Hukum Karmin dalam Islam

Hukum Karmin dalam Islam

Karmin adalah pewarna merah alami yang berasal dari serangga Cochineal. Serangga ini hidup di kaktus Opuntia, dan menghasilkan zat warna merah yang disebut karmin asam. Karmin asam ini kemudian diekstrak dan digunakan sebagai pewarna makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Lantas bagaimana hukum karmin dalam Islam?.

Baru-baru ini viral pernyataan seorang kyai yang menyatakan bahwa karmin ini najis, sehingga haram untuk dikonsumsi. Demikian yang dinyatakan oleh Abah Yai Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jawa Timur yang mensosialisasikan hasil bahtsul masail (diskusi kasuistik fikih) LBM NU Jatim. Keputusan PWNU Jatim itu berbeda pandangan dengan fatwa MUI pusat yang mencetuskan fatwa semenjak tahun 2011 bahwa karmin ini halal. Lalu bagaimana menyikapi hukum karmin dalam Islam?

Pengertian Karmin

Sebelum membahas lebih lanjut, alangkah baiknya mengetahui definisi operasional dari karmin terlebih dahulu. Melansir dari laman CNN, karmin merupakan pewarna dari ekstrak serangga berjenis cochineal atau kutu daun. Pewarna karmin dapat ditemukan di antaranya dalam produk pangan komersial, seperti yoghurt, susu, permen, es krim, dan pangan lainnya yang berwarna merah hingga merah muda.

Hukum Karmin dalam Islam

Putusan hukum yang dicetuskan LBM PWNU Jawa Timur mengacu pada pandangan Madzhab Syafi’i  dan jumhur madzhab yang menyatakan bahwa Karmin dihukumi seperti serangga. Yakni tidak halal untuk dimakan, dan bangkainya najis.

Sedangkan putusan MUI berlandaskan pada analogi karmin dengan belalang, sehingga mereka menghukuminya halal. Logika hukumnya bisa dibaca di putusan masing-masing ormas. Jika dicek dalam kitab komparasi Madzhab, dua pendapat yang diusung kedua ormas ini bisa disimak dalam keterangan berikut yang menjelaskan status serangga ditinjau dari segi makanan;

لِلْفُقَهَاءِ فِي أَكْل الْحَشَرَاتِ اتِّجَاهَانِ:الاِتِّجَاهُ الأَْوَّل: هُوَ حُرْمَةُ أَكْل جَمِيعِ الْحَشَرَاتِ، لاِسْتِخْبَاثِهَا وَنُفُورِ الطِّبَاعِ السَّلِيمَةِ مِنْهَا، وَفِي التَّنْزِيل فِي صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} وَهَذَا مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ.

Artinya; Terkait masalah mengkonsumsi serangga, ulama terbagi menjadi 2 kubu. Menurut pendapat yang pertama, menghukumi haram. Karena menjijikkan dan watak yang sehat pasti menjauhinya, di samping itu juga mengikuti Nabi Muhammad Saw yang menyatakan keharamannya sesuatu yang menjijikkan. Pendapat ini dipedomani oleh 3 Madzhab, yaitu Syafi’i, Hanafi dan Hambali”. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 17 H. 219)

Ulama yang Mengatakan Hukum Karmin adalah Halal

Adapun pendapat yang menghalalkan adalah sebagai berikut;

 الاِتِّجَاهُ الثَّانِي: حِل جَمِيعِ أَصْنَافِ الْحَشَرَاتِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ، وَهُوَ فِي الأَْصْل إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ فِيهِ، ثُمَّ انْعَقَدَ الْمَذْهَبُ عَلَيْهَا. قَال الطُّرْطُوشِيُّ: انْعَقَدَ الْمَذْهَبُ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ وَهِيَ رِوَايَةُ الْعِرَاقِيِّينَ، أَنَّهُ يُؤْكَل جَمِيعُ الْحَيَوَانِ مِنَ الْفِيل إِِلَى النَّمْل وَالدُّودِ، وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ إِلاَّ الْخِنْزِيرَ فَهُوَ مُحَرَّمٌ بِالإِِْجْمَاعِ. وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ إِِلَى حُرْمَةِ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِّ، كَابْنِ عَرَفَةَ وَالْقَرَافِيِّ، وَلَعَلَّهُمْ أَخَذُوا بِالرِّوَايَةِ الأُْخْرَى فِي الْمَذْهَبِ. ثُمَّ إِنَّ الْقَوْل بِحِل جَمِيعِ الْحَشَرَاتِ لَيْسَ عَلَى إِطْلاَقِهِ، فَإِِنَّهُمْ قَدِ اخْتَلَفُوا فِي بَعْضِهَا وَذَلِكَ كَالْفَأْرِ.

Artinya; Menurut pendapat yang kedua, semua jenis serangga dihukumi halal. Ini adalah pendapatnya Madzhab Maliki. Hanya saja sebagian ulama’nya menyatakan keharamannya, misalnya adalah Ibnu Arafah dan Al-Qarafi.

Adapun pendapat yang memukul rata kehalalannya semua jenis serangga, ini tidak universal. Karena mereka banyak berbeda pendapat terkait kehalalan beberapa hewan, contohnya semisal Tikus”. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 17 H. 220)

Dengan demikian bisa diketahui bahwa mayoritas madzhab mengharamkan serangga, Madzhab Maliki pun juga berbeda pendapat di kalangan internalnya. Karena ini masalah makanan, seyogyanya memilih pendapat yang difatwakan oleh mayoritas. Karena pengaruh makanan haram ini berdampak pada berbagai aspek, misalnya adalah kesalehan spiritual.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ Ulumiddin telah membahas ini dalam satu tema, di sana (Kitab Al-Halal Wa Al-Haram) beliau menjelaskan makanan haram dan dampaknya. Di antaranya adalah kutipan beliau atas riwayat dari Sahal al-Tusturi:

وقال سهل رضي الله عنه من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى علم أو لم يعلم ومن كانت طعمته حلالاً أطاعته جوارحه ووفقت للخيرات

Sahl al-Tustari RA berkata, “Orang yang memakan sesuatu yang haram, maka tubuhnya telah bermaksiat. Baik dia mengetahuinya atau tidak. Adapun orang yang memakan sesuatu yang halal, maka tubuhnya telah taat kepada Allah dan dia akan diberi pertolongan untuk senantiasa melakukan banyak kebaikan.” (Ihya’ Ulum al-din, Juz 2 H. 21)

Al-Habib Abdullah Al-Haddad berkata;

ثم اعلموا رحمكم الله : أن أكـل الحـلال ينـور القلـب ويرفقه ، ويجلب له الخشية من الله والخشوع لعظمته ، وينشط الجوارح للعبادة والطاعة ، ويزهد في الدنيا ويرغب في الآخرة ، وهو سبب في قبول الأعمال الصالحة واستجابة الدعاء ؛ كما قال عليه الصلاة والسلام لسعد بن أبي وقاص رضي الله عنه : « أطب طعمتك تستجب دعوتك » . وأما أكل الحرام والشبهات فصاحبه على الضد من جميع : هذه الخيرات : يقسي القلب ويظلمه ، ويقيد الجوارح عن الطاعات ، ويرغب في الدنيا . وهو سبب في عدم قبول الأعمال الصالحة ورد الدعاء ؛ كما في الحديث : أنه عليه الصلاة والسلام ذكر الرجل أشعث أغبر ، يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب ! ومطعمه حرام. الحديث ، وقد تقدم فاحرصوا على أكل الحلال وعلى اجتناب الحرام كل الحرص . وليس الورع خاصاً بالأكل فقط ، بل هو عام في جميع الأمور .

“Ketahuilah bahwa makanan halal bisa menyinari hati dan melunakkannya, mempertebal rasa takut kepada Allah menjadikan khusyuk, menggiatkan anggota tubuh untuk beraktivitas ibadah dan ketaatan, menzuhudkan dunia dan menjadikan suka akhirat, yang mana kesemuanya ini adalah sebab diterimanya amal baik dan dikabulkannya doa. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW kepada Sa’ad bin Abi waqqash “Perbaikilah makananmu, niscaya doamu dikabulkan”.

Adapun dampak dari makan makanan haram dan syubhat, maka yang mengkonsumsi akan mendapatkan hal-hal yang sebaliknya. Yakni keras dan matinya hati, memperberat jasmani untuk melaksanakan ketaatan, membuat senang atas dunia, yang mana kesemuanya ini adalah sebab tidak diterimanya amal baik dan ditolaknya doa sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW”. (Nashaih Al-Diniyyah, halaman 326)

Demikian penjelasan terkait hukum karmin dalam Islam. Semoga keterangan ini memberikan manfaat bagi semua.

BINCANG SYARIAH