Hukum Cadaver dalam Islam

Hukum Cadaver dalam Islam

Belum lama ini media sosial tengah dihebohkan dengan video penemuan mayat di Kampus Universitas Prima Indonesia atau Unpri Medan.  Dalam unggahan tersebut nampak seperti ada tubuh manusia yang terendam di dalam air layaknya korban pembunuhan. Namun faktanya, mayat yang ada di kampus tersebut adalah cadaver yakni mayat yang selama ini dijadikan bahan penelitian buat mahasiswa Fakultas Kedokteran Unpri. Lantas bagaimanakah hukum penggunaan cadaver dalam Islam?

Penggunaan Cadaver dalam Dunia Praktik Kedokteran

Penggunaan kadaver (cadaver) atau jenazah yang sudah diawetkan untuk penelitian sudah lazim sebagai objek belajar mahasiswa fakultas kedokteran. Mereka akan mendapatkan kadaver untuk mengenal anatomi manusia dan bagaimana mengobati manusia hidup. 

Cadaver biasa digunakan dalam praktikum. Selain relawan yang memang berwasiat untuk menjadi cadaver setelah wafat, cadaver juga menggunakan jasad orang tanpa identitas.

Hukum Cadaver dalam Islam 

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum penggunaan jenazah untuk penelitian. Untuk ulama yang melarang, mereka menggunakan dalil jikalau Allah SWT memuliakan manusia daripada makhluk lainnya.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut me reka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra:70).

Menurut salah satu mufti Mesir Muhammad Bakhiet al- Mith-‘i berpendapat kalau jenazah hanya boleh untuk dua keperluan. Pertama, mengambil harta orang; seperti permata yang tersimpan dalam perut jenazah. Berikutnya, untuk menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Jika untuk penelitian, tidak dibolehkan. 

Sementara itu, mufti Mesir lainnya, Syekh Yusuf ad-Dawi, menyatakan, hukum menjadikan jenazah sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa di fakultas kedokteran adalah mubah, dengan dalil qiyas aulawi dan kaidah darurat.

Penggunaan mayat ini dianalogikan dengan kebolehan melakukan pembedahan terhadap perut jenazah perempuan hamil untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dan berada di dalam kandungannya.

Ahmad Munif mengungkapkan, perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. “Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibn Majah, dan Abu Daud.

Kemudian ada pula pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadis itu secara mutlak, dalam kondisi apa pun. Sedangkan, alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti operasi menyelamatkan janin dan mengambil harta dari dalam tubuh mayat. 

Operasi bedah mayat dengan operasi pembedahan perut wanita hamil yang sudah meninggal untuk menyelamatkan janin sama-sama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang. Meski dari satu sisi hal tersebut merusak kemuliaan mayat, kebermanfaatan bagi orang yang hidup lebih utama.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam Al- Fatawa al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadis tadi. Menurut Syekh Abdul Majid, hadis itu berlaku bila tidak ada kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, termasuk pengecualian.

Fatwa MUI Terkait Penggunaan Cadaver

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian melansir kaidah fiqhiyyah yang harus diperhatikan dalam masalah ini. 

Pertama, mencegah ke mafsadatan (keburukan) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Penelitian jenazah dimaksudkan untuk mengasah keterampilan para calon dokter agar mengenali anatomi tubuh. Ilmu yang didapatkan para dokter ini pun akan mencegah mereka melakukan kekeliruan manakala sudah mendapatkan lisensi praktik. 

Tak hanya itu, kehormatan seseorang yang hidup lebih agung daripada kehormatan seseorang yang mati.

MUI pun mempertimbangkan fatwa Syekh Yusuf ad-Dawi dalam memutuskan masalah ini. Karena itu, MUI lantas memutus kan jika penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian dibolehkan dengan beberapa ketentuan.

Seperti harus benar-benar mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar atau memberikan perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), bukan hanya untuk kepentingan praktik semata. Kemudian media penelitian memang hanya bisa dilakukan dengan media manusia saja, namun harus dilakukan seperlunya saja. Jika penelitiannya sudah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat. 

Peneliti juga harus mendapatkan izin dari jenazah yang akan dijadikan objek penelitiannya ketika hidup. Izin tersebut dapat diperoleh melalui wasiat, izin ahli waris, dan atau izin dari pemerintah. Tak hanya itu, sebelum jenazah digunakan sebagai objek penelitian, hak-hak jenazah harus dipenuhi. Almarhum atau almarhumah harus dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. 

Demikian hukum cadaver dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH