Globalisasi di Timur Tengah

Arab Spring dan Globalisasi di Timur Tengah

Arab Spring tak bisa lepas dari proses globalisasi di Timur Tengah. Apa itu globalisasi dan bagaimana proses tersebut bisa memengaruhi Arab Spring?

Pada awalnya, proses globalisasi ditandai dengan hubungan antarnegara atau antarkawasan yang mengalami proses akselerasi dengan sangat cepat. Sehingga, muncul kesadaran yang tumbuh lintas batas negara yang memunculkan integrasi dan  saling ketergantungan.

Globalisasi pun identik dengan proses liberalisasi perdagangan yang tengah terjadi di seluruh belahan dunia. Hal tersebut didukung oleh ketertarikan negara-negara Timur Tengah untuk  masuk  dalam  rezim  perdagangan  bebas yang cukup  tinggi.

World Trade Organization

Kita bisa melihat, ada Arab Saudi sebagai  negara di  kawasan Timur Tengah yang memiliki minat tinggi untuk masuk ke World Trade Organization (WTO), satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional.

Sejak tahun 1996 Arab Saudi mendaftar ke WTO dan keanggotaanya baru diluluskan sekitar tahun 2008. Keanggotaan tersebut dinilai lambat jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah lainnya.

Sebut saja misalnya Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Bahrain dan Oman. Hal ini disebabkan karena peraturan-peraturan dagang domestik Arab Saudi memerlukan banyak perubahan sehingga yang harus compatible dengan aturan dagang di WTO.

Kecenderungan negara-negara di Timur Tengah untuk masuk lebih dalam perdagangan internasional pun terlihat dari berkembangnya pusat-pusat jasa keuangan di sana.

Sebagai misal, negara UEA yang mengembangkan pusat jasa keuangannya. Ada Abu Dhabi yang menjadi sentral perdagangan dan jasa keuangan di Timur Tengah. Abu Dhabi berhasil menyaingi Hongkong dan Singapura.

Kesadaran bahwa suatu saat sumber daya alam minyak akan habis adalah faktor utama yang mendorong elit politik di negara-negara Timur Tengah untuk mencari alternatif lain.

Hal tersebut dilakukan untuk menggerakkan ekonomi di masa depan, saat komoditi minyak sudah tidak bisa diandalkan lagi. Bagaimana pun, hal tersebut akan terjadi, cepat atau lambat, suatu saat nanti.

Memanfaatkan  kekayaan  minyak  yang dimiliki hanyalah keuntungan  geografis bagi negara-negara Timur Tengah sebagai kawasan tempat  pertemuan antara Timur dan Barat.

Abu Dhabi adalah ibu kota dan kota terbesar kedua di Uni Emirat Arab, menurut jumlah penduduknya, Abu Dhabi merupakan yang terbesar dari tujuh emirat yang membentuk Uni Emirat Arab.

Abu Dhabi penting dari pemerintah federal, dan merupakan pusat Pemerintah Uni Emirat Arab dan rumah untuk Keluarga Emir Abu Dhabi dan Presiden Uni Emirat Arab.

Abu Dhabi telah berkembang menjadi kota metropolis kosmopolitan. Perkembangan yang cepat dan urbanisasi, ditambah dengan pendapatan rata-rata relatif tinggi penduduknya, telah mengubah Abu Dhabi menjadi kota metropolitan yang lebih besar dan maju.

Kini, kota ini pusat politik, industri, kebudayaan, dan komersial utama karena kedudukannya sebagai ibu kota. Abu Dhabi menghasilkan 56,7% dari PDB Uni Emirat Arab pada 2008.

Abu Dhabi adalah rumah bagi lembaga keuangan penting seperti Bursa Efek Abu Dhabi, Bank Sentral Uni Emirat Arab dan kantor pusat perusahaan dari banyak perusahaan multinasional.

Salah satu produsen terbesar di dunia minyak, Abu Dhabi telah secara aktif berusaha untuk diversifikasi ekonominya dalam beberapa tahun terakhir melalui investasi dalam jasa keuangan dan pariwisata.

Abu Dhabi adalah kota paling mahal kedua untuk karyawan asing di wilayah tersebut, dan kota termahal ke-67 di dunia. majalah Fortune & CNN menyatakan bahwa Abu Dhabi adalah kota terkaya di dunia.

Saat ini, Abu Dhabi berkembang menjadi negara dengan kota pelabuhan dan galangan kapal bagi kapal-kapal besar yang melewati Teluk Persia. Bahkan, Bandar  Udara di Abu Dhabi berkembang menjadi bandara transit yang menghubungkan Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika.

