Dari terminal Ajyad, lokasi yang menjadi pos bus antar-jemput (shalawat) jamaah haji Indonesia, saya menyusuri jalanan menuju Bab as-Salam (baca: Babussalam), melewati Gerbang King Abd al-Aziz. Langit Makkah tak lagi memendar usai melaksanakan shalat Maghrib.
Ini tak seperti biasanya. Dalam kondisi normal, setidaknya tepat setelah shalat Maghrib, langit jingga masih tersisa di awan bagian ufuk barat Kota Makkah. Beberapa kali kilatan petir terlihat jelas dari ujung menara Masjid al-Haram yang menjulang. Makkah mendung petang ini.
Tak lagi ribuan dalam kalkulasi acak saya, tapi jutaan jamaah haji dari berberbagai negara tumpah ruah memadati Masjid al-Haram.
Jamaah yang tidak beruntung memasuki masjid, memutuskan melaksanakan shalat Maghri di pelataran hotel dan jalanan. Keamanan Haji dan Umrah Arab Saudi memberlakukan pemasakan portal di tiap akses utama yang mengarah ke masjid. Dari titik Ajyad, Bab Ali, dan Terminal Syisya. Kebijakan ini dalam rangka mengurangi penumpukan massa di dalam masjid.
Saya terpaksa pulang 20 menit selepas shalat isya. Shalat maghrib di Makkah berlangsung pada pukul 19.04 waktu Arab Saudi, sedangkan waktu isya dilaksanakan pukul 20.25 WAS. Jamaah sudah mulai terurai.
Bersama Carwi Wage Wagiman, tukang becak asal Pati, Jawa Tengah yang naik haji, saya melangkahkan kaki berjalan di atas lantai marmer batu alam masjid yang selalu bersih. Dari luar kawasan tempat sai (mas’a), dalam Masjid al-Haram, masih sangat padat, namun lumayan terurai, berbeda dengan pemandangan beberapa jam lalu.
Saya hampir tidak percaya. Semula rintik yang membasahi muka kami berasal dari pendingin udara jumbo yang ada di pelataran masjid. Ternyata bukan. Air itu datang dari langit. Gerimis itu pun lalu perlahan menjadi hujan deras selama kurang lebih 10 menit.
Makkah hujan malam ini. Dari kejauhan terdengar suara jamaah melantunkan tahmid dan menengadahkan tangan mereka ke atas.”Terimakasih atas karunia-Mu. Hujan adalah nikmat,” kata Muhammad Hamdi, jamaah asal Maroko. Hamdi bahkan sengaja berhujan ria, dan memilih tidak meneduh. Begitu juga saya dan pak Carwi. Ini kesempatan langka. Tak selamanya hujan turun di tanah suci.
Hujan selalu dinantikan dan hujan senantiasi dirindukan mereka yang tinggal di jazirah Arab. Selama di Makkah, memang sempat beberapa kali hujan turun. Jumlahnya hanya dalam hitungan jari.
Seingat saya, selama kurang lebih sebulan menetap di Makkah, hanya tiga kali mendapati hujan. Hujan di saat cuaca panas yang ekstrem dengan rata-rata suhu 40 derajat celsius yang menyelimut Makkah, adalah berkah tersendiri. Lihatlah mereka. Para jamaah yang ada di pelataran masjid, memilih tetap berada di luar menikmati hujan.
Masyarakat Arab sungguh merindukan hujan, bak menantikan kekasih yang lama tak bersua. Perhatikan bagaimana sastrawan pra-Islam, Imru’ al-Qais (520-526 M0, menggambarkan kerinduannya ‘bercengkerama’ dengan hujan dan kilatan petir, fenomena alam yang langka di kawasan gurun pasir, dalam bait-bait syairnya:
Petang hari engkau lihat petir mengkilat dan bercahaya
Garisnya serupa guratan di kedua tangan, cintaku kepadanya sangatlah akut
(Petir) itu menerangi cakrawala, seperti lentera-lentera pendeta
Air yang turun membahasi keningku ku usap lembut lalu ku biarkan
Sambil berjalan dengan guyuran hujan ditemani Pak Carwi ke arah Terminal Syaib Amir, air yang membasahi tubuh ini pun membuat kami berdua rindu kampung halaman. Rindu bumi pertiwi, rindu tanah air. Betapa nikmat Allah SWT begitu besar.
Anugerah alam yang melimpah ruah. Di negeri kita, tak sulit menjumpai hujan, bahkan sering berlebih, alias banjir. Atas nikmat-Nya pula, guyuran air membuat tanah di negeri kita, subur. Hujan adalah anugerah. Hujan dalam ungkapan Imru’ al-Qais, membuat ujung dedaunan kurma itu mengucurkan gemiricik, menyisakan pemandangan yang Indah.
Di tanah suci ini, saya kembali bersyukur telah terlahir di Indonesia dan besar di sana. Selalu ada yang dirindukan dari kampung halaman. Hujan di tanah suci memantik rasa rindu ini kepada ibu pertiwi, bumi Indonesia!