Hai Jiwa yang Tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diradai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Wahai jiwa yang telah yakin pada kebenaran, tidak diliputi keraguan, tetap pada aturan syariat, tidak tergoda dengan syahwat (nafsu duniawi), serta tidak tergoyahkan dengan keinginan semu, kembalilah pada tempat yang mulia di sisi Tuhanmu, yang telah rida dengan segala amalmu ketika di dunia, keridaan atasmu…maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang mulia, tempuhlah jalan mereka…maka nikmatilah segala yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, terdetik dalam hati. Demikian penjelasan Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, Al-Maraghi, ketika menafsirkan rangkaian ayat di atas.

Di dalam Alquran, kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna jiwa adalah kata ‘nafs’. Secara eksplisit, Alquran menyebut tiga jenis nafs, yaitu: 1) al-nafs al-muthmainnah, terdapat dalam QS. Al-Fajr [89]: 27; 2) al-nafs al-lawwamah, terdapat dalam QS. Al-Qiyamah [75]: 2; 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’, terdapat dalam QS. Yusuf [12]: 53.

Selain ketiga jenis nafs di atas, Alquran juga menyebut istilah nafs zakiyyah, seperti terdapat dalam QS. Al-Kahfi [18]: 74.

Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya, Jiwa dakan Alquran, dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya maha suci (zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya, maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthmainnah, setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkat nafs lawwamah. Akan tetapi, jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya.

Dari beragam bentuk nafs yang disebutkan oleh Alquran itu, kita berharap memiliki bentuk nafs yang paling tinggi dan paling mulia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang.

Dalam kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, Al-Baghdadi menjelaskan bahaw makna al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tetap pada keimanan dan keyakinan, membenarkan firman Allah, meyakini bahaw Allah adalah Tuhannya, tunduk serta taat kepada perintah Allah, rida dengan ketetapan (qadla) serta takdir (qadar) Allah, yang selalu tenang dan damai dengan terus berzikir kepada Allah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar agar jiwa kita bisa mencapai tingkat tertinggi, yakni jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah)?

Dalam pandangan penulis, setidaknya ada dua faktor yang menentukan seseorang untuk dapat mencapai tingkat kualitas jiwa tertinggi (al-nafs al-muthmainnah), yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

Pertama, faktor internal, yaitu berasal dari dalam diri seseorang. Dalam setiap diri manusia itu ada yang paling menentukan segala tindakan serta tingkah lakunya. Dia adalah hati. Hati yang dalam bahasa Arab disebut qalb (yang mudah terbolak-balik) adalah penentu segala aktivitas kita. Jika hati kita selalu mengingat Allah, maka perilaku kita akan selalu menghasilkan hal positif, dan jiwa kita pun menjadi tenang. Tetapi sebaliknya, jika hati cenderung lalai kepada Allah, maka perilaku kita akan menghasilkan hal negatif, dan jiwa kita akan gelisah.

Kedua, faktor eksternal, yaitu berasal dari luar diri kita berupa hidayah yang datang dari Allah Swt. Hidayah atau petunjuk Allah akan datang kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Meski demikian, bukan berarti manusia tidak punya peran dalam hal ini. Kita harus terus berusaha untuk menjemputnya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayat tersebut, maka insya Allah hidayah pun akan datang kepada kita. Dengan datangnya hidayah ini, maka hati kita akan tetap terjaga. Dengan demikian, jiwa pun menjadi tenang.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang kelak disambut dengan panggilan mesra: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” [Didi Junaedi]

 

INILAH MOZAIK