Adakah yang bisa menjamin dirinya terlepas dari dosa dalam sehari saja? Mulai dari dosa yang muncul dari mata, telinga, mulut, tangan, kaki, badan, hingga hati yang senantiasa berjibaku dengan nafsu dan godaan setan al-rajīm. Nafsu dan godaan setan merupakan tantangan yang niscaya dihadapi bagi setiap anak Adam. Apabila ia sanggup menahan dan mengendalikan setiap keinginan hawa nafsu dan godaan setan, tentu ia akan menang dan memperoleh pahala di sisi Allah. Namun, jika ia kalah dan terjerumus hingga menjadi budak hawa nafsu dan menuruti godaan setan, maka dosa akan menyelimutinya. Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR Tirmiżi 2499, Ṣahih al-Targīb 3139)
Hadis ini menggambarkan bagaimana kesalahan (dosa) merupakan perkara yang tidak terlepas dari diri manusia. Akan tetapi, Allah Taala memberikan solusi dan jalan keluar bagi hamba-Nya yang berbuat kesalahan yaitu bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya.
Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah Taala berfirman:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semuanya melakukan dosa pada malam dan siang hari padahal Aku maha mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni kalian.” (HR. Muslim)
Senada dengan hadis sebelumnya, hadis qudsi ini menggambarkan betapa lemahnya sebagian besar manusia dalam menghadapi setiap dorongan syahwat dan godaan setan sehingga kencenderungannya terhadap kesalahan dan dosa begitu tinggi. Karenanya, Allah Taala membuka lebar pintu ampunan-Nya setiap saat bagi hamba-Nya yang ingin bertaubat.
Pemahaman yang Keliru
“Tenang saja, Allah Maha Pengampun”. Kata hati berbisik saat hendak berbuat dosa.
Pengetahuan tentang pengampunan Allah Yang Maha Luas kadangkala disalahartikan oleh sebagian manusia sehingga melakukan dosa-dosa dengan mudahnya disebabkan keyakinannya bahwa Allah akan mengampuni perbuatannya itu.
Terdapat dua kelompok manusia dalam menyikapi dosa dan maksiatnya kepada Allah.
Pertama, Orang awam. Ia tidak mengetahui banyak tentang dalil-dalil yang umum diketahui bahwa Allah maha mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Dengan demikian, ia berputus asa terhadap dosa yang telah ia lakukan. Tidak ada tekad untuk kembali bertaubat bahkan ia semakin dalam terjerumus ke dalam dosa yang lebih parah –wal ‘iyāżu billāh-. Oleh karenanya, mempelajari ilmu agama amatlah penting bagi setiap hamba Allah sebagaimana sabda Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah)
Dengan mengetahui ilmu agama, seorang hamba memperoleh jalan yang terang untuk menuju Allah. Setiap tantangan duniawi maupun ukhrawi dapat ia hadapi dengan berpedoman pada ilmu yang telah Allah Taala ajarkan melalui Rasul-Nya ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam. Setiap ia melakukan kekeliruan berupa dosa dan maksiat, ia segera sadar dan kembali mengingat hakikat penciptaan dirinya kemudian bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut dan memperbaikinya dengan amalan saleh.
Kedua, Orang yang mengerti namun salah arti. Dalil-dalil yang menjelaskan luasnya ampunan Allah Taala tentu saja diperuntukkan bagi hamba-hambaNya yang ingin kembali ke jalan yang benar dengan bertaubat dengan taubatan naṣuhā. Bukan pula maksud dalil tersebut sebagai alasan bagi pelaku maksiat untuk kembali ke dalam kubangan dosa sebab keyakinannya bahwa Allah Maha Pengampun.
Bukankah banyak kisah nyata yang kita saksikan seorang yang dikenal saleh sepanjang hidupnya namun berakhir tragis di akhir hayatnya dengan kematian yang sū’ulkhātimah . Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
“..Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka..” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana jika saat orang tersebut sedang melakukan kemaksiatan tiba-tiba malakulmaut datang menjemputnya? Bukankah setiap amalan seorang hamba tergantung pada akhirnya? Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari)
Allah Taala tidak sesaat pun lalai dari pada perbuatan orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
“ Dan janganlah sekali-kali engkau (Muhammad ) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim…..” (QS. Ibrahim : 42)
Menggapai Ampunan Allah dengan amalan penghapus dosa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh menyimpulkan tiga hal yang dapat menghapus dosa seorang hamba, yaitu : Taubat, Istigfar dan Amal Saleh. (Lihat Kitab Al-Waṣiyyah Al-Sugrā, Hlm. 31-32)
Mengenai Amal saleh yang dapat menghapus dosa, Allah Taala berfirman :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)” (QS. Hud: 114).
Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وأتبع السيئة الحسنة تمحها
“ Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya “.(HR. Ahmad dan al-Tirmiżi)
Dan banyak dalil-dalil sahih lainnya yang menyatakan jaminan ampunan dari Allah Taala atas hamba-Nya yang bertaubat memohon ampunan-Nya.
Apabila kita merenungi aktivitas kita setiap hari, maka banyak sekali celah untuk melakukan amal saleh yang dapat menghapus dosa dan mendapatkan ampunan Allah Taala.
