Fatahillah dan Masjid Luar Batang yang Terbuang

Berdiri di puncak Menara Syahbandar di Pasar Ikan, Jakarta Utara, kita akan dapat menikmati kawasan paling tua di Kota Jakarta yang berusia 476 tahun. Tapi, untuk itu kita harus mau sedikit berfantasi untuk merasakan apa yang pernah terjadi ratusan tahun lalu.

Memandang ke utara terlihat kapal-kapal Phinisi yang berdatangan dari berbagai tempat di Nusantara sedang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Ratusan pekerja tengah menurunkan kayu dan bahan bangunan lainnya untuk kebutuhan Ibu Kota. Membaur di antara para pekerja ini terlihat para wisatawan bule yang tertarik akan keberadaan kapal ini.

Kira-kira 300 meter ke arah selatan menara, kita akan mendapati jembatan tua yang pada masa VOC disebut Jembatan Pasar Ayam (Hoenderpasarbrug). Dinamakan demikian karena ratusan tahun lalu pada malam hari tempat menjadi ngumpulnya kupu-kupu malam mencari mangsa laki-laki hidung belang.

Pada tempo doeloe, kapal-kapal dapat berlayar hingga ke arah hulu Sungai Ciliwung. Kala itu jembatan dapat dinaikturunkan. Menurut keterangan, letak Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa kejayaannya sekitar 700 meter dari muara Ciliwung. Pada masa Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor) perdagangan melalui sungai antara Pakuan dan Sunda Kelapa cukup ramai.

Membangun Patuh Fatahillah

Menyusuri Ciliwung ke Sunda Kelapa selama dua hari, perahu-perahu banyak membawa hasil bumi. Kembalinya membawa barang dari mancanegara yang mereka beli di Bandar Sunda Kelapa.

Suatu organisasi Betawi beberapa tahun lalu pernah ingin membangun patung Fatahillah di Pelabuhan Sunda Kelapa, seperti patung Victoria di pintu masuk Pelabuhan New York, AS. Untuk ini telah dikirimkan utusan ke New York guna mempelajarinya. Entah bagaimana rencana ini tidak kesampean.

Sineas Misbach Yusa Biran saat hendak membuat film “Fatahilah” telah mengalami kesulitan untuk menampilkan wajah Fatahilah. Akhirnya, untuk tokoh ini dalam filmnya, Misbach menampilkan pemuda berwajah Timur Tengah tempat Fatahilah berasal.

Sebelum Perang Dunia II (1942-1945) di dekat muara Ciliwung atau Kali Besar, warga ibu kota dapat menikmati pesta Pehcun atau pesta air pada hari keseratus Imlek (tahun baru Cina). “Ramenye kagak kepalang. Ratusan perahu hias saling seliweran di tempat ini,” kata Derahman, warga Pekojan, Jakarta Barat, mengenang masa mudanya.

Menara Syahbandar, Menara Pisanya Jakarta

Menara Syahbandar yang kini dijuluki ‘Menara Pisa’ karena bangunannya agak miring akibat lalu-lalang kontainer dan truk besar, dulu berfungsi sebagai pengawas bagi keluar masuknya kapal-kapal dari Pelabuhan Sunda Kelapa di muara Ciliwung. Setelah pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok usai (1886), menara yang dalam bahasa Belanda disebut Uitlij itu sudah berkurang perannya. Sampai 1960-an di sekitar tempat inilah tanda kilometer satu Kota Jakarta, sebelum dipindahkan ke Monas.

Hanya beberapa meter di sebelah kiri menara, terletak Museum Bahari, gedung bersejarah yang pernah menjadi gudang rempah-rempah VOC. Kala itu gedung ini terletak di tepi laut sehingga kapal-kapal ketika mengangkut barang-barang dapat merapat ke gudang.

Beberapa tahun lalu pihak Museum dan Sejarah DKI untuk mengenang masa kejayaan Sunda Kelapa ingin membangun Museum Rempah-rempah di tempat ini. Di depan Museum Barau, yang dulunya merupakan laut, terdapat Pasar Heksagon berdampingan dengan Pasar Ikan. Disebut Pasar Heksagon karena bangunannya berbentuk segi enam.

Bangunan bergaya arsitektur Indische ini didirikan pada 1920. Bangunan ini dijadikan sebagai balai penelitian kelautan dan ditempatkan akuarium besar dengan berbagai jenis ikan.

 

Kejayaan Pasar Ikan

Sebelum digusur Pemprov DKI Jakarta belum lama ini, di pasar ini setiap malam hingga dini hari berlangsung lelang ikan. Pembelinya para pedagang ikan dari Jakarta dan sekitarnya untuk dijual kepada para konsumen dari rumah ke rumah.

Pasar Ikan dulu merupakan salah satu kawasan yang banyak didatangi warga Jakarta untuk rekreasi, terutama di hari libur. Mereka datang ke tempat ini dengan naik trem listrik yang kala itu merupakan angkutan umum utama di Jakarta.

Di samping menikmati akurium dengan berbagai jenis ikan, banyak yang datang untuk berziarah ke Masjid Luar Batang karena. Di sini terdapat makam Habib Husein Alaydrus yang letaknya di belakang Museum Bahari.

Jakarta yang kini metropolis dengan penduduk 11 juta sebagai kota pelabuhan sudah bercorak internasional sejak masa Sunda Kelapa. Orang dengan latar belakang budaya, warna kulit, dan keyakinan agama yang berbeda-beda bertemu di Sunda Kelapa sudah berabad-abad lamanya.

Dalam sejarah kota ini mereka bergaul tanpa prasangka. Bermacam-macam bahasa terdengar di pelabuhan, dalam kantor, gereja, masjid, dan kelenteng. Sekalipun kini Pelabuhan Sunda Kelapa bukan lagi bandar besar, kastel-kastel peninggalan Belanda sudah menjadi gedung tua yang eksotik. Tapi, di Sunda Kelapa kita masih dapat merasakan nostalgia sejarah.

 

 

Oleh: Alwi Shahab

sumber: Republika Online