Ancaman Allah Ta’ala kepada Al-Muthaffifin
Allah Ta’ala berfirman,
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ , الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ, وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ, أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ, لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar.” (QS. Al-Muthafifin: 1-5)
Orang yang berbuat curang dalam takaran dan timbangan itu sejenis dengan orang yang mencuri dan berkhianat. Semuanya termasuk dalam memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Ayat di atas menjelaskan pengertian al-muthaffifin. Al-Muthaffifin adalah orang yang jika meminta takaran atau timbangan dari orang lain, mereka minta dipenuhi takaran atau timbangannnya secara utuh, tidak boleh kurang sedikit pun. Akan tetapi, jika mereka menimbang atau menakar untuk orang lain, mereka mengurangi takaran atau timbangan untuk orang lain tersebut.
Sehingga dari sini kita mengetahui bahwa pada hakikatnya, al-muthaffifin itu mengumpulkan dua perbuatan sekaligus. Yaitu, dia meminta haknya dipenuhi secara utuh, tidak boleh dan tidak rela dikurangi sedikit pun (sifat sukh). Akan tetapi, dia tidak mau menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan baik (sifat bukhl). Dengan kata lain, muthaffif mengumpulkan dua sifat, yaitu sifat sukh dan bukhl.
Contoh lain Al-Muthaffifin
Pengertian al-muthaffif dalam surat di atas adalah dengan menyebutkan salah satu contoh saja. Dan dengan mengetahui pengertian dari al-muthaffif, kita bisa membuat contoh-contoh (analogi) yang lain, yaitu semua perbuatan seseorang yang meminta haknya dipenuhi secara utuh, namun enggan menunaikan kewajiban, atau enggan memenuhi hak-hak orang lain.
Dalam rumah tangga, kita jumpai seorang suami yang meminta istrinya untuk menunaikan haknya secara penuh. Suami meminta sang istri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, dia enggan untuk memenuhi hak istrinya, dia tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan istrinya. Inilah di antara bentuk kezaliman seorang suami kepada istri. Dan fenomena semacam mungkin sering kita jumpai.
Kepada para suami yang meremehkan hak-hak istrinya, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam berpesan kepada para suami pada saat haji wada di hari Arafah,
اتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Hendaklah kalian (para suami) bertakwa kepada Allah dalam (bersikap) kepada istri-istri kalian. Sesungguhnya, kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian halalkan kemaluan-kemaluan istri kalian dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim no. 1218)
Bisa jadi yang menjadi al-muthaffif adalah seorang istri. Yaitu seorang istri yang menuntut kepada suaminya untuk menunaikan hak-hak dirinya secara sempurna. Akan tetapi, sang istri tidak mau menunaikan hak suami dengan baik.
Contoh al-muthaffif yang lain adalah seorang karyawan (pekerja) yang menuntut agar gaji dan hak-haknya yang lain dibayar (ditunaikan) oleh pengusaha secara penuh. Akan tetapi, dirinya tidak melakukan kewajiban sebagai seorang karyawan dengan baik. Misalnya, sering terlambat ketika masuk jam kerja dan pulang ke rumah sebelum jam kerja selesai.
Dalam kehidupan keluarga, ada seorang ayah yang menginginkan anak-anaknya menunaikan haknya sebagai ayah secara sempurna. Namun dirinya meremehkan dan tidak memperhatikan apa yang menjadi hak-hak anaknya. Sang ayah ingin agar anak-anaknya bisa berbakti dengan harta, tenaga, dan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berbakti kepada orang tua dengan sempurna. Namun, sang ayah tersebut menyia-nyiakan hak anak-anaknya dan tidak menunaikan kewajibannya sebagai orang tua dengan baik.
Hendaknya kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dan menjauhi perbuatan al-muthaffif.
***
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.
Sumber: https://muslim.or.id/67866-hanya-meminta-hak-namun-melupakan-kewajiban.html