Islam adalah agama penuh kasih sayang. Dan di antara bentuk kasih sayang kepada umatnya adalah adanya kemudahan dan keringanan tatkala ada uzur, kesulitan, atau kepayahan bagi umatnya saat menjalankan sebagian ibadah. Baik itu berupa boleh meninggalkan ibadah tersebut dan diganti di lain waktu atau tetap mengerjakannya tetapi dengan bentuk peribadatan yang berubah dari asal tata caranya sehingga lebih ringan untuk dikerjakan.
Di antara uzur yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah safar. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” [1]
Adapun safar yang mendapatkan rukhsah (keringanan) apabila jarak tempuhnya sudah mencapai kurang lebih 83 km. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dipilih oleh Syekh Ibnu Baz rahimahullah. [2] Mereka berdalil dengan hadis berikut,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqasar salat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” [3]
Sehingga, pada asalnya, apabila seseorang bersafar di bulan Ramadan atau dia sedang menjalankan puasa wajib lainnya (nazar, kafarat, atau qada’), maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Namun, meski demikian, setidaknya ada empat rincian hukum dan kondisi orang puasa saat safar sebagai berikut:
Pertama, apabila puasa saat safar bisa membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa, maka puasanya sah. Sebagian ulama berpendapat hukumnya haram, dan ini pendapat yang lebih kuat. [4] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.”[5]
Kedua, apabila puasa saat safar memberatkan dirinya, namun tidak sampai membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh juga untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu, ada seseorang yang diberi naungan. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Siapa ini?’ Orang-orang pun mengatakan, ‘Ini adalah orang yang sedang berpuasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukanlah suatu hal yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.’” [6]
Ketiga, apabila puasa atau tidak puasa saat safar sama saja tidak ada bedanya baginya. Artinya, dia tidak merasa keberatan sama sekali puasa saat safar. Maka, yang lebih utama bagi dia adalah tetap berpuasa karena lebih cepat menggugurkan kewajiban bagi mukallaf (orang yang dibebani syariat), lebih mudah menjalankan puasa bersama orang-orang juga puasa, dan mendapati waktu yang mulia dan utama, yaitu bulan Ramadan. [7]
Keempat, apabila seseorang tidak merasa keberatan dan kesulitan puasa saat safar, namun dia merasa berat dan sulit untuk meng-qada’-nya. Seperti seseorang yang jauh lebih sibuk dengan pekerjaan dan banyak safar di luar bulan Ramadan. Maka kondisi yang seperti ini lebih utama baginya puasa saat safar di bulan Ramadan.
Waallahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat.
***
Penulis: Junaidi, S.H., M.H.
Catatan kaki:
[1] QS. Al-Baqarah: 185.
[2] Fatawa Nur ‘ala Al-Darb, 42: 13-43.
[3] HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Di-washal-kan oleh Al-Baihaqi, 3: 137. Lihat Al-Irwa’, 565.
[4] Asy-Syarhu Al-Mumti’ oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 355.
[5] HR. Imam Ahmad, 1: 313.
[6] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.
[7] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28: 73.
Sumber: https://muslim.or.id/93082-hukum-dan-kondisi-orang-puasa-saat-safar.html
Copyright © 2024 muslim.or.id