DALAM kitab Al Mahabbah, Imam Al Ghazali menyatakan bahwa puncak perjalanan keberagamaan kita adalah al mahabbah alias cinta kepada Allah.
Sebagian sufi bahkan percaya, awal dan akhir kehidupan, pada dasarnya cinta itu pula. Karena cinta Allah menciptakan semesta, menciptakan kita, dan cinta pula yang kita temui di sepanjang kehidupan hingga kita semua kembali kepadaNya.
Kecintaan kepada Allah ini bahkan menjadi hal pokok. Iman, menurut Rosulullah SAW, adalah, “Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih engkau cintai dari apa pun.” Dan cinta itu begitu sehat. Karena sebagaimana psikolog terkemuka, Erich Fromm, banyak penyakit bisa disembuhkan dengan belajar mencintai. Sementara, percayalah pula balasan Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Hadis riwayat Ahmad dan Al Thabrani berbunyi,” Barang siapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah dengan berjalan, Allah akan menyambutnya dengan berlari…”
Para pencinta seperti itu yang dijanjikan Allah dalam komunikasi yang indah antara Sang Khalik dengan Nabi SAW pada malam isra mikraj, untuk mendapatkan cinta-Nya. “Aku membukakan mata hati dan pendengarannya, sampai dia mendengar dan melihat dengan mata hatinya pada kebesaranKu..” []
Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “Amirul Mukminin” dan hanya menyebutkan namanya saja tanpa atribut kehormatan. Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.
Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.
Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah Subhanahu wa Taala sehingga dia menahan dirinya lalu berkata,
Hisyam: “Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”
Thawus: “Memang apa yang saya lakukan?”
Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”
Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak marah atau gusar.
Adapun masalah saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena tidak seluruh muslimin membaiat Anda. Oleh karena itu, saya takut dikatakan sebagai pembohong apabila memanggil Anda dengan amirul mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah Subhanahu wa Taala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka, “Wahai Daud, Wahai Yahya, Wahai Musa, Wahai Isa.” Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).
Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri.” Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.” Amirul Mukminin Hisyam mendengar penjelasan itu dengan serius.
Hisyam: “Wahai Abu Badurrahman, berilah saya nasihat!”
Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka mengigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi. Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat. Adakalanya dia mengecam dan membuat mereka menangis.
Putranya bercerita, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.
Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan salat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar tentang kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak bicara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Demikian pula ketika dia mencoba dari arah kiri.
Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, “Mungkin ayah tidak mengenal Anda. Dia berkata, “Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi
Sesampainya di rumah, ayah berkata, “Sungguh dungu kalian! Bila jauh kamu selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dikatakan kemunafikan?”
Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus ditujukan untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapa saja yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.
Sebagai contoh adalah kisah yang diriwayatkan oleh Atha bin Abi Rabah sebagai berikut:
Pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatku dalam keadaan yang tak disukainya, lalu berkata, “Wahai Atha, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintunya di depanmu dan menempatkan penajga-penjaga di rumahnya?” Mintalah kepada yang sudi membuka pintu-Nya dan mengundangmu untuk datang, serta yang berjanji akan menetapi janji.
Thawus pernah menasihati putranya, “Wahai putraku, bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka, walaupun engkau tidak seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pada kesempurnaan agama dan akhlaknya.”
Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka wajar bila khalifah Abbasiyah, Abu Jafar al-Mansur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik bin Anas untuk berkunjung.
Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah menatap Abdullah bin Thawus seraya berkata, “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!” Beliau menjawab, “Ayah saya bercerita bahwa siksa Allah Subhanahu wa Taala yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan lalu berlaku curang.”
Malik bin Anas berkata, “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya. Tapi ternyata Abu Jafar hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”
Usia Thawus bin Kaisan mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tidak mengubah sedikit pun ketajaman ingatan, kejeniusan pikira,n dan kecepatan daya tangkapnya.
Abdullah Asyami bercerita, “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua usianya. Aku memberi salam lalu bertanya, “Andakah Thawus bin Kaisan?” Orang tua itu menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.”
Aku berkata, “Bila Anda putranya, maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.” Putra Thawus berkata, “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”
Akupun masuk, memberi salam lalu berkata, “Saya datang kepada Anda karena ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.” Thawus berkata, “Akan aku ringkas sedapat mungkin, InsyaAllah. Apakah engkau ingin aku menceritakan tentang inti isi Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran?”
Aku berakta, “Benar.” Beliau berkata, “Takutlah kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan rasa takut yang tiada bandingnya. Mohonlah kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangkan dirimu sendiri.”
Malam 10 Dzulhijah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang keempat puluh kalinya.
Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan shalat maghrib dan Isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk beristirahat. Pada saat itulah ajal menjemput beliau.
Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarub kepada Allah Subhanahu wa Taala. Wafat dalam keadaan bertalbiah dan berihram untuk mencari pahala Allah Subhanahu wa Taala, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah Subhanahu wa Taala.
Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternyata jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesaknya orang yang hendak mengantarkan jenazahnya.
Bahkan amir Mekah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut menshalatkan banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. []
Sumber: Mereka adalah Para Tabiin, Dr. Abdurrahman Raat Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009