Tingkatan Hikmah dalam Berdakwah

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 3): Tingkatan Hikmah dalam Berdakwah

Bismillah wal-hamdulillah wash -shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Tingkatan hikmah dalam berdakwah ilallah

Tingkatan hikmah dalam berdakwah itu ada empat. Tingkatan pertama sampai ketiga terdapat dalam surah An-Nahl ayat 125. Allah berfirman,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

“Dakwahilah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.”

Pertama: Tingkatan hikmah [1]

Mengenalkan kebenaran dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dengan manhaj salaf saleh. Cara ini untuk jenis mad’u mustajibin (objek dakwah yang menerima dakwah). Yaitu, tipe objek dakwah yang suka menerima kebenaran, suka diberitahu, suka mendapatkan nasihat, suka ngaji. Intinya, orang yang jika diberitahu kebenaran, suka menerima dan mengamalkannya.

Kedua: Tingkatan mau’izhah hasanah (nasihat yang baik)

Nasihat yang berisi memerintahkan kebaikan diiringi targhib (kabar gembira, janji, dan pahala dari Allah) dan melarang keburukan diiringi tarhib (ancaman, siksa, dan peringatan). Cara ini untuk jenis mad’u ghafilin (objek dakwah yang lalai). Yaitu, tipe objek dakwah yang lalai. Tahu kebenaran, namun tidak mengamalkannya karena malas dan mengikuti hawa nafsu, sehingga perlu diiming-imingi dengan pahala (targhib) dan diperingatkan dengan siksa (tarhib).

Ketiga: Tingkatan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara terbaik)

Berdebat dengan ilmiah dan beradab Islami, dengan niat ikhlas menjelaskan kebenaran agar diikuti dan menjelaskan kebatilan agar dihindari, menghilangkan syubhat dan kesalahpahaman serta dengan cara menjelaskan yang paling mudah dan enak diterima di hati “lawan debatnya” selama tidak menyelisihi syariat. Yaitu, dengan kalimat halus dan sopan dan jauh dari kata-kata yang menyakitkan hati.

Debat dengan cara terbaik itu bukan tujuannya untuk menjatuhkan dan mempermalukan orang yang didebat, dan bukan pula tujuannya pamer ketinggian ilmu. Akan tetapi, murni karena ingin “lawan debatnya” kembali kepada kebenaran, masuk surga bersamanya dengan mencari rida Allah.

Cara ini tidaklah digunakan, kecuali jika cara pertama dan kedua tidak berhasil. Karena jika cara pertama dan kedua masih bisa digunakan, maka tidak perlu berdebat.

Cara ini untuk jenis mad’u mu’aaridhin mu’aanidin (objek dakwah yang menentang). Yaitu, tipe objek dakwah yang berpaling dan menentang, tidak mengenal kebenaran, atau mengetahui kebenaran, namun ada syubhat (pemahaman yang salah dikira benar) sehingga menentangnya.

Keempat: Tingkatan mujaladah (tegas dan keras pada tempatnya, serta menghukum orang yang layak mendapatkannya)

Dalilnya adalah Allah berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 46,

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ

“Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka.”

Cara mujaladah (tegas dan keras) ini hanya dilakukan jika cara-cara sebelumnya tidak bermanfaat. Cara ini untuk jenis mad’u zhalimin.

Mujaladah adalah cara yang tegas dan keras pada tempatnya, dengan kalimat yang keras, serta menghukum orang yang layak mendapatkannya dengan hukuman had dan ta’zir. Yang melakukan cara ini hanyalah orang yang secara syar’i memiliki wewenang kekuasaan dan kekuatan dengan memperhatikan aturan-aturan syariat Islam dan sesuai kewenangannya, seperti polisi, tentara, dan jabatan semisalnya dengan sesuai kewenangannya masing-masing.

Apabila hukuman dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang, maka biasanya akan menimbulkan kemudaratan yang lebih besar daripada maslahat. Dan ulama telah menjelaskan bahwa mengingkari kemungkaran jika menimbulkan kemudaratan yang lebih besar, maka itu dilarang dan diharamkan.

Hukum asal cara berdakwah yang hikmah adalah dengan lembut [2]

Dalil-dalil lembut dalam berdakwah ilallah

Sesungguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan. Sebagaimana terdapat dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفقَ

“Sesungguhnya Allah itu Mahalembut, mencintai kelembutan.” (HR. Muslim)

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan pada seluruh perkara.” (HR. Al-Bukhari)

Pada umumnya, kelembutan adalah kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا يُنزع من شيء إلا شانه

“Sesungguhnya kelembutan itu, tidaklah berada pada sesuatu, kecuali menghiasinya. Dan tidaklah dicabut dari sesuatu, kecuali menodainya.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, dengan rahmat Allah, dalam berdakwah ilallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menerapkan kelembutan, sebagaimana Allah sebutkan hal itu dalam surah Ali ‘Imran ayat 159,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah semata. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Demikian pula, Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam diperintahkan oleh Allah untuk berkata lembut kepada orang yang paling sombong, Fir’aun. Allah Ta’ala berfirman,

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

“Maka, berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”

Lembut adalah hukum asal cara berdakwah

Perlu diketahui bahwa hukum asal cara berdakwah adalah dengan lembut, bukan dengan kekerasan. Maka jangan dibalik, dengan menjadikan hukum asal cara berdakwah adalah dengan kekerasan, lalu terkadang memakai cara lemah lembut! Jangan sampai umat menjauh dari dakwah ini, hanya gara-gara cara kita yang keras dalam berdakwah.

