Hakikat Idul Qurban

Sebagai umat Islam, kita memiliki dua hari raya keagamaan, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Namun, setiap tahun kita rayakan, kita selalu diingatkan makna-makna yang terkandung di dalam dua hari perayaan keagamaan tersebut.

Idul Fitri merupakan simbol atau hakikat bahwa kita telah keluar sebagai pemenang melawan hawa nafsu melalui satu bulan Puasa Ramadhan. Karena sesungguhnya, musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang ada pada diri kita sendiri.

Hawa nafsu yang kita miliki, bukanlah untuk dihilangkan, melainkan dikendalikan agar kita benar-benar menjadi manusia yang bertakwa seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Begitu juga, Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban. Makna hakikinya, kita diajarkan oleh Nabi Ibrahim As, untuk menjadi manusia yang taat kepada Allah, beliau melaksanakan apapun yang diperintah Allah SWT, termasuk mengorbankan anaknya sendiri, Nabi Ismail As.

Bagi kita, tentu tak harus mengorbankan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap putranya. Namun, apakah pengorbanan yang kita lakukan sudah sepadan, dan bisa disebut pengorbanan?

 

Berkorban adalah mengorbankan sesuatu yang kita miliki, mengorbankan sesuatu yang kita sayangi. Apakah sepadan pengorbanan yang dilakukan orang kaya dengan apa yang dilakukan si miskin?

 

Buat si kaya, menyembelih seekor sapi seharga 40 juta, tentu amat kecil bila penghasilannya setiap bulan lebih dari sepuluh juta. Coba bila bandingkan dengan Nabi Ibrahim, tak ada apa-apanya.

 

Atau bandingkan dengan warga miskin yang berkurban dengan menabung setiap hari, meskipun kesehariannya terasa sulit bila dibandingkan kita, seperti kisah Mak Yati.

 

Apa pun pengorbanan kita, besar kecilnya, hanya Allah yang mengetahuinya. Karena, semuanya bergantung pada keikhlasan kita,…

 

Yuk tingkatkan terus keikhlasan kita berkurban!

 

sumber: Sukarja/BlogDetik