Amalan Harian Penghapus Dosa
- Saat hendak tidur
Dari Abu Hurairah raḍiya al-lāhu ‘anhu, Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَأْوِيْ إِلىَ فِرَاشِهِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَه ُلَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ. غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوْبُهُ – أَوْ قَالَ: خَطَايَاه، شكَّ مِسْعَرٌ – وَإِن ْكَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْر)
“Barangsiapa hendak menuju kasurnya, dan mengucapkan ‘lā ilāha illā al-lāh wahdahū lā syarīkalahū lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr, subhanalāh, wa al-hamdulillāh, wa lā ilāha illā al-lāh wa al-lāhu akbar’, maka Allah ampuni dosa-dosanya meskipun sebanyak buih lautan di dunia ini.” (HR. Ibnu Hibban, Ibnus Sunni)
- Ketika terbangun di malam hari
عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من تعار من الليل فقال : لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير الحمد لله وسبحان الله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله ، ثم قال اللهم اغفر لي أو دعا استجيب له فإن توضأ ثم صلى قبلت صلاته
رواه البخاري وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit raḍiya al-lāhu ‘anhu dari Nabi ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam; beliau bersabda, “Barang siapa yang terbangun dari tidurnya pada malam hari, kemudian dia mengucapkan, ‘lā ilāha illā al-lāh wahdahū lā syarīkalahū lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr, al-hamdulillāh wa subhanalāh wa lā ilāha illā al-lāh wa al-lāhu akbar, wa lā haula wa lā quwwata illā billāh kemudian dia berkata ‘Ya Allah, ampunilah aku’ atau dia memanjatkan doa, hal tersebut (istigfar maupun doa itu) akan dikabulkan. Kemudian jika dia berwudu lalu mendirikan salat, maka salatnya tersebut akan diterima (di sisi Allah).” (Hadis sahih; riwayat Al-Bukhari, Abu Daud, Al-Tirmiżi, Al-Nasa’i, dan Ibnu Majah; lihat Ṣahih Al-Targīb wa Al-Tarhīb, 1:149
- Langkah Kaki Menuju Masjid
Dari Abu Hurairah raḍiya al-lāhu ‘anhu, Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِىَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu dia berjalan menuju salah satu dari rumah Allah (yaitu masjid) untuk menunaikan kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan menghapuskan dosa dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim, no. 666)
- Menyempurnakan Wudhu
Dari Abu Hurairah raḍiya al-lāhu ‘anhu, Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ»
“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dengan amal tersebut Allah dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,”(Yaitu) menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah kebaikan (yang banyak).” (HR. Muslim no. 251)
- Melaksanakan Shalat Lima Waktu
Dari sahabat Abu Hurairah raḍiya al-lāhu ‘anhu, Nabi ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Salat lima waktu dan salat jumat ke salat jumat berikutnya adalah penghapus untuk dosa di antaranya, selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
- Dzikir setelah Shalat
Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَبَّحَ اللهَ في دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاثاً وَثَلاثِينَ ، وحَمِدَ اللهَ ثَلاثاً وَثَلاَثِينَ ، وَكَبَّرَ الله ثَلاثاً وَثَلاَثِينَ ، وقال تَمَامَ المِئَةِ : لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْر
“Barangsiapa mengucapkan tasbih (mengucapkan ‘subhānallāh’) di setiap akhir salat sebanyak 33 kali, mengucapkan hamdalah (mengucapan ‘al-hamdu lillāh’) sebanyak 33 kali, bertakbir (mengucapkan ‘Allāhu Akbar’) sebanyak 33 kali lalu sebagai penyempurna (bilangan) seratus ia mengucapkan ‘lā ilāha illā al-lāh wahdahū lā syarīkalahū lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr (tiada Tuhan yang berhak disembah dengan haq selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)’, maka akan diampuni dosa-dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim)
- Mencari Nafkah untuk Menghidupi Keluarga
‘Aisyah raḍiya al-lāhu ‘anhā berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati makanan sedikit pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).
Demikian di antara amalan-amalan harian yang mengandung ampunan dari Allah Taala kepada hamba-hamba-Nya yang cenderung pada kemaksiatan. Apabila aktivitas harian tersebut kita niatkan untuk ibadah kepada Allah Taala sebagaimana yang diajarkan oleh Baginda Nabi ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam, maka insyaallah akan berbuah pahala dan dapat menghapus dosa-dosa. Namun, ada hal yang paling penting untuk diketahui dalam rangka menggapai ampunan Allah Taala Sang Maha Pengampun, yaitu al-tauhīd.
Al-Tauhīd menjadi Syarat Terpenting
Al-Tauhid merupakan syarat mutlak seseorang mendapatkan ampunan dari Allah. Sebab bagaimana bisa seorang hamba menginginkan dosa-dosanya dihapuskan sementara ia masih berada dalam kubangan kesyirikan/menyekutukan Allah Taala. Oleh karenanya, Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Taala juga menegaskan keluasan ampunan-Nya atas hamba-hambaNya selama tidak menyekutukan-Nya. Allah Taala berfirman :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540)
Akhirnya, semestinya kita sebagai seorang hamba Allah yang lemah kiranya menyadari bahwa luasnya ampunan Allah Taala tersebut diperuntukkan bagi hamba-hambaNya yang ingin memperbaiki diri dan bertaubat serta tidak mengulangi dosa dan kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah Taala. Namun demikian, jangan pula remehkan sekecil apapun dosa. Sebab tiada lain yang kita maksiati ketika melakukan perbuatan dosa kecuali Rabb Yang Maha Esa.
Bilal bin Sa’ad berkata,
لا تنظر إلي صغر المعصية، و لكن انظر من عصيت
“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” [Al-Dā’ wa al-Dawā’ hal. 82]
Wa al-lāhu a’lamu bi al-ṣawāb.
Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA
Artikel: Muslim.or.id