Abu Dhabi mengatur strateginya dengan menjadikan keuntungan ekonomi   dari minyak yang diinvestasikan untuk membangun gedung-gedung pencakar langit sebagai pusat-pusat bisnis.

Strategi tersebut membuat negara-negara di Timur Tengah lainnya seperti Arab Saudi tidak mau ketinggalan. Arab Saudi pun mengembangkan Jeddah sebagai  pusat  bisnis.

Seolah-olah sedang bersaing dengan Abu Dhabi, Arab Saudi juga berencana  akan membangun gedung-gedung tinggi agar bisa mengalahkan popularitas Burj Al-Khalifa.

Fenomena Al-Jazeera

Qatar berusaha untuk menjadi pusat perubahan di Timur Tengah. Perubahan tersebut terutama ditandai dengan keberadaan media berbahasa Arab yang sangat berpengaruh yakni Al-Jazeera.

Al Jazeera yang berarti pulau atau jazirah adalah stasiun televisi berbahasa Arab dan Inggris yang berbasis di Doha, Qatar. Selain saluran berita utama, Al Jazeera juga mengoperasikan beberapa saluran TV khusus lainnya.

Stasiun khusus tersebut antara lain Al Jazeera English, Al Jazeera Sports, Al Jazeera Live, dan Al Jazeera Children’s Channel. Selain itu, Al Jazeera juga mengoperasikan situs web berita berbahasa Arab dan Inggris.

Saat media Barat menampilkan keberhasilan operasi militer di Afghanistan  dan  Irak,  Al-Jazeera  justru menampilkan sisi lain dari perang seperti jatuhnya    korban di pihak sipil dan melakukan wawancara khusus dengan tokoh kunci.

Louay Y. Bahry dalam TheNewArabMedia Phenomenon: Qatar’s Al-Jazeera(2001) mencatat bahwa keberhasilan Al-Jazeera dalam mewawancarai tokoh-tokoh kunci yang memiliki peran rezim Taliban di Afghanistan menjadi penyeimbang pemberitaan media massa Barat.

Al-Jazeera juga berhasil mewawancarai Osama bin Laden dan Dr. Ayman Al-Zawarihi secara ekslkusif. Wawancara tersebut memunculkan tuduhan bahwa Al-Jazeera telah menjadi “corong” teroris.

Hal itulah yang menyebabkan dalam operasi militer Amerika Serikat di  Afghanistan, sasaran serangan bukan hanya tentara Taliban, tapi juga kantor Al- Jazeera.

Peristiwa yang sama juga terulang kembali pada saat serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 saat stasiun Al-Jazeera menjadi target  serangan rudal- rudal dari tentara Amerika Serikat.

Fenomena Al-Jazeera menandakan bahwa globalisasi di Timur Tengah dalam bidang media telah dimanfaatkan dengan baik oleh negara aggressor, negara yang diduduki, dan aktor-aktor non negara termasuk kelompok-kelompok yang dikategorikan Amerika Serikat sebagai teroris.

Kini, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube pun menjadi ajang untuk mendorong proses perubahan di berbagai negara yang berada di Timur Tengah.

Media sosial dimanfaatkan untuk merekrut pengikut, mengampanyekan aksi, dan melakukan perlawanan atas penindasan penguasa seperti yang terjadi dalam gelombang Arab Spring.

Political Community

Sementara itu, globalisasi di Timur tengah juga terjadi dalam transformasi di bidang informasi dalam tataran politik telah menciptakan political community.

Political community adalah sekumpulan manusia yang diantara anggotanya diikat oleh kesamaan simbol sehingga saling bekerjasama untuk merealisasikan tujuan mereka.

Andrew Linklater dalam Globalization and TransformatioofPolitical Community(2005) mencatat bahwa komunitas tersebut berusaha untuk mengatur diri  mereka sendiri dengan pijakan aturan yang bebas sehingga tidak teralienasi oleh aturan tersebut.

Atau dengan kata lain, komunitas tersebut sedang berusaha untuk mendemokratiskan kehidupan politik negara-negara di Timur Tengah tanpa harus  menunggu perubahan dari negara sebagai institusi formal terlebih dahulu.

Arab Spring adalah fenomena gerakan massa yang memiliki tujuan diakuinya eksistensi pihak di luar negara untuk hidup lebih bebas dan mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya sebagai manusia sekaligus warga negara.

Gerakan-gerakan Islam yang menginginkan perubahan politik tersebut adalah Ikwanul Muslimin di Mesir, An-Nahda di Tunisia, Al-Ishlah di Yaman, Hamas di Palestina, dan Hezbollah di Lebanon.

Pertumbuhan gerakan-gerakan tersebut berada di luar koridor negara tempat gerakan tersebut lahir dan tumbuh. Gerakan-gerakan tersebut memiliki disiplin organisasi.

Disiplin organisasi itulah yang mengikat para anggotanya dan bahkan   membuat negara sebagai institusi formal mengalami  kesulitan  untuk  mengendalikan gerakan-gerakan tersebut.

Misalnya, Ikhawanul Muslimin. Meskipun organisasi ini ditetapkan sebagai gerakan terlarang di Mesir sejak era Gamal Abdul Nasser pada tahun 1950an, tapi pada kenyataannya Al-Ikhwan tetap eksis sampai saat ini.

Contoh lain, Hamas di Palestina yang tumbuh dan berkembang di luar kendali Otoritas Palestina sebagai produk kesepakatan Oslo 1993. Hamas bahkan berhasil menggeser dominasi  Fatah  pada  pemilu 2006.

Hal yang sama juga terjadi di Lebanon pada saat Hezbollah bertindak seakan-akan menjadi negara yang berada dalam negara. Sebab, Hezbollah memiliki independensi dari pemerintahan di Beirut, memiliki angkatan bersenjata, bahkan terlibat konflik langsung dengan Israel.

Arab Spring memberikan kesempatan kepada political   community seperti gerakan-gerakan tersebut untuk berpartisipasi  dalam  perubahan  politik yang terjadi di negara masing-masing.

Contoh lain, ada Partai An-Nahdha yang pimpinan oleh Rachid Ghannouchi  di Tunisia yang memiliki  kedekatan  dengan  pemikiran Al-Ikhwan dan terlibat aktif  dalam gerakan revolusi tersebut.

Ghannouchi adalah orang yang selama bertahun-tahun terusir dari negaranya dan tinggal di Prancis. Ia diusir karena memiliki sikap kritis terhadap pemerintahan yang pada waktu itu dipimpin oleh rezim Bin Ali.

Zainal Abidin bin Ali atau disebut dengan Zine El Abidine Ben Ali dalam bahasa Prancis adalah politikus Tunisia yang menjabat Presiden Tunisia sejak 1987 hingga digulingkan pada tahun 2011.

Bin Ali diangkat sebagai Perdana Menteri pada Oktober 1987. Ia naik menjadi presiden pada tanggal 7 November 1987 melalui kudeta damai yang menggulingkan Habib Bourguiba, presiden sebelumnya yang dianggap tidak kompeten.

Bin Ali kemudian selalu terpilih lagi dengan perolehan suara di atas 90%; ia terakhir kali memenangi pemilu pada tanggal 25 Oktober 2009. Pada 14 Januari 2011, setelah rakyat Tunisia berunjuk rasa selama berbulan-bulan, Bin Ali melarikan diri ke Arab Saudi bersama istrinya, Laila bin Ali, dan ketiga anaknya.

Pemerintahan sementara Tunisia meminta Interpol mengeluarkan surat penangkapan internasional dengan tuduhan pencucian uang dan penyelundupan obat-obatan.

Pengadilan Tunisia menjatuhkan hukuman 35 tahun penjara kepada Bin Ali bersama istrinya secara in absentia pada 20 Juni 2011 atas dakwaan pencurian dan kepemilikan uang tunai dan perhiasan ilegal.

Pada Juni 2012, pengadilan Tunisia menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup secara in absentia atas dakwaan memancing kekerasan dan pembunuhan. Pada April 2013, pengadilan militer menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas dakwaan pembubaran paksa unjuk rasa di Sfax.

The Economist mewartakan bahwa ketika Presiden Bin Ali berhasil digulingkan, Ghannouchi memutuskan untuk kembali ke negaranya, kemudian ikut serta dalam pemilu dan akhirnya An-Nahdha memenangkan pemilu tersebut.

Contoh lainnya lagi terjadi di Maroko, tepatnya setelah Raja Muhammad IV melakukan reformasi politik agar gelombang Arab Spring tidak mengancam kekuasaannya  dengan melakukan pemilu multi partai.

Partai Keadilan dan Pembangunan yang memiliki kedekatan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin akhirnya berhasil memenangkan pertarungan dalam pemilu yang digelar pada 27 November 2011 silam.

Demikianlah globalisasi di Timur Tengah yang memengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh Arab Spring. Selain globalisasi di Timur Tengah, ada banyak faktor lain yang memengaruhi Arab Spring yang akan dijelaskan dalam artikel-artikel selanjutnya.[]

BINCANG SYARIAH