Seorang budak muslimah berteriak meminta tolong karena seorang Romawi yang mengganggu dan melecehkannya. Kainnya diikat dengan paku, sehingga ketika berdiri tersingkaplah auratnya. Wanita itu sontak berteriak memanggil Khalifah Mu’tashim, Khalifah kaum muslimin saat itu. Mendengar seruan tersebut, hati sang khalifah terpanggil.
Ia turunkan pasukan untuk menyerbu kota Amoria dan melibas semua orang kafir di sana. Sebanyak 30.000 pasukan Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya tertawan. Diriwayatkan bahwa panjang pasukannya sepanjang perjalanan istananya sampai kota Amoria, tanpa terputus sedikitpun. Pasukan tersebut diutus sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai Khalifah kaum muslimin. Ia tak akan membiarkan seorang muslimpun terdzolimi di atas kekuasannya.
Muslim hari ini sungguh berbeda. Ia banyak, namun ia hanya buih. Tak banyak yang peduli dengan kaum muslimin lainnya. Bumi Syam menjadi saksi ketidak berdayaan tersebut. Ketika lebih dari 400 ribu orang merenggang nyawa di Suriah. Ketika bayi-bayi menjerit kelaparan di Madaya. Ketika sang ibu hanya mampu memberi bayi mereka air garam, yang tak dapat mencukupi nutrisi yang mereka butuhkan. Namun banyak dari kita yang hanya diam.
Di manakah sosok Mu’tashim yang pernah di miliki umat ini? Pemimpin yang luar biasa pembelaannya terhadap kaum muslimin. Jika ia menyaksikan kondisi kaum muslimin seperti ini, berapa juta pasukan yang akan ia kirim untuk menyelamatkan darah dan kehormatan kaum muslimin? Bahkan untuk mendengar jeritan budak muslimah saja ia tak sanggup, apalagi harus menyaksikan pembantaian terhadap ribuan saudara-saudaranya seiman.
Sayangnya kita begitu lalai. Selalu mengatasnamakan perbedaan nasionalisme membuat kita terbutakan dari kondisi saudara-saudara kita. Mu’tashim yang dulu pernah memberikan contoh nyata kecintaannya kepada kaum muslimin kini tinggallah sejarah belaka. Kecuali jika saat ini kita bangkit untuk menjadi generasi penerusnya. Meneruskan pembelaan terhadap kaum muslimin, nyawa dan harta mereka.
Meski tak sanggup korbankan jiwa atau harta, namun do’a menjadi perkara wajib yang harus kita sisipkan ditengah munajat kita. Meskipun saat ini kita tak mampu menjadi Mu’tashim, namun jangan sampai kita melupakan upaya yang paling mudah kita lakukan.
Jangan biarkan do’a kita hampa dari doa untuk saudara kita. Jangan biarkan kita terus terlalai dari pembelaan terhadap sesama, karena kita adalah satu tubuh. Rasa sakit yang selama ini menimpa saudara kita, harusnya juga menyakiti diri kita.