Oleh karena itu, jika seorang da’i dihadapkan dengan suatu kondisi di mana orang yang dihadapinya jika disikapi lembut atau disikapi keras, pengaruhnya seimbang, maka saat itu dia harus memilih sikap lembut. Karena dia diperintahkan untuk kembali ke hukum asal.

Syekh Al- ‘Allamah Muhammad Al-‘Utsaimîn rahimahullah mengisyaratkan tentang hukum asal cara berdakwah,

“Jika di dalam sikap kasar dan keras ada maslahatnya, maka gunakanlah sikap tersebut. Namun, jika kenyataannya adalah sebaliknya, maka gunakanlah sikap lembut dan halus. Adapun jika kondisinya sama antara pemakaian sikap kasar dan keras dengan pemakaian sikap lembut dan halus, maka saat itu gunakanlah sikap lembut dan halus, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

Sesungguhnya Allah Mahalembut dan mencintai kelembutan dalam setiap perkara.‘ (HR. Bukhârî dan Muslim).”

Beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan hukum asal cara berdakwah

Salah satu syarat bolehnya beramar makruf dan nahi mungkar adalah lembut [3]

Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahulláh berpetuah, “Tidak boleh beramar makruf dan nahi mungkar, kecuali seseorang yang memiliki tiga sifat: 1) Lembut ketika menyuruh dan lemah lembut ketika melarang. 2) Adil ketika menyuruh dan adil ketika melarang. 3) Memiliki ilmu tentang apa yang ia suruh dan memiliki ilmu tentang apa yang ia larang.”

Empat syarat (diperbolehkannya) pemakaian kata-kata yang kasar [4]

Imam Ibnul Wazir rahimahullah berkata,

“Ketahuilah bahwa ada empat syarat (diperbolehkannya) pemakaian kata-kata yang kasar ketika memperingatkan seseorang.

Dua syarat untuk menjadikan sikap itu boleh, yaitu: 1) Orang yang diperingati benar-benar melakukan perbuatan atau perkataan yang salah. 2) Ungkapan orang yang memperingatkan harus sesuai dengan kondisi yang ada. Contohnya: Dia tidak boleh memanggil orang yang melakukan perbuatan yang hukumnya makruh dengan ungkapan, ‘Wahai orang yang berbuat maksiat!’ Atau memanggil orang yang melakukan suatu perbuatan dosa yang tidak dia ketahui besarnya, ‘Wahai fasik!” Juga dia tidak boleh berkata kepada orang fasik dari kalangan kaum muslimin, ‘Wahai kafir!’, atau yang semisal.

Dan dua syarat agar sikap itu menjadi sunah hukumnya, yaitu: 1) Orang yang akan memperingatkan telah memprediksi bahwa sikap keras tersebut akan lebih bermanfaat bagi ‘lawan’-nya untuk kembali kepada Al-Haq atau untuk menerangkan dalil padanya. 2) Hendaknya orang yang mempergunakan sikap keras tersebut niatnya benar, dan bukan sekedar karena dorongan tabiatnya.”

Bolehkah anak berlaku kasar dalam dakwahnya kepada orang tua? [5]

Mayoritas ulama menegaskan bahwa seorang anak tidak boleh berdakwah kepada kedua orangtuanya dengan cara-cara kekerasan. Imam Al-Ghazali, misalnya, beliau berkata, “Seorang anak tidak berhak untuk mendakwahi bapaknya dengan menghina, mengancam, dan menakut-nakuti. Tidak pula dengan memukul.”

Abdul Aziz Ar-Rajihi berkomentar, “Anak tidak boleh menakut-nakuti, mengancam, menghina, memukul dan berkata kasar. Hal ini karena orang tua memiliki hak yang sangat besar terhadap anaknya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyandingkan hak-Nya dengan hak kedua orang tua. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik- baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)

Allah juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun keduanya kafir, sepanjang tidak sampai menaati keduanya dalam kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya! Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik! Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku!” (QS. Luqman: 15)

Tingkatan amar makruf nahi mungkar (hisbah)

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan bahwa tingkatan amar makruf nahi mungkar (hisbah) itu ada lima. Kami ringkas kelima tingkatan tersebut sebagai berikut:

Pertama: Mengenalkan perkara makruf ataupun mungkar.

Kedua: Nasihat dengan ucapan yang lembut.

Ketiga: Celaan dan ucapan kasar (yang tidak keji).

Keempat: Melarang/mencegah secara paksa.

Kelima: Menakuti-nakuti dan mengancam dengan pukulan, atau langsung memukul oleh pihak yang berwenang.

Adapun pengingkaran anak kepada orang tua, budak kepada tuannya, serta istri kepada suaminya, maka diiizinkan dengan tingkatan hisbah nomor 1,2, dan 4.

Sedangkan, pengingkaran rakyat kepada pemerintah, tidak diizinkan, kecuali tingkatan hisbah nomor 1 dan 2 agar tidak terjadi kemudaratan yang sama atau lebih besar.

Lanjut ke bagian 4: (Bersambung, insyaAllah)

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87800-tingkatan-hikmah-dalam-berdakwah.html