Beberapa waktu terakhir, Indonesia sempat digegerkan dengan kasus yang cukup viral, yakni seorang dukun yang menggunakan trik sulap dan mendokumentasikan aksinya melalui kanal Youtube. Namun, trik sulap dari dukun yang dipanggil Gus Samsudin itu dibongkar oleh Pesulap Merah. Perseteruan pun terjadi hingga ke ranah hukum.
Banyak memang masyarakat awam yang masih mengandalkan praktek perdukunan untuk mencari kesembuhan atau karena kepentingan lain. Begitu pula juga banyak masyarakat yang meminta kesembuhan dengan mendekati para ulama dan kiayi untuk meminta doa. Namun, jangan mengaburkan antara dukun dengan kiayi.
Dukun biasanya ditandai dengan pakaian yang serba hitam, menggunakan blangkon di kepalanya, serta tak lupa lekat dengan aksesoris dupa bersama dengan keris yang ada di ruangannya. Namun tak sedikit juga dukun yang berpenampilan agamis dengan jubah putih dilengkapi dengan sorban, dan tak lupa sebagai senjatanya tak lupa mereka menggunakan tasbih supaya lebih terlihat relijius. Dengan penampilannya yang islami ini sang dukun bisa menggunakan kedok ustad, kiai, gus, bahkan habib sekalipun untuk menutupi praktek perdukunannya.
Pada dasarnya dukun atau kiayi tidak bisa kita tandai dari sudut cara berpakaiannya saja. Alasannya karena baik atau buruknya perilaku seseorang tidak bisa kita nilai dari penampilan luarnya saja. Bukan melulu masalah cara berpakaian saja, namun, dalam diri seorang kiai pasti mengajarkan orang lain untuk senantiasa berbuat baik. Salah satu usahanya ialah dengan memberikan amalan untuk dibaca sesuai syariat agama untuk nantinya mendapatkan hal-hal yang baik.
Contohnya saja, wirid yang dibaca rutin setiap habis shalat. Artinya, sang kiai menyuruh untuk melakukan shalat dengan rutin. Apabila seseorang memiliki target ataupun hajat tertentu, pastinya ia akan semangat untuk melakukan shalat seperti apa yang disarankan oleh sang kiai.
Berbeda dari praktek perdukunan, meski menggunakan simbol-simbol keagaamaan, namun banyak dari mereka yang berani untuk menyakiti orang lain yang dianggap target ataupun yang dianggap akan menghalangi jalan kesuksesaannya. Dukun lebih berorientasi pada kepentingan praktis-pragmatis.
Jika sang dukun mengklaim apa yang dilakukannya adalah sebuah karomah, namun kita perlu ingat bahwa keanehan yang dilakukan seorang dukun itu tidak diajarkan oleh Nabi. Nabi hanya mengajari umatnya untuk menjalankan shalat, wirid, dan juga tidak menyakiti sesama makhluk Allah. seperti contoh dengan memindahkan penyakit yang dideritanya kepada objek lain seperti binatang maupun telur. Jelas pemindahan seperti ini menyalahi aturan dan menyakiti makhluk Allah yang lain. Dan tentunya hal-hal yang dilakukan semacam ini tidaklah bisa dibenarkan dalam syariat Islam.
Kita harus mulai bisa memahami tentang wujud keanehan yang seperti ini. Memang kita tidak bisa menyangkal bahwa karomah memang benar adanya, namun, kita sebagai muslim harus mampu memahami bahwa karomah merupakan suatu keluarbiasaan yang dianugrahkan Allah kepada hambanya yang beriman dan bertakwa.
Sementara kedigdayaan yang muncul dari perilaku yang menyimpang seperti kesesatan dengan cara menyekutukan Allah atau dengan tipu daya iblis dan dengan sejumlah syarat yang harus di lakukan bukan bagian dari karomah. Salah satu contoh syarat yang dilakukan biasanya seperti melakukan ritual mandi kembang dengan waktu yang ditentukan, menjalankan puasa mutih yang jelas puasa ini tidak masuk dalam syariat.
Sebagai seorang muslim sebaiknya kita lebih kritis dan selektif supaya kita tidak terjerumus dalam hal yang justru menjatuhkan diri kita pada kemusyrikan. Memang bagi muslim yang tidak mengetahui kesalahan yang dilakukan dukun, maka ia tidak akan terkena hukum yang berlaku, namun kita juga harus tahu bahwa menjadi seorang yang bodoh dan tidak berusaha mencari tahu akan kebenaran juga merupakan hamba yang tidak disukai Allah.
Nabi Muhammad menyebutkan dalam sebuah hadis, “… Dia berilmu tentang dunia tapi bodoh tentang kehidupan akhirat.” (HR. Al-Baihaqi). Siapa yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang berilmu tentang berbagai macam pengetahuan dunia, namun ia tidak mau untuk mendalami ilmu akhirat. Ilmu agama di pandang sebagai ilmu yang remeh sehingga kemudian ia menjadi orang yang jahil terhadap kehidupan akhirat.
Meminta doa kepada seorang kiayi atau ulama untuk mencari kesembuhan juga bukan syirik. Tujuannya adalah meminta doa kesembuhan, tetapi segala suatu yang menentukan adalah Allah. Keyakinan ini harus tertanam. Doa dari kaiyi adalah wasilah karena kedekatan seorang alim kepada Allah. Namun, iktiar mencari kesembuhan secara medis tetap wajib dilakukan.
Mencari kesembuhan adalah sebuah kewajiban. Nabi pernah menjawab pertanyaan seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, apakah kita harus berobat?” Beliau menjawab, “Berobatlah! Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula penyembuhnya, kecuali satu penyakit, yaitu usia tua.” (Riwayat Abu Dawud