Rambu-Rambu Berkurban

Shahibul kurban adalah sebutan (istilah) bagi orang yang hendak berkurban atau melaksanakan ibadah kurban. Menjadi shahibul kurban ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang memiliki kelapangan harta yang cukup atau berlebih. Allah Ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Salatlah kepada Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 8273, hadis hasan Lihat Takhrij Musykilail-Faqr no. 102)

Dalam berkurban, shahibul kurban perlu memerhatikan rambu-rambu terkait perintah dan larangan yang telah diatur dalam syariat Islam yang indah dan kaffah ini. Aturan dan larangan yang ada tentu mengandung hikmah, baik diketahui maupun tidak. Semoga dengan melaksanakan dan mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya, ibadah kurban kita menjadi semakin lebih sempurna dan diterima Allah Ta’ala.

Larangan memotong kuku dan mencukur rambut

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ

”Barangsiapa yang telah memiliki hewan yang hendak dikurbankan, apabila hilal bulan Zulhijah telah muncul (telah masuk tanggal 1 Zulhijah), maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kukunya hingga dia selesai menyembelih.” (HR. Muslim)

Larangan dalam hadis tersebut ditujukan untuk shahibul kurban, bukan rambut dan kuku hewan kurban. Kata ganti yang digunakan dalam kalimat ‘شَعْرِهِ’ dan ‘أَظْفَارِهِ’ adalah kata ganti tunggal untuk jenis mudzakar (laki-laki), yaitu kata ganti ‘هـ’. Kata ganti tersebut kembali kepada pemilik hewan, bukan hewannya.

Larangan yang dimaksud adalah larangan baik mencukur gundul atau mencukur sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan, maupun di ketiak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 376)

Perlu diperhatikan juga bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk kepala keluarga (shahibul kurban) dan tidak berlaku bagi seluruh anggota keluarganya. (Lihat Syarhul Mumti’, 7: 529)

Hikmah dari larangan di atas, menurut syafi’iyah adalah agar rambut dan kuku yang hendak dipotong tetap ada hingga hewan kurban disembelih. Demikian supaya semakin banyak anggota tubuh yang terbebas dari api neraka. Allahu a’lam.

Jangan menjual daging dan kulit hewan kurban

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya. (HR. Al-Hakim no. 2390 dan Al-Baihaqi. Hadis hasan)

Barter (menukar) dan menjual kulit dan kepala hewan kurban untuk ditukar dengan daging termasuk jual beli yang dilarang. Karena tukar-menukar termasuk transaksi jual beli, meskipun dengan selain uang. (Lihat Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373)

Memperjualbelikan kulit hewan kurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Kecuali setelah dibagikan, orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk dimanfaatkan yang lain, karena ini sudah menjadi haknya. (Lihat Fiqh Syafi’i, 2: 311)

Pantangan mengupah jagal (penyembelih) dengan bagian tubuh hewan kurban

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا، وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا

“Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengurusi penyembelihan untanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikit pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim)

Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 379)

Akan tetapi, jika diberikan cuma-cuma dan bukan sebagai upah, maka jagal diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Demikian juga bila hasil kurban diserahkan kepada jagal karena ia miskin atau sebagai hadiah, maka tidaklah mengapa.

Baca juga: Hukum Memberi Hadiah Daging Kurban kepada Tukang Jagal

Menggagalkan hewan kurban yang telah ditentukan

Jika sudah berniat (diucapkan dengan lisan atau ditunjukkan suatu perbuatan) dan bahkan sudah membeli hewan yang memang dikukuhkan untuk berkurban, maka tidak boleh digagalkan dan baiknya tetap konsisten untuk berkurban. Namun, jika ingin menukarkan hewan kurban dengan hewan yang lebih baik, maka diperbolehkan. (Lihat Ahkamul Udhiyati, hal. 17-18)

Anjuran siapa saja yang menerima hewan kurban

Allah Ta’ala telah menerangkan kepada siapa saja daging kurban tersebut diberikan dalam firman-Nya,

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah mati, maka makanlah sebagiannya dan beri daging itu untuk orang (miskin) yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta. (QS. Al-Hajj: 36)

Dari ayat di atas, Allah berikan tiga pilihan terkait pendistribusian hewan kurban:

Pertama: Dimakan sendiri dan keluarga atau kerabat (ini yang disunahkan).

Kedua: Diberikan kepada orang yang tidak mampu sebagai sedekah (ini yang diwajibkan).

Ketiga: Diberikan kepada orang yang mampu sebagai hadiah (ini yang mubah). (Lihat Ahkamul Udhiyati, hal. 24)

Hal yang sama juga disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, berikan kepada orang lain, dan silakan simpan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Lajnah Ad-Da-imah (Komisi Fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Hasil sembelihan kurban dianjurkan: (1) Dimakan oleh shahibul kurban. (2) Sebagian lainnya diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. (3) Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. (4) Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. (5) Juga sebagian lagi diberikan (sebagai hadiah) pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” (Fatwa no. 5612, 11: 423-424)

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85539-rambu-rambu-berkurban.html

6 Perkara Sunnah Sebelum Shalat Idul Adha

Terdapat 6 perkara sunnah sebelum shalat Idul Adha. Kesunnahan sebelum shalat Idul Adha ini seyogianya diamalkan oleh kaum muslim menjelang shalat Idul Adha  10 Dzulhijjah. 

Di hari Idul Adha, kita dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah Idul Adha secara berjamaah, baik di masjid, mushalla, atau lapangan terbuka. Namun sebelum kita melaksanakan shalat Idul Adha, terdapat beberapa perkara yang dianjurkan untuk kita kerjakan. Setidaknya, ada enam perkara yang dianjurkan untuk kita kerjakan sebelum melaksanakan shalat Idul Adha.

