Sejatinya, beda pilihan politik, termasuk dalam pemilihan presiden, merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Setiap orang memiliki hak dan kebebasannya untuk memilih pemimpin yang mereka anggap terbaik. Namun, perbedaan pilihan ini tidak boleh menjadi alasan untuk saling menghina dan menjatuhkan. Islam melarang keras tindakan tersebut
Memasuki bulan Februari, kita akan segera melangsungkan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih para calon wakil rakyat guna menjalankan pemerintahan Indonesia. Meski demikian, ada hal yang patut kita waspadai sebagai umat muslim. Karena sering kaali karena perbedaan pilihan, muncul tindakan negatif, antara lain seperti upaya saling menjatuhkan oleh masing-masing pihak.
Bahkan tidak sedikit fenomena saling hujat dan saling hina kita temukan sekarang ini di tengah masyarakat hanya karena perbedaan calon misalnya kubu yang diusung. Tindakan saling menghina, saling hujat, dan saling merendahkan bukan akhlak yang diajarkan oleh Islam.
Ada baiknya kita membuka kembali Surat Al-Hujurat ayat 11 berikut penjelasannya oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi berikut ini;
“يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَر” الْآيَة نَزَلَتْ فِي وَفْد تَمِيم حِين سَخِرُوا مِنْ فُقَرَاء الْمُسْلِمِينَ كَعَمَّارٍ وَصُهَيْبٍ وَالسُّخْرِيَّة : الِازْدِرَاء وَالِاحْتِقَار “قَوْم” أَيْ رِجَال مِنْكُمْ “مِنْ قَوْم عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ” عِنْد اللَّه “وَلَا نِسَاء” مِنْكُمْ “مِنْ نِسَاء عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسكُمْ” لَا تَعِيبُوا فَتُعَابُوا أَيْ لَا يَعِبْ بَعْضكُمْ بَعْضًا “وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ” لَا يَدْعُو بَعْضكُمْ بَعْضًا بِلَقَبٍ يَكْرَههُ وَمِنْهُ يَا فَاسِق يَا كَافِر “بِئْسَ الِاسْم” أَيْ الْمَذْكُور مِنْ السُّخْرِيَّة وَاللَّمْز وَالتَّنَابُز “الْفُسُوق بَعْد الْإِيمَان” بَدَل مِنْ الِاسْم أَنَّهُ فِسْق لِتَكَرُّرِهِ عَادَة “وَمَنْ لَمْ يَتُبْ” مِنْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya, “(Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mengolok-olok) ayat ini turun perihal rombongan tamu Banu Tamim ketika mereka meremehkan orang Muslim yang fakir seperti sahabat Ammar RA dan Suhaib RA. “Olok-olok” bermakna mengejek dan merendahkan (oleh suatu kaum) di antara kalian (terhadap kelompok lainnya.
Boleh jadi mereka [yang diejek] lebih baik dari mereka [yang mengejek]) di sisi Allah SWT. (Jangan pula perempuan-perempuan) di antara kalian ([mengejek] terhadap kelompok perempuan lainnya. Boleh jadi mereka [yang diejek] lebih baik dari mereka [yang mengejek].
Jangan pula kalian saling mencela) jangan kalian mencela orang lain sehingga berujung saling mencela. Jangan sebagian kalian mencela sebagian lainnya. (Janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar buruk) Janganlah salah seorang kalian memanggil kawannya dengan sebutan-gelar yang ia tidak berkenan seperti panggilan “Hai fasiq” atau “Hai kafir”.
(Seburuk-buruk nama) tersebut yang mengandung olok-olok, ejekan, celaan, dan gelar yang buruk (adalah panggilan yang buruk setelah beriman) “al-fusuqu” merupakan badal dari “al-ismu” untuk menegaskan bahwa gelar-sebutan penghinaan itu merupakan perbuatan buruk karenanya kata-kata itu diulang sebagaimana lazimnya.
(Siapa saja yang belum bertobat) dari semua itu, (maka mereka itulah orang-orang yang aniaya),” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Quranil Azhim lil Imamainil Jalalain [Tafsirul Jalalain], Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, halaman 424).
Keterangan di atas merupakan peringatan bagi umat Islam dalam menjaga etika komunikasi. Islam mengajarkan kesetaraan. Suatu kelompok masyarakat baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh merendahkan kelompok masyarakat lainnya hanya karena perbedaan kelas sosial, atau perbedaan lain.
Sementara kalau masyarakat memang sedang menggeluti hobi baru seperti suka menghujat dan senang mencemooh kelompok lain di luar diri mereka karena perbedaan calon kuwu atau bupati yang diusung, maka sebaiknya kita tidak perlu mencampuri pokok pembicaraan tersebut.
Dalam kondisi masyarakat telah diselimuti oleh fanatik buta dan fanatik tuli, maka sebaiknya kita mengangkat masalah lain di luar masalah politik praktis. Hal ini kita pilih agar kita dapat terhindar dari pertikaian dan debat kusir yang tak perlu.
Sebagaimana anjuran Imam Al-Ghazali di bawah ini.
الباب الثالث في الامامة النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ
Artinya, “Bab Ketiga Perihal Kepemimpinan. Pandangan dalam kepemimpinan juga bukan bagian dari perkara penting (prinsip/ushul), juga bukan bagian dari kajian ilmu aqli, tetapi lebih pada masalah fiqhiyah (furu’).
Di samping itu masalah kepemimpinan mengobarkan kefanatikan. Karenanya orang yang menghindarkan diri dari (pembicaran) berlarut-larut di dalamnya lebih selamat dibanding mereka yang larut tenggelam di dalamnya meskipun ia benar. Terlebih lagi kalau keliru!” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I‘tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417 H, halaman 166-167).
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menganjurkan kita mengganti tema lain pembicaraan di luar politik sekalipun kita benar dalam pertimbangan kita. Kalau benar pun, kita sebaiknya diam atau mengambil tema lain. Apalagi kalau tidak mengetahui persis masalah politik, sebaiknya kita tidak perlu terlibat dalam perbincangan tersebut. Sebaiknya kita menjaga silaturahmi dan menjaga etika dalam berkomunikasi.
Demikian penjelasan terkait hati-hati beda pilihan Presiden bahwa Islam larang saling hina dan maki. Sejatinya beda pilihan Presiden dan politik seyogianya tidak menjadi alat perpecahan pesaudaraan. Semoga bermanfaat.