Wakaf merupakan salah satu kekhususan kaum muslimin. Jenis sedekah ini belum ada dan belum dikenal oleh masyarakat jahiliah (zaman pra-Islam) di masa silam. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,
لم يحبس أهل الجاهلية فيما علمته دارا ولا أرضا تبررا بحبسها وإنما حبس أهل الإسلام
“Orang-orang pada masa Jahiliyyah (pra-Islam) sepengetahuanku tidak menahan harta mereka dan mewakafkan rumah atau tanah mereka dengan tujuan kebaikan dan ibadah. Sesungguhnya, menahan harta lalu mewakafkannya barulah ada dan baru dilakukan oleh orang-orang Islam.” (Al-Umm karya Imam As-Syafi’i, 4: 54)
Wakaf pertama dalam Islam
Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan masjid Quba lalu Masjid Nabawi merupakan wakaf ta’abbud (dengan tujuan peribadatan) pertama dalam Islam. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya “Al-Bidayah Wa An-Nihayah”,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, maka persinggahan pertama beliau di sana adalah di rumah Bani ‘Amr bin ‘Auf, yaitu perkampungan Quba. Beliau tinggal di sana -sebagaimana yang dikatakan banyak orang- selama dua puluh dua malam, atau delapan belas malam.
Selama waktu ini, di antara yang beliau lakukan adalah mendirikan masjid Quba. Yaitu, masjid yang Allah Ta’ala berfirman tentangnya,
لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ
‘Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalam masjid itu, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.’ (QS. At-Taubah: 108).”
Kemudian, beliau rahimahullah juga membawakan hadis sahih yang mengisahkan awal mula wakaf pembangunan masjid Nabawi,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau singgah di dataran tinggi Madinah, sebuah perkampungan yang mereka kenal sebagai Suku ‘Amru bin ‘Auf. Anas berkata, ‘Maka, beliau tinggal selama empat belas malam. Kemudian, beliau mengutus seseorang untuk menemui pemimpin suku Bani Najjar. Maka, mereka datang sambil menyarungkan pedang di badan mereka.’ Anas melanjutkan, ‘Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas tunggangannya, sedangkan Abu Bakar membonceng di belakang beliau, sementara para pembesar suku Najjar mendampingi di sekeliling beliau hingga sampai di sumur milik Abu Ayyub.’ Anas berkata, ‘Beliau lalu bersegera mendirikan salat saat waktu sudah masuk. Beliau salat di kandang kambing. Kemudian, beliau memerintahkan untuk membangun masjid. Lalu, beliau mengutus seseorang untuk menemui pembesar suku Najjar.’ Utusan itu berkata, ‘Wahai suku Najjar, sebutkan berapa harga kebun kalian ini?’ Mereka berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kami tidak akan menjualnya, kecuali kepada Allah!’ Anas berkata, ‘Aku beritahu kepada kalian bahwa kebun itu banyak terdapat kuburan orang-orang musyrik, juga ada sisa-sisa reruntuhan rumah dan pohon-pohon kurma.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membongkar kuburan-kuburan tersebut. Sedangkan reruntuhan rumah supaya diratakan dan untuk pohon-pohon kurma ditumbangkan, lalu dipindahkan di depan arah kiblat masjid. Anas berkata, ‘Maka mereka bekerja membuat pintu masjid dari pohon dan mengangkut bebatuan yang besar-besar sambil bersenandung. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut bekerja bersama mereka sambil mengucapkan, ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan, kecuali kebaikan akhirat. Maka, tolonglah kaum Anshar dan Muhajirin.’” (HR. Bukhari no. 3932 dan Muslim no. 524)
Di hadis yang lain, juga dikisahkan tentang siapakah pemilik tanah yang akan dibangun di atasnya masjid Nabawi tersebut,
“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai untanya yang diikuti oleh lainnya, sehingga untanya berhenti dan menderum di tempat di mana masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (akan didirikan) di kota Madinah, tempat yang sekarang menjadi lokasi orang-orang untuk melaksanakan salat (masjid Nabawi). Tempat tersebut mulanya merupakan tempat untuk menjemur kurma milik Suhail dan Sahal, dua anak yatim di bawah penjagaan Sa’ad bin Zurarah. Lalu, tatkala untanya menderum di lokasi tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “InsyaAllah di sinilah tempat tinggal saya.” Kemudian, beliau berbincang dengan kedua anak yatim tersebut untuk bernegosiasi mengenai harga tanah tersebut. Karena tempat tersebut hendak didirikan masjid. Keduanya menjawab, “Tidak perlu wahai baginda Nabi, kami menghibahkannya untuk Anda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Namun, beliau enggan menerima hibah dari dua anak yatim tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membeli dari keduanya dan didirikanlah masjid di sana. Mulailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu pertama sebagai pertanda pembangunan dimulai.” (HR. Bukhari no. 3906)
Dari kisah tersebut, dapat kita ketahui bahwa cikal bakal masjid Nabawi merupakan tanah milik dua anak yatim yang kemudian dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau wakafkan kepada umat Islam. Sebuah sunah dan pengajaran yang indah tentang pelaksanaan wakaf dari suri teladan terbaik umat ini.
