Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2)

Mukadimah

Segala puji milik Allah yang telah mengirimkan utusannya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama lainnya, cukuplah Allah sebagai saksi terhadap hal tersebut. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah semata. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga selawat dan sebaik-baik salam selalu tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya.

Amma ba’d, tema pembahasan mengenai akal merupakan topik yang luas dan hangat diperbincangkan oleh para cendekiawan berbagai generasi. Mereka membahas mulai dari definisi, hakikat, wilayah kerja, dan batasannya, sampai bagaimana hubungan akal dengan hal-hal eksternal seperti wahyu. Adapun berbagai permasalahan, konsekuensi, metode, dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Di antara fakta yang mengherankan adalah akal pun bisa tersesat ke dalam akal lainnya.

Hanya saja, tulisan ini membahas suatu substansi khusus yang memiliki urgensi untuk dibahas, yaitu kedudukan akal dalam sudut pandang ahlisunah waljamaah. Ahlisunah waljamaah adalah orang-orang yang Allah beri hidayah untuk mengenali kebenaran yang diperselisihkan orang-orang dalam topik ini. Mereka memperlakukan akal sesuai derajat yang layak baginya, tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan.

Memang tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai sisi pembahasan topik ini dalam lembaran yang ringkas, namun saya meminta tolong kepada Allah agar mampu menyebutkan rambu-rambu terpenting. Aku memohon taufik kepada Allah.

Definisi akal

Asal-usul kata عقل (akal) dalam bahasa Arab bermakna المنع (mencegah). Maka, ada istilah عقال البعير (tali yang mencegah gerak kaki unta). Oleh karenanya, akal dinamai dengan عقل karena akal dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas [1]. Di antara sinonim istilah عقل (akal) adalah اللب (Al-Lub), الحجى (Al-Hija), الحجر (Al-Hijr), النهية (An-Nuhyah) [2].

Para ulama memiliki ruang diskusi yang panjang mengenai definisi akal [3].

Pertama: Akal adalah penahan diri dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji [4].

Kedua: Akal adalah lawan dari ketidaktahuan [5].

Ketiga: Akal didefinisikan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani sebagai daya tangkap yang siap untuk menerima ilmu. Dikatakan pula akal adalah ilmu yang dapat dimanfaatkan manusia melalui daya tangkapnya [6].

Kesimpulanmya, definisi akal yang digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan para ulama tidak keluar dari empat makna berikut [7]:

Pertama: Kemampuan berpikir yang Allah tanamkan pada manusia sejak lahir. Dengan kemampuan inilah, Allah jadikan manusia mampu memahami berbagai hal. Melalui kemampuan ini, manusia terbedakan dengan hewan dan orang berakal terbedakan dengan orang gila.

Kedua: Ilmu dharuri [8] yang disepakati oleh seluruh orang berakal. Misalnya, “seluruh” itu lebih banyak daripada “sebagian”, keberadaan makhluk menunjukkan keberadaan pencipta, mustahil menggabungkan dua hal yang kontras, dan seterusnya.

Ketiga: Ilmu nazhari, yaitu pengetahuan yang didapatkan dari proses berpikir dan penelitian.

Keempat: Tindakan yang muncul akibat keberadaan suatu pengetahuan. Inilah penggunaan kata akal yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. Al-Mulk: 10)

Untuk menentukan makna penggunaan kata akal dalam suatu teks, perlu memahami konteks redaksinya.

Rambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaah

Akal memiliki kedudukan yang tinggi

Ahlisunah menempatkan akal sesuai dengan derajat yang layak baginya. Penetapan kedudukan tersebut berdasarkan sikap syariat dalam memuliakan, menghormati [9], dan memelihara akal. Dengan meneliti dalil-dalil, konsep ini dapat dipahami dengan jelas. Berikut di antara penjelasan yang mendukung rambu pertama.

Pertama: Syariat menjadikan akal sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum Allah bagi seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pena catatan amal diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal. [10]

Kedua: Syariat memotivasi agar akal kita menjadi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh setiap ayat dan hadis yang mengajak untuk tadabur (merenung), tafakkur (memikirkan dengan sungguh-sungguh), dan tadzakkur (mengambil pelajaran).

Ketiga: Syariat memuji orang-orang yang memiliki akal sehat. Allah berfirman,

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269)

Keempat: Syariat mencela orang-orang yang menelantarkan akal. Allah berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ 

Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan seruan (teriakan) semata-mata. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak mengerti. (QS. Al-Baqarah: 170-171)

Kelima: Syariat telah menetapkan bahwa akal adalah satu dari lima hal besar yang harus dijaga dalam agama kita. Tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap lima hal tersebut, sehingga kita dilarang untuk mengonsumsi zat yang dapat menghilangkan akal. Syariat juga bersikap tegas jika terjadi tindakan kriminal yang merugikan akal. Jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap akal, ada diyat yang harus dibayar secara penuh [11]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

“Sub Bab: Adanya Hukuman Diyat pada Kasus Penghilangan Akal

Kami tidak mengetahui adanya silang pendapat dalam masalah ini. Karena akal merupakan bagian tubuh yang paling penting dalam menangkap makna, indra yang paling besar manfaatnya, dan dengan akallah manusia terbedakan dari hewan. Melalui akal, manusia dapat mengetahui hakikat sesuatu, mendapat maslahat dan tercegah dari keburukan. Manusia baru bisa terkena aturan hukum syariat jika berakal. Akal juga menjadi syarat sahnya keberadaan wilayah kekuasaan, kebijakan ekonomi, serta pelaksanaan ibadah. Dengan demikian, akal lebih berhak mendapat jaminan dengan adanya diyat daripada indra lainnya.” [12]

Keenam: Syariat melarang kita untuk melumpuhkan dan melecehkan akal dengan cara mendengarkan cerita-cerita khurafat (takhayul), sulap, perdukunan, sihir, pamali, jimat, dan semisalnya.

Ketujuh: Syariat menjaga akal dari kebingungan dan beban kerja di luar kapasitasnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka memelihara akal dari kesia-siaan. Contohnya, Allah tidak membebani kita untuk memikirkan bentuk rupa hal-hal gaib, mencari-mencari tahu hikmah seluruh kejadian. [13]

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1)

***

Penerjemah: Syaroful Anam

Sumber: https://muslim.or.id/93295-kesempurnaan-islam-dalam-memuliakan-akal-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id