Berikut penjelasan terkait Hikmah Idul Adha. Pasalnya, masih menjadi tanda tanya. Hari raya Idul adha di kalangan masyarakat, seakan menjadi hari raya kedua. Mereka menyambutnya tidak semeriah menyambut idul fitri.
Apakah karena budaya angpao hari raya. Ini menjadi misteri tersendiri. Sebab justru idul adha lah yang paling utama, dari pada idul fitri. Mengapa demikian?
Hikmah Idul Adha
Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-wahhab bitaudih suarh manhaj al-thullab, menjelaskan rahasia kemuliaan Idul Adha, jika dibanding dengan Idul Fitri. Ini alasanya;
(قَوْلُهُ عِيدُ الْفِطْرِ وَعِيدُ الْأَضْحَى) مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ صَلَاةَ الْأَضْحَى أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفِطْرِ لِثُبُوتِهَا بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ قَوْله تَعَالَى {فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2] فَسَّرَهُ الْجُمْهُورُ بِصَلَاةِ عِيدِ النَّحْرِ.
“Sudah jamak diketahui bahwasanya sholat idul adha lebih utama dari pada sholat idul fitri, sebab perintah idul adha ini berdasar nash di al-qur’an surat al-kautsar ayat 2, dan mayoritas ulama’ yang menafsirinya dengan perintah untuk menunaikan sholat idul adha”. (Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-wahhab bitaudih suarh manhaj al-thullab, atau yang masyhur dengan judul Hasyiyah al-Jamal, Juz 2 hal. 92)
Dari keterangan ini, kita bisa mengetahui bahwa yang nomer dua boleh jadi yang terbaik. Maka dari itu, mari mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat idul adha ini, meski tanpa ada uluran angpao. Bahkan justru ini adalah momentum untuk berkurban, namun jika belum mampu, kita tetap bisa merasakan gantinya angpau, yaitu daging kurban.
Terkait kenapa ada juga hari raya idul adha, Syekh Murtadha Al-Zabidi dalam anotasinya pada kitab ihya’, perkataan beliau dikutip oleh Syekh Abi Bakar Syatha’, berikut adalah redaksinya;
قَالَ فِي الْإِتْحَافِ: وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ، إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرَ عِتْقًا مِنْهُ، فَمَنْ أُعْتِقَ قَبْلَهُ فَهُوَ الَّذِي بِالنِّسْبَةِ إلَيْهِ عِيدٌ وَمَنْ لَا فَهُوَ فِي غَايَةِ الْإِبْعَادِ وَالْوَعِيدِ اهـ.
“Hari idul (fitri) dari Selesainya Bulan Ramadhan itu dianggap perayaan karena merupakan sebuah Isyarat atas banyaknya pembebasan dosa-dosa di bulan puasa, begitu juga dengan idul Adha.
Hal itu juga dikarenakan banyak pengampunan dosa pada hari Arafah. Pasalnya, tidak ada pengampunan allah yang lebih besar dari pada di hari Arafah. Maka barangsiapa yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari dosa di bulan Romadhon atau hari Arafah, dia pantas untuk merayakan 2 hari ied.
Namun jika tidak berusaha, maka dia berada dalam posisi yang paling jauh dari tuhannya, seta mendapat ancaman”. (I’anah al-Thalibin fi hall Alfadz Fath al-Muin, Juz 1 hal. 301)
Terkait hikmahnya hari raya idul adha, ini merupakan kesempatan bagi kita untuk melaksanakan shalat hari raya yang paling utama. Kita juga bisa berkurban, yang mana fadilahnya sangatlah agung.
Banyak hadits yang menjelaskannya, di antaranya adalah hadisnya Imam Al-Turmudzi nomer 1493. Berikut redaksinya;
حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو مُسْلِمُ بْنُ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ الحَذَّاءُ المَدَنِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ أَبُو مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي المُثَنَّى، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا»
“Tidaklah ada amal dari anak adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang paling disukai Allah selain daripada mengalirkan darah (menyembelih qurban). Qurban itu akan datang kepada orang-orang yang melakukannya pada hari qiyamat dengan tanduk dan kukunya.
Darah qurban itu lebih dahulu jatuh ke suatu tempat yang disediakan Allah sebelum jatuh ke atas tanah. Oleh sebab itu, berqurbanlah dengan senang hati.” (Muhammad bin Isa Al-Turmudzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz 4 hal. 83)
Selain hadis tersebut, fadilah berikut juga cukup menggiurkan;
وَذَكَرَ الرَّافِعِيُّ وَابْنُ الرِّفْعَةِ حَدِيْثَ عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُم فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ وَهُوَ فِيْ مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ لِأَبِيْ مَنْصُوْرٍ الدَّيْلَمِيِّ لَكِنْ بِلَفْظِ اِسْتَفْرِهُوْا بَدَلَ عَظِّمُوْا
Imam Rafi’i dan Imam Ibnur Rif’ah menuturkan hadits “‘azhzhimuu dhahaayakum fa innahaa ‘alashshiraathi mathaayaakukum yang berarti Besarkanlah hewan-hewan qurban kalian, karena sesungguhnya hewan itu akan menjadi tumpangan kalian di shirath”.
Hadits ini dalam Musnad Firdaus karya Abi Manshur al-Dailami, akan tetapi dengan lafazh: istafrihuu (pilihlah yang bagus) sebagai pengganti lafazh: ‘azhzhimuu (besarkanlah) (Al-Damiri, Al-najm al-Wahhab fi Syarh al-Minhaj, Juz 9 hal. 499)
Syekh Ali Al-Jurjawi mengatakan bahwasanya Idul adha dan idul fitri disyariatkan sebagai pengganti dari hari rayanya orang jahiliah. (Hikmat al-Tasyri’ Juz 1 hal. 92).
Demikian penjelasan terkait hikmah Idul Adha dalam Islam. Semoga bermanfaat.