Perkara Sunnah Sebelum Shalat Idul Adha

Pertama, menghidupkan malam Idul Adha dengan memperbanyak beribadah kepada Allah, baik dengan shalat sunnah malam, membaca Al-Quran, zikir, berdoa, bertakbir dan lainnya. 

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ibnu Majah dari Abu Umamah, bahwa Nabi Saw bersabda;

من قام ليلتي العيد، محتسباً لله تعالى، لم يمت قلبه يوم تموت القلوب

Barangsiapa yang beribadah pada Idul Fitri dan Idul Adha semata-mata mengharap ridha Allah, maka hatinya itu tak akan mati di mana hati-hati orang lain mati.

Kedua, mandi sebelum berangkat melaksanakan shalat Idul Adha. Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, dia berkata;

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يغتسل يوم الفطر والأضحى

Sesungguhnya Rasulullah Saw mandi di hari Idul Fitri dan Idul Adha.

Ketiga, memakai pakaian yang bagus, rapi dan memakai parfum. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Hakim berikut;

اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْعِيْدَيْنِ اَنْ نَلْبَسَ اَجْوَدَ مَا نَجِدُ وَاَنْ نَتَطَيَّبَ بِاَجْوَدِ مَانَجِدُ وَاَنْ نُضَحِّيَ بِاَثْمَنِ مَا نَجِدُ

Rasulullah  Saw memerintahkan kepada kami agar pada kedua hari raya memakai pakaian yang terbagus, memakai wangi-wangian yang terbaik dan berkurban dengan hewan yang paling berharga. 

Keempat, tidak makan dan minum sebelum shala Idul Adha. Sebelum shalat Idul Adha kita dianjurkan untuk imsak atau tidak makan dan minum. Kita hendaknya makan dan minum setelah selesai melaksanakan shalat Idul Adha.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi dari Buraidah bin Hushaib, dia berkata;

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّىَ

Pada hari Idul Fitri, Nabi Saw tidak keluar menuju lapangan hingga beliau sarapan dulu. Dan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan, hingga beliau shalat.

Kelima, memperbanyak membaca takbir saat berangkat menuju tempat pelaksanaan shalat Idul Adha. 

Keenam, saling mengucapkan selamat atau tahniah saat berjumpa dengan orang lain ketika berangkat menuju tempat pelaksanaan shalat Idul Adha. Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam kitab Fathul Bari dari Jubair bin Nufair, dia berkata;

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك

Para sahabat Rasulullah Saw berjumpa dengan pada hari raya, satu sama lain saling mengucapkan; Taqobbalallaahu minnaa wa minka

Demikian 6 perkara sunnah sebelum shalat Idul Adha. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kerajaan Saudi Tunjuk Syeikh Dr Al-Issa Sampaikan Khutbah Arafah

Pemerintah Arab Saudi telah sepakat untuk menunjuk Syeikh Dr Mohammad Abdul Karim Al-Issa, Sekretaris Jenderal Liga Dunia Islam (MWL) untuk memimpin shalat dan menyampaikan khutbah di Masjid Namirah pada Hari Arafah, Jumat (7/7/2022).

Departemen Tertinggi Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Arab Saudi melalui portalnya, menginformasikan kepada pemerintah Arab Saudi di bawah kepemimpinan Penjaga Dua Kota Suci, Raja Salman Abdulaziz mengeluarkan kesepakatan tersebut kemarin.

Syeikh Dr Al-Issa dikenal luas sebagai cendekiawan kontemporer yang berkomitmen untuk membawa kesadaran global akan citra Islam yang sebenarnya, selain mempromosikan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kerukunan antaragama.

Di bidang akademik, Syeikh Dr Al-Issa yang juga ahli di bidang syariat Islam serta hukum dan peradilan, sering diundang untuk memberikan kuliah di lembaga akademik dan badan intelektual internasional di beberapa negara di dunia.

Baru-baru ini ia juga menghadiri Konferensi Ulama Asia Tenggara 2022 yang diadakan di Bandar Sunway, Petaling Jaya Malaysia. Khutbah Arafah akan dibacakan dalam bahasa Arab dan disiarkan langsung dari Arab Saudi Jumat ini dengan terjemahan dalam 14 bahasa lain, termasuk Melayu, China dan Tamil.

Bagi yang ingin mengikutinya dapat melakukannya di tautan berikut: https://manaratalharamain.gov.sa/arafa/arafa_sermon/en.*

HIDAYATULLAH

Pengorbanan Butuh Nyali: (Keutamaan 10 Hari Awal Dzulhijjah)

AGAMA selalu memberikan pelajaran yang luar biasa. Agar tanaman berbunga dan berbuah indah. Disiram dengan teratur dan dijaga dari rerumputan liar, butuh keringat yang dicucurkan.

Perahu agar sampai ke dermaga butuh gelombang, terkadang gelombang itu menghempas, maka butuh hati yang tenang dan kesabaran untuk tetap kokoh dalam hempasannya. Untuk medapatkan mutiara, ia harus tenggelam ke dasar laut, berjuang dengan segala makhluk laut dengan kitaran karang-karang yang tajam.

Demikian pula, untuk mendapatkan Lailatur Qadar, ia harus bertirakat untuk tidak makan dan minum (puasa), beriktikaf, berzakat (mensucikan diri), bahkan untuk memasuki bulan yang di dalamnya ada malam seribu bulan ia dianjurkan mempersiapkan dua bulan sebelumnya (Rajab dan Sya’ban).

Setiap kali akan bertemu dengan hari-hari istimewa, umat Islam selalu diajurkan untuk tirakat (berpuasa, dan melakukan berbagai amalan lainnya). Mensucikan tubuh dan batin sebelum tawajjuh.

Bagaimana dengan beberapa hari ini, al-‘Asyra al-Awail (10 hari pertama) Dzu al-Hijjah? Sembilan hari sebelum menuju tanggal 10 bulan Dzulhijjah dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan mengurai pikir, menguatkan hati, berlatih bersabar, beradaptasi dengan segala kebaikan, berpositif dengan segala cobaan, men-tadabburi tanda-tanda alam, berishlah dengan keterpurukan, tersenyum dalam kegetiran.

Persiapan ini tidak hanya untuk tanggal 10, tapi bulan ini adalah bulan yang sangat istimewa, karena segala ibadah terhimpun di sini; Salat, Sedekah, Puasa, dan haji.

Di bulan ini; Islam disempurnakan, haji dikibarkan, darah-darah korban ditumpahkan (udhhiyyah), muktamar umat Islam terbesar (Arafah) dilaksanakan, simbol syaitan diperangi (ramyu Jamarat), kasih sayang diperjuangkan (Sa’i), menuju Tuhan diistiqamahkan (Thawaf). Peristiwa lainnya di bulan ini, taubat Nabi Adam diterima (1 Dzulhijjah), Nabi Yunus keluar dari ikan (2 Dzulhijjah), Munajat Nabi Zakaria terkabul (3 Dzulhijjah), Nabi Isa dilahirkan (4 Dzulhijjah), Nabi Musa dilahirkan (5 Dzulhijjah), 6 Dzulhijjah kemenangan Nabi Muhammad dalam ajaran tauhid (fatahallah Abwab khairat), pintu neraka ditutup (7 Dzulhijjah), Nabi Ibrahim diminta membangun Ka’bah (8 Dzulhijjah), Keyakinan Nabi Ibrahim akan perintah mengorbankan putranya (9 Dzulhijjah), dan masih banyak peristiwa luar biasa di bulan ini.

“Wal Fajri” istimewa…! Untuk menegaskan betapa hari-hari ini (sepuluh hari di Dzulhijjah) sesuatu yang istimewa “Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (Qs. Al Fajr: 1-2). (Ikhtilaf mufassir dalam ayat ini). “Tidak ada hari yang amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Para sahabat bertanya: “Apakah lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda, “Iya. Lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi (mati).” (HR. Al Bukhari)

Persiapan menuju hari-hari indah itu adalah dengan melakukan beberapa kesunnahan yang dianjurkan; berpuasa, terutama tanggal 9 Dzulhijjah, memperbanyak salat sunnah (nawafil), bertakbir dan berzikir, bertaubat pada Allah, memperbanyak amal saleh; silaturahmi, birrul waalidain (berbuat baik kepada orang tua), sedekah, menghibur orang yang tertimpa musibah, membaca Alquran, memenuhi kebutuhan kaum Muslimin dan amal-amal baik lainnya. Pada tanggal 10 Dzulhijjah salat Idul Adha dilanjutkan dengan berkorban (Udhhiyyah).

Mudah-mudahan kita mampu menjalani hari-hari ini dengan bunga-bunga kebaikan untuk mendapatkan buah-buah keindahan. Billahi al-Taufiq./*Dr Hamili Zuhdy

HIDAYATULLAH

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Bagaimana hukum menggabungkan niat akikah dan kurban? Apakah boleh menggabungkan dua niat itu? Atau tidak boleh bergabung antara akikah dan kurban?

Jawaban persoalan ini ada dua hukum. Seperti dikutip dari Mubadalah.id,  jika merujuk pada ilmu fiqh tentang hukum menggabungkan niat akikah dan kurban, maka hukumnya terbagi menjadi dua, tidak boleh dan boleh.

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Ketidak bolehan menggabungkan niat akikah dan kurban itu merujuk pada ulama fiqh, Imam Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang mengatakan bahwa niat kurban dan akikah tidak boleh bergabung dalam satu amalan saja.

Hal ini, menurut dia, karena meski jenis dan praktik keduanya sama, yaitu sama-sama menyembelih hewan, namun tujuan keduanya berbeda.

Kurban bertujuan untuk mensyukuri nikmat hidup, sementara akikah untuk mensyukuri kelahiran anak. Jika keduanya bergabung, maka hanya mendapat pahala salah satunya saja.

وظاهر كلام الاصحاب انه لو نوى بشاة الاضحية والعقيقة لم تحصل واحدة منهما وهو ظاهر لان كلا منهما سنة مقصودة

Artinya : Perkataan yang jelas dari Ashab (ulama Syafiiyah), bahwa jika seseorang menyembelih satu ekor kambing dengan niat kurban dan akikah, maka pahala salah satunya tidak berpahala. Hal ini sudah jelas karena keduanya sama-sama ada tuntutan untuk melakukannya.

Pendapat Boleh Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Sedangkan ulama fiqh yang menyebutkan kebolehan menyatukan niat akikah dan kurban itu seperti terungkapkan oleh Imam Hasan Al Basri.

Dia menyebutkan bahwa kurban dan akikah boleh gabung  dengan hanya menyembelih satu ekor hewan saja.

Dengan demikian, orang yang belum akikah kemudian dia berkurban, maka kurbannya tersebut sudah cukup.  Artinya, tanpa perlu melakukan akikah di kemudian hari.

Imam Hasan Al Basri juga menjelaskan kebolehan itu berdasarkan karena kurban dan akikah memiliki kesamaan jenis dan tujuan, yaitu menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Sehingga niat keduanya bisa bergabung dan bersatu dalam satu amalan ibadah saja.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Almushannaf sebagai berikut;

عن الحسن قال: اذا ضحوا عن الغلام فقد اجزأت عنه عن العقيقة

Artinya : Dari Imam Hasan Albasri, dia berkata; Jika mereka berkurban untuk anaknya, maka kurbannya tersebut sudah cukup tanpa perlu mengakikahi lagi.

Dari uraian di atas, maka dapat tersimpulakn, jika mengikuti pendapat Imam Hasan Albasri, maka kurban dan akikah boleh bergabung dengan hanya menyembelih satu ekor hewan, serta mendapatkan dua pahala sekaligus.

Sementara itu, menurut Imam Ibnu Hajar Alhaitami, jika keduanya bersatu (gabung)  maka hanya mendapat pahala salah satunya. 

Tulisan ini telah diterbitkan di Mudalah.id

BINCANG SYARIAH

11 Ketentuan yang Perlu Diketahui Saat Ibadah Qurban Idul Adha

Qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya, siapa tidak mampu berkurban, ia akan meraih pahala dari orang yang berkurban. Inilah ketentuan ibadah qurban yang perlu diketahui umat Islam

QURBAN adalah menyembelih kambing (domba) sebagai pengorbanan pada hari Idul Adha, dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hukumnya adalah sunnah yang diwajibkan bagi setiap keluarga muslim yang mampu untuk melakukannya, sebagaimana firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkurbanlah.” (QS: Al-Kautsar [108]: 2).

Sabda Nabi:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Barang siapa yang menyembelihnya sebelum shalat (Id), maka hendaklah ia mengulangi.” (HR. Al-Bukhâri, Muslim, dan An-Nasa’i).

كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

“Bagaimanakah Qurban yg dilaksanakan di masa Rasulullah ﷺ? Ia menjawab: Seseorang berkurban dengan seekor kambing atas dirinya dan ahlu baitnya (keluarganya). “ (HR: Tirmidzi)

Keutamaan Qurban

Dalam As-Sunnah dijelaskan bahwa berkurban memiliki keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh manusia pada hari penyembelihan (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain daripada mengucurkan darah (hewan qurban) karena sesungguhnya, ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Maka, bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban!” (HR: At-Tirmidzi).

Ketentuan – ketentuan seputar Ibadah Qurban

Usia

Islam telah memberikan ketentuan tentang usia hewan untuk qurban. Kambing untuk qurban tidak boleh kurang dari Al-Jidz’u (tidak genap satu tahun, atau mendekati satu tahun). Selain kambing, seperti biri-biri, unta atau sapi tidak kurang dari dua tahun.

Khusus untuk biri-biri, hendaknya berusia satu tahun dan masuk pada tahun kedua. Adapun unta dipilih yang berumur empat tahun dan memasuki tahun ke lima, dan sapi berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا الْجَذَعَةَ مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (HR: Muslim, 1963). Musinnah adalah hewan yang berumur dua tahun.

Terbebas dari kurus dan cacat

Ketentuan lain terkait hewan qurban yaitu, tidak diperbolehkan berkurban kecuali dengan binatang yang terbebas dari kecacatan dalam penciptaannya. Tidak boleh yang buta sebelah matanya, yang pincang, tidak al-‘udhbâ’ (yang pecah tanduknya, atau yang di potong telinganya dari aslinya) tidak yang sakit, tidak yang al-‘ajafâ’ (yang kurus atau tidak bersumsum), sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

مرضها، ((أربع لا تجوز في الأضاحي: العوراء البيـن عورها، والمريضة البين والعرجاء البين ضلعها، والكسيرة التي لا تن

“Ada empat macam yang tidak boleh ada pada hewan qurban; buta sebelah yang jelas butanya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya, dan hewan yang tidak mempunyai sumsum.” (HR. Abu Dâud: 2802, dan Imâm Ahmad: 4/300). Adapun yang dimaksud tidak memiliki sumsum adalah hewan yang tidak ada sumsum pada tulangnya, hewan yang sangat kurus.

Hewan yang paling utama

Hewan qurban yang paling diutamakan ialah kambing yang bertanduk, yang berwarna putih campur hitam (belang) di antara kedua mata dan kakinya. Sifat hewan seperti inilah yang disukai Rasulullah ﷺ. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ‘Aisyah pernah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi berkurban dengan domba yang bertanduk dan bulu kaki-kakinya warnanya merata hitam dan disekitar matanya berwarna putih.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menshahihkannya)

Waktu penyembelihan

Waktu menyembelih hewan qurban adalah pagi hari di hari Idul Adha, yakni setelah selesai melaksanakan shalat Id. Tidak diperbolehkan menyembelih sebelum melaksanakan shalat Id, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

((من ذبح قبل الصلاة فإنما يذبح لنفسـه ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه

وأصاب سنة المسلمين))

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (Id) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya, dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Id), maka sempurnalah amalannya dan mengikuti sunnah umat muslimin.” (HR: Al-Bukhâri: 7/128, 131).

“Penyembelihan hewan qurban tidak boleh diakhirki tiga hari dari hari ld.”

Adapun setelah hari Id, maka itu diperbolehkan untuk mengakhirkannya pada hari kedua dan ketiga setelah shalat Id sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat, “Semua hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.”  (Diriwayatkan oleh Imâm Ahmad: 4/82, di dalam sanadnya ada catatan, namun ada sebuah atsar dari Ali bin Abi Thâlib, Ibnu Abbâs, dan shahabat lainnya yang menguatkan. Dan Imam Mâlik dan Abu Hanifah berkata: bahwa hadits ini diriwayatkan dari Umar dan anaknya (Abdullah bin Umar):

Hal-hal yang dianjurkan ketika menyembelih

Ketika menyembelih dianjurkan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat sambil mengucapkan:

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya salatku, ibadahku, serta hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama menyerahkan diri.”

