Hikmah Penahapan Penerapan Syariat Islam Masa Nabi

Hikmah Penahapan Penerapan Syariat Islam Masa Nabi

Agama Islam diturunkan tidak serta-merta menjadi beban bagi umat manusia kala itu. Proses penyesuaian Nabi Muhammad Saw dan risalah yang dibawanya dengan situasi dan kondisi masyarakat Arab Jahiliah ketika itu membuat proses penyempurnaan syariat di bumi Arab mengalami penahapan yang cukup bijak dan sesuai dengan hajat manusia kala itu.

Hal ini sebagaimana dinarasikan dalam ungkapan Ummul mukminin Aisyah ra. di bawah ini.

قالت عائشة : إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدً

Aisyah berkata : “Surat Alquran yang turun di masa awal adalah surat-surat pendek yang di dalamnya disebutkan surga dan neraka. Hingga Islam sudah menancap erat di hati orang-orang, barulah turun ayat mengenai halal dan haram. Andaikan saja yang turun di masa awal adalah ayat yang berbunyi ‘jangan engkau minum khamr’ tentu mereka akan berkata ‘kami akan minum khamr selamanya’. Andaikan ayat yang turun berbunyi ‘jangan kalian berzina’ tentu mereka akan berkata ‘kami tidak akan meninggalkan zina selamanya’

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, al-Baihaiqi dalam Dalail al-Nubuwwah, al-Shan’ani dalam Mushannaf-nya.

Melihat redaksi ungkapan yang disampaikan oleh Aisyah ra kita memahami bagaimana dinamika Nabi Muhammad dalam menyebarkan risalah yang dibawanya, yakni dengan cara bertahap.

Contoh yang terkenal adalah syariat mengenai ziarah kubur. Dalam hadisnya Rasulullah menegaskan bahwa dahulu ziarah kubur dilarang, namun pada akhir hayatnya beliau malah menganjurkan kepada umat Islam agar melakukan ziarah kubur. Sebagaimana tertuang dalam hadis di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

“Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah”

Hadis ini menjelaskan bagaimana syariat islam yang diterima masyarakat Arab ketika itu mengalami perubahan dan penyesuaian. Semula masyarakat Arab gemar untuk mengagungkan orang yang sudah meninggal dengan cara menyembah kuburannya, akan tetapi ketika akidah umat islam sudah kuat dan terjaga, maka berziarah tidak lagi dilarang, bahkan dianjurkan karena hal itu bisa mengingatkan manusia pada akhirat.

Demikian pula yang terjadi pada kasus pelarangan khamr. Bermula dari ayat ke-67 pada surat Annahl yang menginformasikan bahwa dalam buah kurma dan anggur terdapat hal yang memabukkan dan bisa menjadi sumber rezeki yang baik. Berlanjut kepada surat Albaqarah ayat 219 yang berisi informasi bahwa dalam khamr dan judi terdapat manfaat dan mudarat, namun kemudaratannya lebih besar ketimbang manfaatnya.

Kemudian pada surat Annisa ayat 43 Allah melarang umat Islam agar jangan menenggak khamr ketika hendak melakukan salat, dikarenakan hal tersebut bisa mengacaukan esensi salat seseorang. Hingga tiba pada final pelarangan khamr secara mutlak sebagaimana tertuang dalam surat Almaidah ayat 90 :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

Proses penahapan di atas dikenal juga dengan istilah naskh-mansukh, yakni menggantikan status hukum syariat yang lama dengan yang baru disertai dalil yang lebih mutakhir. Hal ini membuktikan bahwa dalam proses penegakan syariat Islam, Allah begitu memperhatikan kondisi lawan dialog dakwah ketika itu, yang mau tidak mau membutuhkan proses penahapan dan penyesuaian. Karena kalau tidak, sebagaimana ungkapan Aisyah di muka, maka Islam akan terkesan seram dan begitu menyulitkan.

Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH