Hukum menalkin seseorang setelah meninggal dunia dan setelah dimakamkan
Sebagaimana dalam penjelasan sebelumnya, talkin itu disyariatkan bagi orang yang hampir meninggal dunia atau ketika sedang sakratulmaut. Adapun ketika sudah meninggal dunia, atau bahkan ketika sudah dimakamkan, tidak disyariatkan talkin.
Berkaitan dengan masalah talkin setelah jenazah dimakamkan, terdapat sebuah hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram sebagai berikut,
وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ ، أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا
Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabi’in, dia berkata, “Mereka (yaitu para sahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar, supaya dikatakan di dekat makamnya, “Wahai fulan, katakanlah laa ilaha illallah.” Sebanyak tiga kali. “Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan Nabiku adalah Muhammad.”
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada sahabat). Thabrani meriwayatkan hadis di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Sa’id bin Manshur, namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi).”
Namun, hadis di atas adalah hadis yang lemah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah. Berkaitan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun asar dari Dhamrah bin Hubaib, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengisyaratkan kitab “Sunan Sa’id bin Manshur”, dan aku tidak menemukan sanadnya. Dan perkataan itu adalah perkataan seorang tabi’in. Sehingga termasuk dalam hadis maqthu’, yang tidak bisa dijadikan sebagai hujah.” (Minhatul ‘Allaam, 4: 353)
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani rahimahullah dalam Ad-Du’a (no. 1214) dan Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 7979) dari jalan Ismail bin ‘Iyasy. Namun, sanad hadis ini daif. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadis ini disepakati daifnya.” (Tahdziib Mukhtashar As-Sunan, 7: 250)
Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang aku tidak kenal.” (Majma’ Az-Zawaaid, 3: 45)
Al-‘Izz bin ‘Abdus Salaam rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun hadis sahih berkaitan dengan talkin (setelah meninggal dunia). Ini adalah amalan bidah.” (Al-Fataawa, hal. 95-96)
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Yang dapat kita simpulkan dari perkataan ulama peneliti hadis adalah bahwa hadis tersebut lemah (daif), sehingga menjadi bidah jika diamalkan. Dan tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang yang mengamalkannya.” (Subulus Salaam, 2: 218)
Asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan hadis tersebut dalam kitab beliau, “Al-Fawaaid Al-majmu’ah fil Ahaadits Al-Maudhu’ah.” (hal. 268)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
تلقين الميت بعد دفنه مبني على حديث أبي أمامة رضي الله عنه وقد تنازع الناس في صحته والصواب أنه حديث ضعيف لا تقوم به حجة وأن تلقين الميت بعد دفنه بدعة لأن ذلك لم يرد عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ولا عن أصحابه في حديث يركن إليه
“Talkin jenazah setelah selesai dimakamkan berdasar atas sebuah hadis dari sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu. Para ulama berbeda pendapat tentang status hadis ini. Yang benar, hadis tersebut daif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah. Sehingga melakukan talkin setelah jenazah dimakamkan termasuk bidah. Tidak terdapat dalil (hadis) yang bisa dijadikan sebagai patokan, baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun dari para sahabatnya.” (Fataawa Nuur ‘ala Ad-Darb, 5: 190)
Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Sejumlah ulama peneliti mengatakan bahwa talkin setelah jenazah dimakamkan itu tidak boleh, bahkan termasuk bidah. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya, dan tidak pula dilakukan oleh khulafaur rasyidin sepeninggal beliau. Seandainya amal tersebut ada dalilnya, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan bersegera mengamalkannya. Hal ini karena adanya orang yang meninggal dunia itu pada umumnya hampir terjadi setiap hari. Sehingga, faktor pendorong dan motivasi untuk menukil (meriwayatkan) amal tersebut sangatlah besar, jika memang benar-benar ada (diamalkan). Kesimpulannya, amal tersebut termasuk bidah yang wajib untuk ditinggalkan dan diingkari. Di antara perkara yang menunjukkan batilnya amalan tersebut adalah:
Pertama, bahwa hal itu bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan bahwa orang yang sudah mati tidak bisa mendengar, kecuali yang terdapat dalam hadis sebelumnya bahwa mereka mendengar langkah sandal ketika orang-orang pergi (pulang) meninggalkannya.
Kedua, orang yang meninggal itu sudah terputus dan sudah ditutup amalnya. Sehingga tidak mungkin lagi membuat jenazah tersebut menjadi teguh hatinya (untuk menjawab pertanyaan dua malaikat) setelah meninggal dunia. Adapun yang menjadi sebab keteguhan mayit tersebut (dalam menjawab pertanyaan dua malaikat) adalah amal yang telah dia lakukan selama masih hidup.
Ketiga, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk mendoakan mayit setelah dimakamkan. Seandainya talkin (setelah dimakamkan) juga disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga akan mengajarkan kepada kita. Wallahu Ta’ala a’lam.” (Minhatul ‘Allaam, 4: 356)
Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Jika jenazah tersebut orang zalim, maka tidak ada manfaatnya. Jika jenazah tersebut adalah mukmin, maka Allahlah yang akan meneguhkannya. Sehingga, talkin semacam ini (setelah meninggal dunia) tidak ada dalilnya dan tidak boleh dilakukan, meskipun sebagian orang menganggapnya sebagai perbuatan yang baik. Akan tetapi, hujah itu terdapat pada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 66)
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan, amalan yang terdapat dalil sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mendoakan jenazah selesai dimakamkan. Dari sahabat ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari menguburkan mayit, beliau berkata, ‘Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.’” (HR. Abu Dawud no. 3221, Al-Hakim 1: 370, hadis sahih)
Hukum menalkin dengan membacakan surah Yasin
Berkaitan dengan membacakan surah Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia, terdapat suatu riwayat dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ
“Bacakanlah surah Yasin kepada orang yang hampir meninggal dunia.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3121), An-Nasa’i dalam ‘Amal Al-Yaum Wal Lailah (no. 1074), dan Ibnu Hibban (7: 269). Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan di kitab Bulughul Maram bahwa Ibnu Hibban rahimahullah mensahihkan hadis ini.
Hadis ini diperselisihkan statusnya oleh para ulama. Sebagian ulama menilai bahwa hadis ini daif sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengutip perkataan Ad-Daruquthni rahimahullah, “Sanad hadis ini daif, matannya majhul. Tidak ada satu pun hadis sahih dalam masalah ini.” (At-Talkhish, 2: 110)
Di antara ulama kontemporer yang juga menilai hadis ini daif adalah Syekh Al-Albani rahimahullah (dalam Shahih Wa Dha’if Sunan Abi Dawud) dan Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhatul ‘Allaam (4: 242). Inilah pendapat yang lebih kuat tentang status hadis ini. Wallahu Ta’ala A’lam.
Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh sebagian ulama fikih untuk mengatakan dianjurkannya membacakan surah Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia. Sehingga lafaz,
مَوْتَاكُمْ
dimaknai sebagai “orang yang hampir meninggal dunia”, bukan “orang yang sudah meninggal dunia.” Demikianlah penjelasan Ibnu Hibban rahimahullah ketika menjelaskan hadis ini. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 242)
Para ulama yang mengatakan dianjurkan membacakan surah Yasin, mereka mengatakan bahwa hikmahnya adalah karena di dalam surah Yasin terdapat kandungan tauhid dan negeri akhirat. Disebutkan pula tentang kabar gembira berupa surga bagi ahli tauhid dan keberuntungan bagi siapa saja yang meninggal di atas tauhid. Allah Ta’ala berfirman,
قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ
“Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ Ia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’” (QS. Yasin: 26-27)
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Ar-Ruuh, hal. 18)
Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat adalah membaca surah Yasin kepada orang yang hampir meninggal dunia itu tidak disyariatkan karena daifnya hadis yang dijadikan sebagai dalil. Kita mencukupi dengan amal yang terdapat dalam hadis sahih, yaitu menalkin dengan menuntunkan orang yang hampir meninggal dengan bacaan laa ilaaha illallah. Sebagaimana penjelasan di seri sebelumnya dari tulisan ini.
Akan tetapi, permasalahan ini hendaknya disikapi dengan lapang dada. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
“Hadis ini menunjukkan dianjurkannya membacakan surat Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia. Akan tetapi, dalam hadis ini terdapat perbincangan yang panjang. Hadis ini dinilai cacat bahwa sanadnya daif, atau munqathi’, atau mudhtharib, sedangkan sebagian ulama menilai sebagai hadis yang sahih dan memiliki syawahid (penguat dari jalur yang lain, pent.). Sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ‘Dianjurkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia.’ Hal ini menunjukkan bahwa amalam tersebut memiliki dalil.
Dalam menyikapi permasalahan ini, ulama terbagi menjadi dua,
Pertama, mereka yang berpendapat tidak disyariatkan, karena tidak ada hadis yang sahih.
Kedua, mereka yang berpendapat dibacakan (surat Yasin), karena menurut sebagian ulama, hadisnya sahih dan memiliki syawahid.
Ringkasnya, siapa saja yang mengamalkan, tidak perlu diingkari. Demikian pula siapa saja yang meninggalkannya, juga tidak perlu diingkari. Karena permasalahan ini adalah permasalahan yang lapang, walillahil hamd.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 16-17)
[Selesai]
***
@Rumah Kasongan, 4 Sya’ban 1443/ 7 Maret 2022
Penulis: M. Saifudin Hakim