Diharuskan membaca doa ketika hendak menyembelih:

((بسم الله والله أكبر)

“Dengan menyembut nama Allah, dan Allah Mahabesar”

Mewakilkan Qurban

Dalam ketentuan qurban, seorang muslim dianjurkan menyembelih oleh dirinya sendiri, dan boleh diwakilkan dalam penyembelihan karena tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama.

Pembagian daging Qurban

Pembagian daging hewan qurban juga memiliki ketentuannya sendiri. Daging qurban dianjurkan dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga untuk diberikan (dimakan) keluarganya, sepertiga untuk sedekah, dan sepertiga untuk diberikan kepada shahabat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

كلوا وادخروا وتصدقوا

“Makanlah oleh kalian, simpanlah, dan sedekahkanlah.” (HR: Abu Dâud: 10, dan An-Nasa`i: 37).

Diperbolehkan mensedekahkan seluruhnya, dan juga diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya sedikitpun.

Upah bagi penyembelih

Kita tidak diperbolehkan memberikan upah kepada yang menyembelih hewan qurban dari bagian hewan Qurban itu. Sebagaimana perkataan Ali, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadaku untuk mengurusi untanya, dan aku diperintahkan untuk mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan untuk tidak memberikan kepada penyembelihnya (menanganinya) upah sedikitpun. Lalu ia mengatakan, kami memberinya upah dari apa yang kami miliki.” (HR. Muslim: 954, Abu Dâud: 1769, Imâm Ahmad: 1/123, dan Ibnu Majah: 3099).

Sahkah satu sekeluarga berkurban dengan satu ekor kambing?

Sah Qurban satu keluarga berupa seekor kambing meskipun ada. beberapa orang dalam keluarga tersebut. Sebagaimana penuturan Abu Ayyub Al-Anshari berkata.

أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاة

Artinya: “Sesungguhnya Abu Ayyub al-Anshari berkata, Kami dahulu berkurban dengan satu kambing, disembelih seseorang untuk dirinya dan keluarganya, kemudian manusia setelahnya saling membanggakan diri maka menjadi ajang saling membanggakan (bukan ibadah).” (HR Imam Malik bin Anas).

“Adalah seorang laki-laki di zaman Rasulullah berkurban dengan seekor kambing atas nama dirinya dan keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi telah ditkhrij sebelumnya).

Hal-hal yang harus dihindari ketika berazam untuk berkurban

Orang yang hendak berkurban sangat dimakruhkan untuk memotong rambut atau kukunya walau sedikit. Demikian ini, apabila telah nampak hilal bulan Dzulhijjah sampai datang waktu penyembelihan hewan Qurban, sebagaimana sabda nabi:

0 ((إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسـك عن شعره

وأظفاره حتى يضحى))

“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban maka hendaklah ia menahan (tidak memotong) rambutnya dan kukunya hingga ia berkurban.” (HR. Muslim: 41)

Qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya. Barangsiapa tidak mampu berkurban, maka ia akan meraih pahala dari orang-orang yang berkurban. Sebagaimana sabda Rasulullah:

((اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي)) O

“Ya Allah, ini (hewan Qurban) dariku dan dari yang tidak (mampu) berkurban dari umatku.” (HR. Al-Hâkim: 4/228).*/Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim (Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim)

HIDAYATULLAH

Komisi Fatwa MUI: Hewan yang Terkena Penyakit Mulu dan Kuku Tidak Sah Dijadika Kurban

Hewan yang terkena Foot and Mouth Disease atau Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan gejala klinis kategori berat tidak sah untuk dijadikan hewan kurban, Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh. Demikian disampaikan Komisi Fatwa MUI Pusat saat memberikan paparan dalam konferensi pers Fatwa Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah PMK, Selasa (31/05) di Gedung MUI Pusat, Jakarta.

“Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang atau tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus, hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban, ” ungkap Asrorun Niam Sholeh.

Menurut Komisi Fatwa MUI, hewan baru sah dikorbankan bila sudah sembuh dari PMK pada hari-hari berkurban yaitu 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Bila hewan sembuh dari PMK setelah tanggal tersebut, maka penyembelihan hewan tersebut terhitung sebagai sedekah.

“Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh PMK dalam waktu yang diperbolehkan kurban (tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah), maka hewan tersebut sah dijadikan hewan kurban, ” ungkapnya.

Niam menyampaikan, ketentuan-ketentuan khusus ini hanya pada hewan PMK kategori berat. Sementara pada PMK kategori ringan, ditandai dengan lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya, hukumnya sah dijadikan hewan kurban.

Dia juga menambahkan, pelubangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuh hewan tetap membuat hewan tersebut sah dikorbankan. “Pelubangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan sudah divaksin atau sebagai identitasnya, tidak menghalangi keabsahan hewan kurban, “ ungkapnya.

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau dikenal dengan Foot and Mouth Disease adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus yang sangat menular dan menyerang hewan berkuku genap/belah seperti sapi, kerbau, dan PMK dengan gejala klinis kategori berat adalah penyakit mulut dan kuku pada hewan yang antara lain ditandai dengan lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan, dan menyebabkan kurus permanen, serta proses penyembuhannya butuh waktu lama atau bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan.

PMK dengan gejala klinis kategori ringan adalah penyakit mulut dan kuku pada hewan yang antara lain ditandai dengan lesu, tidak nafsu makan, demam, lepuh pada sekitar dan dalam mulut (lidah, gusi), mengeluarkan air liur berlebihan dari mulut namun tidak sampai menyebabkan pincang, tidak kurus, dan dapat disembuhkan dengan pengobatan luka agar tidak terjadi infeksi sekunder, dan pemberian vitamin dan mineral atau herbal untuk menjaga daya tahan tubuh dalam waktu sekitar 4-7 hari.*

HIDAYATULLAH

Hukum Shalat Idul Adha di Rumah

Pandemi Covid-19 di Indonesia tak kunjung jua usai. Semakin hari korban yang terjangkit positif kian bertambah. Pun korban yang meninggal akibat Covid-19, sepanjang bulan Juni-Juli terus bertambah. Total angka kematian mencapai 69.210 jiwa. Belum lagi kondisi rumah sakit yang full pasien. Dan juga kelangkaan oksigen.

Pemerintah mengeluakan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kebijakan ini sebagai upaya memutus mata rantai laju Covid-19. Laju Covid-19  kian semakin mengkhawatirkan. Terutama bagi mereka yang berada dalam zona hitam dan merah, seperti Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila tidak mampu menjaga diri, bisa dipastikan akan terjangkit virus Covid-19.

Kebijakan PPKM dari 3-20 Juli 2021, sebagai upaya penyelamatan kehidupan manusia dari Covid-19. Salah satu poin dalam kebijakan ini adalah menganjurkan kegiatan keagamaan di dalam rumah ibadah ditiadakan. Artinya; ibadah keagamaan dikerjakan dari rumah saja. Misalnya shalat berjamaah, shalat Jumat, dan Idul Adha.

Pada tahun ini, Idul Adha akan jatuh pada  Selasa, 20 Juli 2021 mendatang. Artinya, umat Islam akan merayakan Idul  Adha dalam suasana PPKM Darurat. Lantas bagaimana dengan seorang muslim yang ingin mengerjakan shalat Idul  Adha, padahal masjid ditutup atau meniadakan kegiatan shalat Ied? Bolehkah shalat Idul Adha di rumah saja?

Mengenai hukum shalat Idul Adha, para ulama klasik dan kontemporer  mengatakan bahwa hukum shalat Idul Adha di rumah adalah boleh. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Lembaga Fatwa Mesir. Dar Ifta Mesir menyebutkan di tengah wabah Covid-19 seyogianya melaksanakan shalat Idul Adha di rumah.  Agar terhindar dari wabah virus SAR- CoV 2.

Dar Ifta Mesir mengeluarkan  fatwa berikut;

فإن صلاة العيد سنة مؤكدة لمواظبة سيدنا النبي صلى الله عليه وسلم عليها، ويُستحبُّ أن تصلى جماعة؛ ولأنّ الضرورةَ اقتضت إبقاء المساجد مغلقة للحفاظ على سلامة أرواح الناس وصحتهم، فعندئذٍ تصلى صلاة العيد في البيوت، إما جماعة مع أهل البيت الواحد، ولا يشترط لصحتها الخطبة فلا يؤثر تركُ الخطبتين على صحة الصلاة؛ لأن الخطبة في العيد سنة وليست شرطا لصحة الصلاة

Artinya; Sholat Idul Fitri adalah sunnah muakkad, yang ditegaskan dan ditekuni Nabi Muhammad SAW, dan shalat Ied itu disunnahkan mengerjakannya dalam keadaan shalat berjamaah.  Dan karena keharusan menutup masjid untuk menjaga keselamatan  jiwa dan juga kesehatan manusia, maka shalat Ied dilakukan di rumah, baik secara berjamaah dengan penghuni satu rumah.

Dan khutbah Ied tidak menjadi syarat sahnya shalat.  Dan tidak ada mempengaruhi keabsahan shalat dengan meninggalkan dua khutbah; Karena khutbah di hari raya, adalah sunnah dan bukan syarat sahnya shalat.

Sementara itu, mazhab Syafi’iyyah  membolehkan shalat Idul Adha di dalam rumah. Bahkan bagi orang yang ingin melaksanakan shalat Ied secara munfarid atau sendirian sebaiknya melaksanakan shalat di rumah saja.  Pendapat ini dikatakan oleh Imam Muzani—menukil pendapat dari Imam Syafi’i—, dalam kitab Mukhtasor Al-Umm. Imam Al Muzani berkata;

ويصلي العيدين المنفرد في بيته والمسافر والعبد والمرأة

Artinya; Dibolehkan mengerjakan shalat dua hari raya (Adha dan Fitri) baik sendirian, musafir, hamba sahaya dan wanita di dalam rumahnya. Selesai

Sementara itu, Syekh Syauqi Ibrahim Alam, Mufti Agung Dar Ifta Mesir mengatakan dalam keadaan wabah Covid-19, maka dianjurkan mengerjakanshalat Idul Adha di dalam rumah. Syekh Syauqi Ibrahim Alam  berkata;

وكذا إذا تَعذَّرت إقامة صلاة العيد لمانعٍ -كوباءٍ أو غيره يمنع اجتماع الناس للصلاة-؛ فإنه يُشْرَع لمَنْ كان هذا حاله فِعْل صلاة العيد في البيت

Artinya: dan demikian apabila ada uzur melaksanakan shalat Ied (di masjid atau tanah lapang),—seperti ada wabah atau selainnya yang melarang manusia berkerumun untuk shalat—, maka dalam keadaan seperti ini dianjurkan untuk melaksanakanshalat Idul Adha di rumah.

Lantas bagaimana keutamaan shalat Idul Adha di rumah ketika Covid-19? Syekh Sauqi Alam Ibrahim menjelaskan ibadah yang dikerjakan di rumah disebabkan adanya Pandemi, maka pahalanya setara dengan pahala ibadah yang dikerjakan di masjid. Bahkan, terkadang bisa melebihi pahala ibadah di masjid.

Terlebih dikonsi sekarang, merebaknya wabah mematikan yang telah merenggut nyawa ribuan orang dan telah menyebar di puluhan negara. Syekh Sauqi Alam Ibrahim berkata;

والعبادة في البيت في هذا الوقت توازي في الأجر العبادة في المسجد، بل قد تزيد أجرًا على العبادة في المسجد؛ وذلك لأنَّ هذا هو واجب الوقت الآن لا سيما مع تَفَشِّي الوباء القاتل الذي ذهب ضحيتَه آلافُ البشر، وانتشر في عشرات البلدان، وهو فيروس (كوفيد-19)،

Artinya;  dan ibadah yang dikerjakan di rumah pada waktu ini (wabah) akan menyamai bagi pahala ibadah yang dikerjakan di masjid, bahkan bisa jadi pahalanya akan melebihi ibadah yang dikerjakan di masjid.  Terlebih dengan merebaknya wabah mematikan yang telah merenggut nyawa ribuan orang dan telah menyebar di puluhan negara, dan wabah itu adalah Covid-19.

Demikian penjelasan hukum shalat Idul Adha di rumah.  Pasalnya, di saat PPKM dan wabah yang tengah merebak ini, ibadah di rumah menjadi solusi terbaik. Semoga memberikan manfaat.

BINCANG SYARIAH

Stunning atau Pemingsanan Hewan Sebelum Disembelih, Halahkah Dagingnya?

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah, pada bulan ini seluruh umat muslim akan merayakan hari raya Idul Adha atau dikenal juga dengan hari raya kurban. Saat berkurban, bolehkah kita melakukan pemingsanan hewan sebelum disembelih? Halalkah daging hewan yang disembelih dengan cara pemingsanan terlebih dahulu?

Proses kurban dapat dipermudah dengan cara memingsankan atau melumpuhkan hewan yang hendak disembelih atau biasa disebut dengan stunning. Agama Islam sebenarnya telah menentukan rukun-rukun dan syarat-syarat dalam proses penyembelihan hewan. Berikut ini adalah uraiannya:

Rukun penyembelihan ada empat:

Pertama, pemyembelih. Syarat bagi orang yang menyebelih haruslah beragama Islam atau Ahli Kitab hakiki sebagaimana yang disebutkan oleh ulama-ulama al-Syafi‘iyyah. Orang Majusi (penyembah api), penyembah berhala, orang murtad, dan sebagainya, daging semebelihan mereka tidak halal sebagaimana pendapat Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu’ (juz 9, halaman 84)

Kedua, binatang yang disembelih. Syarat hewan yang disembelih ialah berupa binatang darat yang halal dimakan dan diduga masih memiliki hayah mustaqirrah, yakni tetapnya nyawa pada hewan, yang mana jika dibiarkan ia akan sadar dan tetap hidup. kecuali binatang yang sakit sebagaimana Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathi menyebutkannya dalam I’anah Al-Thalibin (juz 2, halaman 346)

Ketiga, alat untuk menyembelih. Alat untuk menyembelih ialah benda apapun yang tajam, selain kuku, gigi dan semua jenis tulang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَّ وذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ، وَسَأُخْبِرُكُمْ عَنْهُ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ (رواه البخارى)

“Apapun yang dapat mengalirkan darah serta disebutkan nama Allah padanya (saat menyembelih), maka makanlah, kecuali gigi dan kuku, dan aku akan kabarkan kepadamu hal itu, (karena) gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau orang Habsyah.” (HR. Bukhari)

Keempat, proses penyembelihan. Dalam prosesnya, penyembelih harus memotong seluruh saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Kemudian disertai dengan niat menyembelih dan juga binatang  yang disembelih harus mati semata-mata disebabkan oleh penyembelihan, sebagaimana menurut Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu (juz 9, halaman 99-100).

Melihat pemaparan di atas, melumpuhkan atau memingsankan hewan sebelum proses penyembelihan, dengan cara dibius dan sebagainya adalah diperbolehkan dan dagingnya halal. Bahkan bisa jadi cara ini dianjurkan, sebab lebih meringankan kepada hewan itu sendiri. Rasullah SAW bersabda:

إن الله كتب الإحسان على كل شيءٍ، فإذا قتلتم فأحسنوا القِتْلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذِّبْحة، ولْيُحِدَّ أحدُكم شفرته، ولْيُرِحْ ذبيحته))؛ رواه مسلم.

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik  dalam segala hal. Jika kalian membunuh (dalam qishah) maka lakuakanlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah dengan baik, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan parangnya dan permudahlah dalam penyembelihan. (Sahih Muslim, Juz 6, Halaman 72)

Syekh Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya al Fiqhu al Islam wa Adillatuhu menyebutkan bahwa tidak ada larangan untuk memperlemah gerakan hewan yang hendak disembelih senyampang tidak ada usur penyiksaan dan dagingnya halal untuk dikonsumsi. (Ibnu Musthafa Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz 4, Halaman 800).

Selanjutnya, MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga menyebutkan, stunning atau pemingsanan diperbolehkan dengan beberapa ketentuan:

Pertama, stunning hanya menyebabkan hewan pingsan atau lemah sementara  dan tidak menyebabkan kematian.

Kedua, penyembelihan pada hewan yang dipingsankan tetap menggunakan prinsip memotong khulqum (tenggorokan), mari’  (kerongkongan).

ketiga, pemingsanan bertujuan untuk mempermudah penyembelihan, bukan bertujuan menyiksa– dengan segera melakukan penyembelihan. (Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009).

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Menyerahkan atau Transfer Uang Pada Panitia Kurban?

Era sekarang, orang yang ingin berkurban menempuh jalan singkat. Mereka menyerahkan atau tranfers uang kurban untuk pantitia kurban. Panitialah yang mencari dan membeli kurban untuk mereka. Nah dalam fikih Islam bolehkah menyerahkan atau tranfers uang pada panitia kurban?

Syahdan, saban tahun umat Islam selalu merayakan Idul Adha. Populer dengan nama hari raya kurban. Dalam ajaran fikih, kurban itu menggunakan binatang ternak. Kambing untuk satu orang. Sedangkan unta dan sapi, untuk 7 orang.

Kemudian muncul persoalan, bolehkah seseorang yang ingin melakukan kurban, menyerahkan uang pada panitia kurban untuk membeli binatang kurban? Atau bolehkah ibadah kurban dilakukan menitipkan uang seharga hewan ternak kepada lembaga, institusi, panitia kurban, atau DKM masjid— melayani penitipan dan penyaluran kurban?.

Sebelum melangkah ke sana—menyalurkan uang kurban pada panitia kurban—, penting dicatat bahwa para ulama mengatakan berkurban dengan uang tidak boleh hukumnya. Kurban dalam pengertian uang, dipahami sebagai ibadah kurban dengan bersedekah uang seharga hewan ternak. Misalnya, Si Ahmad mengganti kurban sapi dengan uang 15 juta.

Kurban dalam pengertian ini tak dibenarkan. Pasalnya, kurban itu harus dengan binatang ternak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarah al Muhadzab, bahwa kurban hanya boleh dengan binatang ternak seperti sapi, unta, dan kambing. Imam Nawawi berkata;

أما الأحكام فشرط المجزئ في الأضحية أن يكون من الأنعام وهي الإبل والبقر والغنم سواء في ذلك جميع أنواع الإبل من البخاتي والعراب وجميع أنواع البقر من الجواميس والعراب والدربانية وجميع أنواع الغنم من الضأن والمعز وأنواعهما ولا يجزئ غير الأنعام من بقر الوحش وحميره والضبا وغيرها بلا خلاف.

Artinya: Adapun hukum berkurban, maka syarat sah dalam kurban hendaklah berupa hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, sama saja untuk setiap jenis unta tersebut tidak hidup di negeri arab, maupun itu unta Arab. Dan dan juga setiap jenis sapi dari spesies sapi arab, dan sapi Durban (daerah Afrika), serta setiap jenis kambing berupa domba, kambing kacang, dan spesies kambing dari jenis keduanya. Dan tidak memadai hewan kurban selain dari binatang ternak berupa banteng, keledai, dan  selain keduanya, tanpa perselisihan pendapat.

Pada sisi lain, terkait masalah menyerahkan uang pada panitia kurban—untuk membelikan kurban—, hukumnya boleh. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam kitab fikih, Ia’nah al-Talibin karya ulama terkemuka Mekah yang hidup pada abad 14 Hijriyyah (atau abad 19 Masehi), bernama Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’i. Sayyid Syatho berkata;

الصواب: في فتاوى  العلامة الشيخ محمد بن سليمان الكردي محشي شرح ابن حجر على المختصر ما نصه:(سئل) رحمه الله تعالى: جرت عادة أهل بلد جاوى على توكيل من يشتري لهم النعم في مكة للعقيقة أو الأضحية ويذبحه في مكة، والحال أن من يعق أو يضحي عنه في بلد جاوى فهل يصح ذلك أو لا؟ أفتونا.

الجواب) نعم، يصح ذلك، ويجوز التوكيل في شراء الأضحية والعقيقة وفي ذبحها، ولو ببلد غير بلد المضحي والعاق كما أطلقوه فقد صرح أئمتنا بجواز توكيل من تحل ذبيحته في ذبح الأضحية، وصرحوا بجواز التوكيل أو الوصية في شراء النعم وذبحها، وأنه يستحب حضور المضحي أضحيته. ولا يجب.

Artinya: Dalam kitab Fatawa Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi Muhsyyi Syarah Ibn Hajar ‘ala al-Mukhtashar terdapat suatu pertanyaan: Beliau telah ditanya:

“Telah berlaku kebiasaan penduduk Jawa mewakilkan kepada seseorang agar membelikan binatang gternak  untuk mereka di Mekkah sebagai aqiqah atau kurban dan agar menyembelihnya di Makkah, sementara orang-orang tersebut yang melakukan ibadat tersebut berada di Jawa. Apakah hal demikian itu sah atau tidak? Mohon diberikan fatwa.

Jawabannya “Ya, demikian itu sah. Diperbolehkan mewakilkan dalam pembelian hewan kurban dan juga aqiqah dan juga penyembelihnya, sekalipun tidak dilaksanakan di negara orang yang berkurban atau beraqiqah itu.

Dan beberapa guru kami telah menjelaskan tentang diperbolehkannya mewakilkan orang yang penyembelihannya sah menurut syariat Islam dalam penyembelihan hewan kurban, dan mereka juga menjelaskan tentang diperbolehkannya mewakilkan atau berwasiat untuk membeli hewan ternak sekaligus penyembelihannya, meskipun sesungguhnya hadirnya orang yang berkurban itu hukumnya Sunnah, dan tidak wajib.

Prkatik menyerahkan uang kepada panitia kurban untuk mencari atau membelikan hewan kurban disebut dengan wakalah. Praktik wakalah diperbolehkan dalam Islam. Pasalnya praktik wakalah ini membantu manusia yang ingin berkurban. Terlebih bagi mereka yang sibuk dan tak mengerti seluk-beluk hewan. Pendapat ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni, ia berakata;

وَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ فِي الْجُمْلَةِ وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إلَى ذَلِكَ ؛ فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ كُلَّ وَاحِدٍ فِعْلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، فَدَعَتْ الْحَاجَةُ إلَيْهَا

Artinya; Para Ulama  telah sepakat atas “boleh” wakalah secara umum, pasalnya karena adanya hajat yang menuntut adanya praktik wakalah.  Karena sesungguhnya setiap orang tidak mungkin menangani segala keperluannya sendiri, untuk itu maka ia sejatinya memerlukan perwakilan untuk memudahkan hajatnya.

Demikian penjelasan terkait bolehkah menyerahkan atau transfer uang pada panitia kurban? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH