Urgensi Mencatat Wakaf, Rukun, dan Syarat Wakaf

Fikih Wakaf (Bag. 3): Urgensi Mencatat Wakaf, Rukun, dan Syarat Wakaf

Merujuk dari situs siwak.kemenag.go.id yang dikelola oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, jumlah tanah wakaf yang berada di Indonesia mencapai 440.512 titik lokasi, yang luas keseluruhan areanya mencapai 57.263,69 Ha. Tentu saja, ini bukanlah angka yang kecil.

Berdasarkan beberapa sumber lainnya, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tanah wakaf terbanyak di dunia. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia di dalam bersedekah dan mewakafkan hartanya di jalan Allah Ta’ala.

Sayangnya, tingginya minat tersebut belum dibarengi dengan pemahaman yang baik akan fikih wakaf itu sendiri. Merujuk dari situs yang sama, tanah wakaf yang sudah diurus sertifikatnya baru mencapai 57,42% dari total keseluruhan tanah wakaf yang ada. Jumlah tanah wakaf yang ada tersebut tidak seimbang dengan jumlah nadzir (pengelola wakaf) yang mendaftarkan tanah wakaf kepada pihak yang berwenang.

Tidak jarang, di kemudian hari, muncul sengketa tanah dan perselisihan antara nadzir dengan keluarga waqif (orang yang mewakafkan), bahkan antara nadzir (badan pengelola) itu sendiri. Hal itu dikarenakan lemahnya kesadaran untuk mencatat dan mengurus bukti sertifikat wakaf saat orang yang mewakafkannya tersebut masih hidup, atau dikarenakan saling lempar tanggung jawab hingga menyebabkan pengurusan sertifikat menjadi tertunda.

Urgensi mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf

Wakaf merupakan salah satu bentuk akad yang diizinkan dan dianjurkan oleh syariat Islam. Sedangkan di dalam syariat kita, terdapat anjuran untuk melakukan pencatatan terhadap setiap akad yang kita lakukan. Hal ini guna menghindari adanya perselisihan dan pertikaian di kemudian hari. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Al-Imam As-Sa’di rahimahullah tatkala menyebutkan faedah-faedah dari ayat tersebut mengatakan,

“Disyariatkan dan dianjurkan untuk mendokumentasikan setiap hak-hak yang kita miliki. Baik itu yang berupa gadai, jaminan (ataupun akad lainnya) dengan sesuatu yang memudahkan dan mengakomodasi seorang hamba untuk mendapatkan haknya. Baik itu nantinya dipergunakan untuk melakukan kebaikan ataupun sebaliknya. Begitu pula, apakah orang tersebut akan amanah ataupun berkhianat. Betapa banyak dokumentasi akad yang pada akhirnya menyelamatkan hak-hak seorang hamba serta menyelesaikan perseteruan yang ada.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 961)

Beliau juga mengatakan,

“Allah memerintahkan untuk mencatat (dokumentasi utang) piutang. Perkara yang satu ini terkadang menjadi wajib. Yaitu, apabila dalam hal yang mewajibkan memelihara hak (orang lain). Seperti: seorang hamba yang wajib atasnya perwalian atas harta anak yatim, harta wakaf, perwakilan, dan amanah.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 961)

Seseorang yang mewakafkan hartanya hendaknya mencatatkan secara resmi objek yang diwakafkannya tersebut. Atau bagi pihak nadzir (pihak yang ditunjuk untuk mengelola sebuah objek wakaf) hendaknya membantu menguruskan hal tersebut kepada pihak berwenang. Sehingga, di kemudian hari tidak muncul perseteruan dan perselisihan terkait objek wakaf tersebut.

Pencatatan dan dokumentasi perbuatan wakaf ini juga telah diatur oleh pemerintah kita. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di antara yang disebutkan adalah,

“Perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan.” (Wakaf Kontemporer, karya Dr. Fahruroji, Lc., MA., hal. 2)

Pemerintah, yang dalam hal ini menjadi pemimpin kita, telah mewajibkan setiap individu yang ingin mewakafkan hartanya untuk melakukan pencatatan dan pendaftaran ke lembaga hukum terkait serta mengumumkannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menaati aturan tersebut sehingga tidak muncul keburukan-keburukan di kemudian hari.

Rukun-rukun wakaf

Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.

Pertama, orang yang berwakaf (Al-Waqif).

Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf).

Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok tertentu atau lembaga berwenang tertentu.

Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim setelah adanya ikrar wakaf. Dan lafaz ikrar wakaf ada yang bersifat eksplisit (tersurat) dan ada juga yang implisit (tersirat).

Contoh lafaz yang eksplisit adalah,

“Aku wakafkan hartaku.”;

“Aku tahan hartaku.”;

atau

“Aku hibahkan dan alirkan manfaatnya.”

Dengan ucapan-ucapan semacam ini, maka harta yang disebutkan tersebut otomatis berubah menjadi harta wakaf tanpa perlu ada indikasi lainnya.

Adapun contoh lafaz ikrar yang implisit (tersirat) adalah ucapan seseorang,

“Aku sedekahkan hartaku.”;

“Aku haramkan bagi diriku harta tersebut.”;

atau

“Aku jadikan hartaku lenggang dan abadi.”

Lafaz-lafaz semacam ini menjadikan harta milik pribadi menjadi wakaf apabila disertai dengan niat atau adanya indikasi bahwa dirinya memang meniatkan wakaf. Seperti tambahan ucapannya,

“Sedekah yang diwakafkan.”

atau

“Harta yang disedekahkan tidak boleh diperjualbelikan.”

Sebagaimana juga, indikasi-indikasi tersebut diiringi dengan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya berniat untuk mewakafkan hartanya. Seperti: membangun masjid lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya.

Syarat-syarat wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat:

Pertama: Wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga, tidak sah wakafnya seorang anak kecil, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga, transaksi harta lainnya yang mereka lakukan.

Kedua: Wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan, serta dimanfaatkan, sedangkan wujud benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya.

Ketiga: Wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Baik wakafnya tersebut dari seorang muslim maupun ahli dzimmah.

Keempat: Penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila merujuk pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.”

Kelima: Hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Jika wakafnya diiringi dengan syarat tertentu atau dibatasi dengan durasi tertentu, maka tidak sah. Hanya saja apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf.

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 4: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/91242-fikih-wakaf-bag-3-urgensi-mencatat-wakaf-rukun-dan-syarat-wakaf.html
Copyright © 2024 muslim.or.id