Fikih Nikah (Bag. 5)

BEBERAPA HUKUM TERKAIT POLIGAMI

Agama Islam bukanlah agama yang pertama kali membolehkan poligami. Poligami sudah ada sejak umat-umat sebelumnya, bahkan telah ada sejak peradaban Babilonia. Agama Yahudi bahkan membolehkan poligami tanpa batas. Seluruh nabi yang tercantum dalam kitab Taurat, tanpa terkecuali memiliki istri yang jumlahnya banyak. Profesor Abbas Mahmud AL-Uqqad berkata dalam kitabnya Haqaiqul Islam wa Abaatilu Khusuumihi, “Tidak ada larangan poligami di dalam kitab Taurat maupun Injil, namun hal tersebut dibolehkan dan ada riwayatnya dari para nabi, dari zaman nabi Ibrahim hingga nabi Isa…”

Adapun agama Islam ketika mensyariatkan poligami, tentu karena hikmah dan tujuan yang sangat mulia dan demi kemaslahatan bersama. Di antara faedah poligami dari sisi kemasyarakatan adalah jumlah pertambahan wanita yang lebih banyak dari laki-laki, serta berkurangnya jumlah laki-laki yang pesat akibat peperangan.

Poligami di dalam syariat Islam dilandasi dengan akhlak dan kemanusiaan, berbeda dengan poligami yang dilakukan oleh nonmuslim yang mana mereka lakukan tanpa ajaran agama dan tanpa undang-undang. Dari sisi akhlak, agama Islam melarang seorang laki-laki untuk melakukan kontak dengan wanita, kecuali itu adalah istrinya dan dengan syarat jumlah istrinya tidak lebih dari 4. Dari sisi kemanusiaan, poligami di dalam Islam meringankan problem dan permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat yang mana poligami menolong para wanita yang tidak bersuami dan merubah status mereka menjadi istri yang terjaga kehormatannya. Sehingga, dengan pernikahan ini, anak-anak yang lahir darinya mendapatkan pengakuan dan suaminyalah yang akan memenuhi hak-hak anaknya serta menjaga mereka. Dan jika ada seorang laki-laki yang menikahinya, maka tentu saja ia diwajibkan membayar mahar, memberikan tempat tinggal yang layak, dan menafkahinya, bukan dibiarkan begitu saja.

Hukum Berpoligami

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)

Para ulama menjelaskan bahwasannya perintah pada (فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ) adalah untuk menunjukkan kebolehan bukan mewajibkan. Jika demikian, maka seorang laki-laki memilih antara mencukupkan hanya menikahi satu orang wanita saja atau berpoligami. Hal ini merupakan ijma’ dan kesepakatan para ulama sepanjang zaman, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.

Di dalam poligami seorang laki-laki dilarang menikahi lebih dari 4 wanita dalam waktu bersamaan. Hal ini berdasarkan ayat yang sudah kita sebutkan dan juga berdasarkan hadis nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ

“Bahwasanya Ghoylan bin Salamah Ats-Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Sehingga, bisa kita ketahui bahwa hukum asal poligami dalam syariat Islam adalah mubah (dibolehkan) dan bisa berubah menjadi wajib, sunah, atau bahkan haram tergantung keadaan setiap individunya. Batas maksimal jumlahnya adalah 4. Dan tentu saja agar seorang muslim bisa melakukannya, haruslah memenuhi syarat-syaratnya terlebih dahulu. wallahu a’lam.

Syarat-Syarat Poligami

Pertama: Adil terhadap Seluruh Istri

Allah Ta’ala berfirman,

فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)

Maka, apabila ia tidak merasa yakin untuk berbuat adil terhadap semua istrinya, syariat ini tentu saja tidak memperbolehkannya untuk menikah lebih dari satu. Adapun apabila ia melaksanakan akad, maka akadnya tersebut sah namun ia berdosa. Hal ini berdasarkan sabda nabi,

مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Barangsiapa yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, maka pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud)

Rasulullah juga bersabda,

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah berada di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza Wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga, dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR. Muslim)

Para ulama telah bersepakat bahwa adil yang dimaksud di sini adalah di dalam perkara harta benda dan sesuatu yang nampak, baik itu tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, dan menggilir malam, serta apa-apa yang berkaitan dengan mempergauli istri-istri yang mana keadilan bisa terealisasi di dalamnya.

Kedua: Kemampuan Finansial

Beberapa ulama yang kita percayai termasuk di antaranya Imam Syafi’i menyaratkan hal ini jika seorang laki-laki hendak berpoligami. Karena Allah Ta’ala telah menggantungkan dan mengaitkan perkara nikah dengan hal ini. Terlebih ketika seseorang melakukan poligami, yang mana hal tersebut berpotensi terjadinya masalah dalam hubungan rumah tangga yang bersumber dari kurangnya kemampuan finansial. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nur: 33)

Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah!”

Perintah di dalam hadis ini dikaitkan dengan kemampuan. Al-Ba’ah di dalam hadis maksudnya adalah kemampuan di dalam berhubungan badan dan di dalam pembiayaan nikah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar di dalam kitab Al-Fath.

Beberapa Nasihat Bagi Yang Menghendaki Poligami

Nasihat pertama

Pernikahan poligami apabila tidak dilandasi keadilan, maka akan menjerumuskan suami ke dalam berbagai problematika kehidupan berkeluarga, yang mana sangat berpotensi munculnya keributan, permusuhan, dan pertikaian di antara keluarga. Permusuhan ini terkadang akan berlanjut di antara anak-anak, istri-istrinya, membuat hubungan persaudaraan mereka tumbuh di dalam rasa marah dan dendam, dan berujung pada perpecahan, saling mendiamkan, dan tidak tenangnya kehidupan. Padahal, nabi melarang semua hal itu. Di antaranya adalah

لايحلّ لمسلم ان يهجر اخاه فوق ثلاث

“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

Bahkan, terdapat larangan khusus dari memutus tali persaudaraan. Rasulullah bersabda,

لا يدخل الجنة قاطع

“Tidak masuk surga orang-orang yang memutuskan tali persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nasihat kedua

Ketahuilah bahwasanya adil di dalam rasa cinta terhadap para istri itu tidak akan bisa kita lakukan. Karena hal itu bukanlah kemampuan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Annisa: 129)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memahami bahwa yang dimaksud ayat ini adalah adil di dalam masalah kecondongan dan kecintaan, yang mana hal ini di luar kemampuan manusia, sehingga telah kita ketahui bahwa rasa cintanya terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih besar dari cintanya terhadap istri-istri beliau yang lain.

Lalu bagaimana? Yang harus dilakukan seorang suami sebagaimana yang diajarkan ayat di atas adalah tidak terlalu cenderung dan condong terhadap istri yang paling ia cintai, sehingga tidak membiarkan yang lainnya terkatung-katung, dan mengusahakan agar adil di dalam masalah harta benda, yang mana hal ini masih menjadi kemampuannya.

Hendaklah seorang mukmin bertakwa kepada Allah Ta’ala, berhati-hati di dalam mengambil keputusan dan tidak menjadikan poligami hanya sebatas pemenuhan hawa nafsu saja, sehingga hal tersebut akan menimbulkan madharat/ bahaya untuk dirinya dan keluarganya. Wabillahi Attaufiiq.

Sumber:

  1. Kitab Ta’addudu Az-Zaujaat Wa Hikmatu Ta’adudi Zaujaati An-Nabi karya Al-Ustadz Abdullah Naasih Ulwaan
  2. Sumber-sumber lain.

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: https://muslim.or.id/72128-fikih-nikah-bag-5.html