Sejarah wakaf khairy (untuk tujuan kebaikan)
Adapun wakaf dengan tujuan kebaikan secara umum (wakaf khairy), maka para ahli ilmu berbeda pendapat tentang siapakah yang pertama kali melakukannya di dalam Islam?
Ada yang berpendapat bahwa wakaf dengan tujuan kebaikan (khairy) pertama kali dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan inilah pendapat kaum Anshar. Yaitu, wakaf beliau berupa kebun buah-buahan yang sebelumnya milik Mukhayriq setelah terjadinya perang Uhud.
Ibnu Sa’ad dan Imam Al-Khassaf dalam kitab mereka meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Ka’ab bin Malik, bahwasanya ia berkata,
أول صدقة كانت في الإسلام وقف رسول الله صلى الله عليه وسلم أمواله
“Sedekah (wakaf) pertama dalam Islam adalah wakaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari harta beliau.” (At-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, 1: 501 dan Ahkam Al-Awqaf karya Al-Khassaf, hal. 4)
Adapun di dalam riwayat Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Ka’ab, disebutkan,
أول صدقة في الإسلام وقف رسول الله صلى الله عليه وسلم أمواله، لما قتل مخيريق بأحد، وأوصي إن أصبت فأموالي لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فقبضها رسول الله صلى الله عليه وسلم وتصدق بها
“Amal sedekah pertama dalam Islam adalah wakaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari hartanya. Ketika Mukhayriq (seorang rabbi/ulama Yahudi yang kaya raya dan mengagumi Nabi lalu ikut berperang dalam barisan kaum muslimin pada peperangan Uhud) terbunuh di Uhud, ia berwasiat, ‘Jikalau aku terbunuh dalam peperangan ini, maka seluruh hartaku (berupa kebun) menjadi milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (Ia terbunuh dalam peperangan tersebut). Maka, Rasulullah menerima harta tersebut dan mengeluarkannya sebagai sedekah.” (At-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, 1: 501)
Para ulama berselisih pendapat di dalam menghukumi kesahihan riwayat ini. Akan tetapi, cukup bagi kita untuk menunjukkan kesahihannya dan keabsahannya ketika para ulama yang terpercaya memberitahukan kepada kita bahwa ketujuh kebun ini masih ada di kota tersebut, dan orang-orang mendapatkan manfaat dari buahnya hingga masa Tabi’in dan para pengikutnya, yaitu masa Umar bin Abdul Aziz, dan bahkan hingga zaman-zaman selanjutnya.
Adapun kaum Muhajirin, mereka berpendapat bahwa wakaf khairy (dengan tujuan kebaikan) yang pertama adalah wakaf sahabat ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini disampaikan oleh anak beliau Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
أَنْ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ أصابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فأتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فيها، فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مالًا قَطُّ أنْفَسَ عِندِي منه، فَما تَأْمُرُ بهِ؟ قالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلَها، وتَصَدَّقْتَ بها قالَ: فَتَصَدَّقَ بها عُمَرُ، أنَّه لا يُباعُ ولا يُوهَبُ ولا يُورَثُ، وتَصَدَّقَ بها في الفُقَراءِ، وفي القُرْبَى وفي الرِّقابِ، وفي سَبيلِ اللَّهِ، وابْنِ السَّبِيلِ، والضَّيْفِ لا جُناحَ علَى مَن ولِيَها أنْ يَأْكُلَ مِنْها بالمَعروفِ، ويُطْعِمَ غيرَ مُتَمَوِّلٍ قالَ: فَحَدَّثْتُ به ابْنَ سِيرِينَ، فقالَ: غيرَ مُتَأَثِّلٍ مالًا.
”Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah lahan tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar, di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau bersabda, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’ Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Maka, ‘Umar menyedekahkannya, di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Namun, dia menyedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fisabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang makruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.” Perawi berkata, “Kemudian, aku ceritakan hadis ini kepada Ibnu Sirin, maka dia berkata, ‘Ghairu muta’atstsal malan artinya tidak mengambil harta anak yatim untuk menggabungkannya dengan hartanya.’” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632).
Kisah wakaf Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu
Tsumamah bin Hazn Al-Qusyairi bercerita,
“Aku sedang berada di dalam rumah saat Utsman menampakkan kemuliaannya kepada para sahabat. Ia berkata, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan tidak ada padanya air segar selain sumur Rumah (nama sumur), kemudian beliau bersabda,
من يشتري بئرَ رومةَ فيجعلُ فيها دلوَه معَ دلاءِ المسلمينَ بخيرٍ لَه منها في الجنَّةِ
‘Barangsiapa membeli sumur Rumah kemudian meletakkan padanya embernya bersama dengan ember orang-orang muslim dengan kebaikan darinya, maka ia akan berada dalam surga.’
Lalu, aku membelinya dari hartaku secara murni. Kemudian, aku meletakkan padanya emberku dari ember orang-orang Muslim, dan kalian melarangku minum darinya hingga aku minum dari air laut?’ Mereka mengatakan, ‘Ya Allah, benar.’
Utsman berkata kembali, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa aku telah mempersiapkan pasukan Al-‘Usrah dari hartaku?’ Mereka berkata, ‘Ya Allah, benar.’
Utsman berkata lagi, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa masjid telah sesak dengan penghuninya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapakah yang membeli lahan keluarga Fulan kemudian menambahkannya di masjid, ia akan mendapatkan kebaikan di surga?’ Lalu, aku membelinya dari hartaku secara murni, kemudian aku tambahkan di dalam masjid dan kalian melarangku untuk melakukan salat dua rakaat di dalamnya?’ Mereka menjawab, ‘Ya Allah, benar.’
Utsman berkata lagi, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berada di atas bukit Makkah bersama Abu Bakr, Umar, dan aku. Kemudian, gunung itu bergerak sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjejakkan kakinya seraya bersabda, ‘Diamlah, hai bukit! Sesungguhnya di atasmu terdapat seorang nabi, shiddiq, dan dua orang syahid.’ Mereka berkata, ‘Ya Allah, benar.’ Utsman lalu berkata, ‘Allahu akbar! Mereka telah bersaksi demi Tuhan Ka’bah, bahwa aku adalah orang yang syahid.’” (HR. Tirmidzi no. 3703 dan Nasa’i no. 3608)
Utsman bin Affan merupakan teladan yang sempurna dalam hal kedermawanan dan sedekah. Bahkan, wakaf beliau berupa sumur Rumah dan kebun yang ada di samping sumur tersebut masih terus mengalir manfaatnya hingga saat ini. Di mana kebun tersebut saat ini berada di bawah pengelolaan Badan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, dan hasil manfaatnya diperuntukkan untuk kepentingan pengelolaan Masjid Nabawi.
Subhanallah! Sungguh besar keutamaan yang didapatkan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dan sungguh ini merupakan salah satu bukti kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan adanya amalan yang pahalanya tidak akan terputus meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Semoga Allah meridai beliau dan para sahabat lainnya.
Wallahu A’lam bish-shawab
Kembali ke bagian 1: Pengertian, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya
Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Sumber: https://muslim.or.id/91240-fikih-wakaf-bag-2-wakaf-pertama-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id