Apakah mempermainkan dunia membuat hidup menjadi miskin dan menderita?
Banyak literatur menjelaskan tentang dunia ini sebagai tempat sementara. Kita tak mungkin hidup kekal di dalamnya. Pasti akan mati. Setelah itu, amal kita akan ditanya dan dipertanggungjawabkan.
Meskipun hanya sementara, ada saja orang yang asyik menikmati kehidupan dunia. Mereka menikmati harta benda. Semua yang dimiliki hanya dinikmati dirinya, hanya secuil, bahkan tak ada, yang dibagikan kepada dhuafa.
Lainnya adalah yang memegang kekuasaan. Orang semacam ini asyik menggunakan kekuasaan untuk syahwat dirinya, sehingga merasa memiliki semuanya. Dia lupa bahwa segala yang ada di alam ini adalah milik Allah. Jadilah ia sombong dan merasa berada di atas segalanya.
Dia mempunyai kalbu keras seperti batu. Dia mempunyai hati, tapi tak memahami hakikat dirinya. Mempunyai mata, tapi tak melihat kebenaran yang ditampakkan Allah. Ada telinga, tapi tak mendengarkan yang benar. Mereka yang cinta dunia ini nantinya berperilaku seperti binatang, bal hum adhall, lebih parah lagi atau lebih sesat lagi, kata Allah, dalam surah al-Araf ayat 179.
Berbeda dengan mereka, kekasih Allah atau waliyullah itu justru mempermainkan dunia, mempermainkan harta, mempermainkan kekuasaan, untuk Allah semata.
Putra Sayidina Husein bin Ali, yaitu Ali bergelar Zainal Abidin as-Sajjad, suatu ketika sedang asyik shalat sunah di Masjidil Haram. Dia adalah sosok kekasih Allah yang sepanjang usianya banyak dihabiskan untuk bersujud, sehingga dia bergelar as-Sajjad atau ahli sujud.
Sedang asyik shalat, tiba-tiba ada orang datang mendekati, lalu memakinya, menghinanya. “Kelihatannya alim dan saleh, tapi ternyata mencuri uang saya,” maki orang tersebut.
Ali kemudian mendekati orang tersebut dan menanyakan apa maksud ucapannya. Lalu orang itu menjelaskan telah kehilangan uang ribuan dirham yang, diakuinya, dia bawa ke Masjidil Haram.
Namun, ketika berada di sana, uang itu hilang. Sedangkan di sana hanya ada dirinya dan Ali yang sedang shalat. Orang itu berprasangka buruk bahwa yang mengambil uangnya adalah Ali.
Tak banyak bicara, Ali mengajaknya jalan ke rumah. Lalu dari rumahnya, Ali keluar membawa uang sebanyak ribuan dirham, sesuai jumlah uang hilang tadi. Ali menyerahkan uang tersebut kepada orang tadi.
Pergilah orang tersebut ke kediamannya. Sampai di sana, dia membuka lemari. Ternyata uang ribuan dirham itu masih ada di sana. Tidak hilang. Bahkan, kini bertambah dengan uang pemberian Ali tadi.
Merasa tak enak hati, orang tersebut kembali menemui Ali dan meminta maaf, berlutut, dan mengembalikan ribuan dirham uang ‘ganti rugi’ tadi. Namun, Ali menolaknya dengan sopan. Cicit Rasulullah SAW itu sama sekali tak takut kehilangan harta ribuan dirham.
Di sini, dunia menguji Ali, apakah dia gila harta dengan menerima uang tadi atau tidak. Dan ternyata, Ali mempermainkan dunia, dia tolak uang yang sudah dia berikan. Di kalangan Alawiyyun atau keturunan Alawi bin Ahmad al-Muhajir (habaib), kisah ini menjadi rujukan, pantang bagi mereka mengambil lagi segala hal yang sudah mereka berikan kepada orang lain. Ini salah satu cara mereka mempermainkan dunia.
Ada lagi kisah Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (1895-1976). Waliyullah yang berdakwah di Tanggul Jember ini suatu ketika berhaji. Saat bermalam di Mina, ada orang kaya yang menghormatinya datang membawa uang satu karung.
Habib Sholeh mengucapkan terima kasih. Setelah orang itu pergi, ulama Tanggul itu memanggil orang kepercayaannya untuk menghitung uang tersebut. Setelah itu, Habib Sholeh memerintahkan uang sebanyak ini dibagikan ke A, sisanya ke B, dan seterusnya sampai habis.
Lalu Habib Sholeh hanya mengambil beberapa ribu riyal (ghurfatan bi yadih atau sebagian kecil) untuk bekalnya. Meskipun banyak nikmat datang, dia hanya mengambil sebagian. Sisanya dia berikan kepada yang lebih membutuhkan nikmat tersebut. Dia tetap zuhud, hidup sederhana.
Begitulah cara Habib Sholeh mempermainkan dunia, di saat banyak orang mabuk kenikmatan tempat tinggal yang sementara ini. “Wa maa haadzihil hayaatud dunyaa illa lahwun wa la’ibun.” (Kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan). (QS al-Ankabut: 64).
Apakah mempermainkan dunia membuat hidup menjadi miskin dan menderita? Sama sekali tidak. Baik Ali Zainal Abidin as-Sajjad maupun Habib Sholeh, sama-sama mendapatkan simpati dari Allah. Selalu ada orang baik yang membersamai mereka dan keduanya membagikan kebaikan kepada orang-orang sekitarnya.
Menerima banyak kebaikan bukan berarti memakan semuanya, tapi hanya mengambil sebagian sesuai kebutuhan. Selebihnya diberikan untuk membantu dhuafa, menyekolahkan anak yatim-piatu, wakaf, dan lainnya.
Dari amal sosial itu, Allah kemudian memberikan tujuh kebaikan, yang dari setiap kebaikan itu muncul ratusan kebaikan lagi. Begitulah cara waliyullah mempermainkan dunia dan mendapatkan keuntungan di akhirat.
OLEH ERDY NASRUL