Dakwah Tauhid, Jalan Hidup Rasulullah dan Sahabatnya
Dakwah tauhid, mungkin dianggap sebagai sesuatu yang usang dan kuno bagi sebagian kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa pemahaman dan praktik tauhid di masyarakat kaum muslimin saat ini sudah baik, sehingga “tidak perlu diusik”. Tidak perlu lagi meributkan praktik dan “ritual” keagamaan sebagian kaum muslimin yang menjurus ke arah kesyirikan karena hanya akan memecah belah persatuan mereka. Yang penting bagi sebagian orang saat ini, bagaimana caranya agar kaum muslimin bersatu demi tegaknya sebuah negara Islam (khilafah) tanpa mau mempedulikan kaum muslimin model apa yang mereka persatukan dalam negara tersebut. Padahal, kalau kita mau melihat sejenak sejarah dan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjadikan dakwah tauhid sebagai prioritas utama dalam dakwah. Beliau memulai dakwah dengan tauhid, membina umatnya di atas tauhid, dan menutup dakwah beliau dengan dakwah tauhid.
Dakwah Tauhid adalah Jalan Hidup Rasulullah dan Pengikutnya
Dakwah tauhid adalah jalan hidup yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula para pengikutnya yang merupakan generasi terbaik umat ini dari kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Siapapun yang mengaku menjadi pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka sudah semestinya jika dia juga berdakwah kepada manusia menuju Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin seseorang mengaku sebagai pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dia tidak mau atau tidak memiliki keinginan untuk menempuh jalan hidup yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, ’Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (QS. Yusuf [12]: 108)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini,
يقول الله تعالى لعبد ورسوله إلى الثقلين: الإنس والجن، آمرًا له أن يخبر الناس: أن هذه سبيله، أي طريقه ومسلكه وسنته، وهي الدعوة إلى شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، يدعو إلى الله بها على بَصِيرة من ذلك، ويقين وبرهان، هو وكلّ من اتبعه، يدعو إلى ما دعا إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم على بصيرة ويقين وبرهان شرعي وعقلي.
“Allah Ta’ala berfirman kepada hamba dan Rasul-Nya bagi jin dan manusia (yaitu kepada Muhammad, pen.) dalam rangka memerintahkannya agar mengabarkan kepada manusia, bahwa inilah jalan dan sunnahnya, yaitu berdakwah kepada syahadat ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu baginya’. Mengajak manusia kepada Allah di atas hujjah yang nyata serta di atas keyakinan dan petunjuk. Dia (Muhammad) dan setiap orang yang mengikutinya, semuanya berdakwah kepada apa yang didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hujjah yang nyata, keyakinan, dan petunjuk syariat dan petunjuk akal.” [1]
Terdapat dua faidah yang bisa kita ambil dari kalimat (أَدْعُو إِلَى اللَّه) [mengajak kamu kepada Allah], yaitu:
- Maksud dari berdakwah kepada Allah Ta’ala adalah mendakwahkan tauhid dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala.
- Peringatan untuk ikhlas dalam berdakwah. Barangsiapa yang ingin mendakwahkan Islam, maka dia sangat membutuhkan keikhlasan. Tidak ada tujuan lain dalam berdakwah kecuali untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala dan memahamkan umat terhadap urusan agamanya. Dia tidak bertujuan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya, mencari popularitas, mencari uang, atau bahkan untuk mencari kekuasaan. [2]
Ketika menjelaskan kalimat (إِلَى اللَّه) [kepada Allah], Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok da’i (juru dakwah).
Pertama, seorang da’i yang berdakwah kepada Allah Ta’ala. Dialah da’i yang mukhlis (da’i yang ikhlas) yang menginginkan agar manusia sampai kepada Allah Ta’ala.
Kedua, seorang da’i yang berdakwah kepada selain Allah Ta’ala terkadang berdakwah kepada dirinya sendiri, agar banyak orang menjadi pengikutnya. Dia mendakwahkan kebenaran agar dirinya diagung-agungkan oleh masyarakat dan agar masyarakat menghormati dan memuliakannya. [3]
Demikianlah, jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap orang yang mengikuti jalan beliau adalah mendakwahkan tauhid, mendakwahkan syahadat laa ilaaha illallah. Dakwah ini, sebagaimana ibadah yang lainnya, sangatlah membutuhkan keikhlasan. Inilah ujian terbesar bagi seorang da’i ketika berdakwah. Apakah dia betul-betul berdakwah mengajak masyarakat kepada Allah Ta’ala? Apakah dia benar-benar berdakwah agar masyarakat mentauhidkan Allah? Atau apakah dia berdakwah mengajak masyarakat kepada dirinya? Kepada organisasi atau partai yang dipimpinnya? Atau dakwah untuk tujuan-tujuan rendah lainnya?
Setelah kita memahami bahwa dakwah tauhid adalah jalan hidup yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bukti-bukti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah pun menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memprioritaskan dakwah tauhid sejak awal sampai akhir beliau berdakwah, sebagaimana yang akan kami tunjukkan di bagian kedua tulisan ini. Beliau tidaklah berdakwah dengan merebut kekuasaan terlebih dahulu, atau dengan mendirikan negara, dan tidak pula dengan mendirikan partai politik. Akan tetapi, beliau memulai dakwah perbaikan masyarakat dengan dakwah tauhid.
Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaklah memperhatikan bagaimanakah metode yang ditempuh oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam jalan dakwah tersebut. Jangan sampai kita berdakwah dengan menempuh jalan yang tidak ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hak ini karena dakwah adalah salah satu bentuk ibadah, dan salah satu syarat diterimanya ibadah adalah ittiba’, yaitu mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4] [Bersambung]
***
Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
—
Catatan kaki:
[1] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4/422.
[2] Lihat At-Tamhiid, hal. 65.
[3] Lihat Al-Qoulul Mufiid, 1/128-129.
[4] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).
Artikel Muslim.Or.Id