنه لا بد للقاضي من مجالسة الرجال من الفقهاء والشهود والخصوم، والمرأة ممنوعة من مجالسة الرجال بعداً عن الفتنة، وقد نبه الله تعالى على نسيان المرأة، فقال: {أن تضل إحداهما فتذكِّر إحداهما الأخرى} [البقرة:282/ 2] ولا تصلح للإمامة العظمى ولا لتولية البلدان، ولهذا لم يولِّ النبي صلّى الله عليه وسلم ولا أحد من خلفائه ولا من بعدهم امرأة قضاء ولا ولاية بلد.

“Adapun jenis kelamin, maka ini juga menjadi syarat untuk menjadi koti dalam pandangan mazhab selain Imam Abu Hanifah. Sehingga seorang perempuan itu tidak boleh menjadi seorang Hakim karena Rasulullah SAW itu bersabda “tidak akan sukses suatu kaum ketika mereka itu menyerahkan ke pemerintahannya kepada seorang perempuan” dan juga karena masalah peradilan itu membutuhkan pada kesempurnaan pandangan, akal, kecerdasan, dan pengalaman. 

Sedangkan seorang perempuan itu dalam pandangan beberapa ulama tidak terlalu bisa manajemen akalnya nalarnya juga lemah yang demikian ini ditengarai sedikitnya pengalaman dan pembacaannya atas realitas kehidupan. Yang demikian juga adalah karena seorang Hakim itu harus berinteraksi dengan laki-laki yang mana mereka banyak mengisi pos ahli fiqih, saksi dan juga para pelaku kriminil, sedangkan seorang perempuan itu dilarang untuk berinteraksi dengan lelaki guna untuk menghindari fitnah. 

Sungguh Allah telah memperingatkan kita atas sifat lupanya seorang perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya “supaya jika seorang lupa maka ada seorang mengingatkannya”. 

Dengan demikian seorang perempuan itu tidak patut untuk menjadi kepala pemerintahan dan pejabat negara, oleh karenanya Rasulullah SAW itu tidak menyerahkan kepemimpinan (baik hakim agung, maupun pejabat negara) kepada seorang perempuan demikian pula dilakukan oleh para khalifah dan pejabat setelahnya.”

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya hukum seorang perempuan berpolitik, ketika memang memiliki kompetensi diperbolehkan untuk berpolitik, Bahkan dalam pandangan Sebagian ulama itu di legitimasi untuk menjadi seorang Hakim atau Mufti Agung. Keterangan ini disarikan dari kitab yang berjudul Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Al-Zuhaili.

Sekian penjelasan terkait hukum perempuan berpolitik. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH