Tidak mau merapatkan shaf
Orang-orang yang membooking tempat tersebut, lebih-lebih ini kita saksikan di masjidil haram, jika mereka melihat shaf di depan atau di samping mereka ada celah, mereka tidak mau bergeser untuk merapatkannya. Hal ini karena mereka tidak mau kehilangan tempat yang telah dia “kuasai” tersebut. Mereka juga tidak mau merapatkan shaf, bahkan mereka meminta orang di sebelahnya untuk merapat, agar dia tidak bergeser dari tempatnya. Perbuatan semacam ini bertentangan dengan dalil-dalil syariat yang menuntunkan untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Adapun orang yang sudah berada di masjid, lalu dia menempatkan tongkat atau sajadah di shaf bagian depan, kemudian dia shalat di tempat lain agar bisa bersandar ke tiang (sehingga bisa shalat lebih lama) atau untuk mengulang hapalan Al-Qur’an, atau karena yang lainnya, maka hal ini diperbolehkan. Namun dengan syarat dia tidak melangkahi pundak-pundak jamaah lain ketika kembali lagi ke shaf depan tersebut dan tidak mengganggu jamaah lain. Meskipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut, ketika dia mendapatkan tempat yang masih longgar (sehingga tidak perlu melangkahi pundak jamaah lainnya, pent.).” (Lihat Al-Fataawa As-Sa’diyyah, hal. 186)
Jika sudah hadir ke masjid, namun harus keluar sebentar karena batal wudhu atau keperluan lainnya
Siapa saja yang sudah hadir ke masjid dengan niat menunggu waktu shalat jamaah ditegakkan, kemudian ada keperluan sehingga dia harus keluar (misalnya, karena batal wudhu), maka tidak masalah jika dia ingin meletakkan tongkat, sajadah, atau penanda lainnya, dengan maksud agar orang lain tidak menempati tempat tersebut sampai dia kembali dari keperluannya tersebut. Ketika dia kembali dari keperluannya, dia lebih berhak atas tempat tersebut. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
“Siapa saja di antara kalian yang berdiri dari tempat duduknya kemudian kembali lagi, maka dia lebih berhak atas tempat tersebut.” (HR. Muslim no. 2179 dan Abu Dawud no. 4853)
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
قال أصحابنا هذا الحديث فيمن جلس في موضع من المسجد أو غيره لصلاة مثلا ثم فارقه ليعود بأن فارقه ليتوضأ أو يقضي شغلا يسيرا ثم يعود لم يبطل اختصاصه بل إذا رجع فهو أحق به في تلك الصلاة فإن كان قد قعد فيه غيره فله أن يقيمه وعلى القاعد أن يفارقه لهذا الحديث هذا هو الصحيح عند أصحابنا وأنه يجب على من قعد فيه مفارقته اذا رجع الأول وقال بعض العلماء هذا مستحب ولايجب وهو مذهب مالك والصواب الأول
“Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, “Ini berkaitan dengan hak seseorang yang sudah duduk di masjid atau tempat lainnya, untuk shalat misalnya. Kemudian dia pergi (sebentar) untuk kembali lagi ke tempat tersebut, seperti karena dia ingin berwudhu atau karena keperluan ringan lainnya, dengan maksud kembali lagi ke tempat tersebut. Kepergiannya itu tidaklah menghilangkan haknya atas tempat tersebut. Bahkan, ketika dia kembali lagi, dia lebih berhak atas tempat tersebut. Jika ada orang lain yang menempatinya, orang yang pertama tersebut boleh untuk meminta orang lain yang menduduki tempatnya untuk berdiri (pindah). Orang lain yang menduduki tempat tersebut hendaknya pindah tempat. Inilah pendapat yang shahih menurut madzhab kami (madzhab Syafi’i), bahwa orang yang datang belakangan tersebut wajib (harus) pindah tempat ketika orang yang pertama datang kembali. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang kedua tersebut hanya dianjurkan pindah, tidak wajib pindah. Inilah madzhab Imam Malik. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama (bahwa orang kedua yang datang belakangan tersebut harus berpindah tempat).”
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah juga mengatakan,
قال أصحابنا ولافرق بين أن يقوم منه ويترك فيه سجادة ونحوها أم لا
“Tidak ada perbedaan apakah orang tersebut pergi sebentar dan meninggalkan sajadah atau semacamnya (sebagai tanda) ataukah tidak. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 412)
Orang yang sudah hadir di masjid dan sudah menempati tempat tertentu di masjid, tidak boleh diminta berpindah tanpa alasan yang dibenarkan
Siapa saja yang sudah hadir di masjid dan menempati tempat (posisi) tertentu di masjid, maka dia lebih berhak atas tempat tersebut. Tidak boleh atas orang lain untuk mengusir atau memintanya pindah tempat tanpa alasan, baik orang yang sudah hadir tersebut adalah orang yang mulia atau orang biasa, baik anak kecil atau orang dewasa, tidak boleh diminta pindah tanpa alasan. Kecuali jika keberadaan dia di situ mengganggu orang lain, misalnya dia merokok, atau memiliki bau tidak enak karena makan bawang, maka boleh untuk dikeluarkan dari masjid, sebagaimana telah berlalu pembahasan tentang masalah ini [1].
Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ، ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا
“Janganlah kamu menyuruh saudaramu berdiri dari tempat duduknya, lalu kamu duduk di tempatnya, tetapi katakanlah kepadanya, “Marilah kita lapangkan tempat duduk kita!” (HR. Bukhari no. 5914 dan Muslim no. 2177)
Hadits tersebut khusus berkaitan dengan pertemuan (majelis) yang mubah, lebih-lebih di masjid.
Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Semua manusia itu sama dalam perkara yang mubah. Siapa saja yang lebih dahulu mendapatkan sesuatu, maka dia yang lebih berhak. Siapa saja yang memiliki hak atas sesuatu, kemudian hak tersebut diambil oleh orang lain tanpa alasan, maka orang lain tersebut telah merampasnya. Sedangkan hukum merampas itu haram.” (Lihat Bahjatun Nufuus, 4: 194 karya Ibnu Abi Jamrah)
Hendaknya orang-orang yang sudah duduk di masjid atau yang lainnya melapangkan tempat dan merapatkan diri satu sama lain sehingga memungkinkan ada celah yang bisa ditempati oleh orang lain yang baru datang. Lebih-lebih jika kita berada di masjidil haram atau di masjid besar lainnya. Hal ini tentunya dengan syarat agar shaf tidak menjadi terlalu rapat sehingga mengganggu kenyamanan dalam ibadah, baik itu ibadah shalat atau ibadah lainnya. Karena tentu saja, orang yang lebih dulu datang ke masjid itu lebih berhak dari orang yang datang belakangan. [2]
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id