Baru-baru ini viral di lini masa, aksi sekelompok orang yang membuang minuman dalam kemasan yang dipercaya sebagai produk dari Prancis dengan alasan boikot. Boikot terhadap produk Prancis sendiri ramai digaungkan oleh mayoritas muslimin di seluruh dunia menyusul sikap Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang mendukung publikasi karikatur Nabi Muhammad SAW pada Majalah Charlie Hebdo.
Aksi sekelompok orang yang membuang minuman tersebut menuai berbagai tanggapan dari netizen. Mayoritas netizen menyayangkan tindakan tersebut karena menurut mereka hal itu merupakan tindakan mubadzir. Dalam tulisan ini akan kita kaji bagaimana sesungguhnya syariat menilai tindakan membuang barang dengan alasan boikot. Untuk menjawab persoalan ini, terlebih dulu akan kita kaji apa hukum boikot dalam Islam, agar persoalan bisa terurai dengan baik.
Secara singkat, pengertian boikot adalah suatu wujud protes sekelompok orang terhadap seseorang atau organisasi tertentu dengan cara menolak untuk menggunakan, membeli, atau berurusan dengan pihak yang diboikot. Umumnya boikot dilakukan secara terorganisir dan tidak melibatkan tindak kekerasan dengan tujuan untuk memaksa pihak yang diboikot mengubah suatu kebijakan. Boikot juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan persekongkolan sekelompok orang untuk menolak bekerjasama, menggunakan, atau berurusan dengan seseorang, produk, atau organisasi tertentu. Dalam persoalan ini, tindakan Presiden Prancis sebagaimana tergambarkan diatas, memicu aksi dari kaum muslimin di seluruh dunia untuk melakukan boikot atau berhenti menggunakan produk dari Prancis sebagai bentuk protes mereka.
Apakah tindakan boikot semacam ini mendapatkan legalitas syariat Islam? Para ulama berpendapat bahwa hukum asal boikot adalah mubah. Ulama berpendapat demikian, karena pada dasarnya, hukum bermuamalah dengan orang kafir ialah mubah atau boleh-boleh saja. Sejarah mencatat bahwa meskipun diserang baik secara fisik maupun batin oleh orang kafir, namun hal tersebut tidak membuat Nabi Muhammad enggan bermuamalah dengan mereka. Sebuah riwayat dari Ibunda Kaum Muslimin, Aisyah Ra. bahkan menyebutkan bahwa ketika Nabi wafat, baju besi beliau tergadai di tempat orang Yahudi untuk membeli gandum sebanyak 30 sho’ (Shahih Bukhari, juz III, no. 1068).
Dengan pertimbangan semacam itu, berarti kita tidak memiliki pijakan dalil yang kuat tentang tindakan boikot produk kafir karena Nabi Muhammad sendiri pernah bermuamalah dengan orang kafir. Ketiadaan dalil ini kemudian membuat hukum boikot secara spesifik tidak sunnah, tidak pula wajib, namun mubah (boleh) saja. Dalam ilmu ushul fikih, sebuah hukum mubah, baru akan naik pada derajat sunnah atau bahkan wajib, hanya jika dilekati dengan pertimbangan lain. Contohnya ialah boikot dalam rangka menghormati kemuliaan Nabi.
Boikot dengan pertimbangan semacam inilah yang kemudian diserukan oleh MUI lewat juru bicaranya, yakni Dr. Asrorun Niam Sholeh. Beliau menegaskan bahwa wajib hukumnya menghormati Rasululah. Jika dengan boikot ini bisa menyadarkan Emmanuel Macron agar menghormati Nabi, maka hukum boikot menjadi wajib. Sebagaimana kaidah fikih yang menyatakan:
وَسَائِلُ الأُمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ
“Hukum perantara sama dengan hukum tujuan. Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya.”
Hukum maqashid yang dimaksud ialah hukum wajib menghormati Nabi. Perantaranya ialah boikot. Jika dengan perantara boikot akan bisa menyadarkan Macron untuk menghormati Nabi, maka hukum boikot bisa menjadi wajib.
Beranjak kepada persoalan berikutnya. Jika kita bisa menyatakan bahwa boikot wajib dengan alasan diatas, maka berarti kita wajib stop membeli atau mengkonsumsi produk yang berasal atau diproduksi oleh Prancis. Lantas bagaimana dengan tindakan sebagian saudara kita yang membuang produk tersebut yang tentu saja sudah dia beli sebelumnya. Apakah hal tersebut juga wajib? Diperbolehkan? Atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu memahami sebuah kaidah fikih yang berbunyi:
اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
“Kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi kemudharatan yang lebih parah”
Satu sisi kita tahu bahwa ada kemudharatan pada penggunaan produk yang kita boikot, tapi di sisi lain, ketika kita membuang produk tersebut, maka ada kemudharatan baru yang mengancam kita, yaitu tabdzir atau tindakan menyia-nyiakan barang, terlebih apabila barang tersebut ialah makanan. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra [17]: 26-27,
وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
wa āti żal-qurbā ḥaqqahụ wal-miskīna wabnas-sabīli wa lā tubażżir tabżīrā
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
Larangan menyia-nyiakan harta ini pun ditegaskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis,
إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
“Sesungguhnya Allah membeci kalian karena 3 hal: “katanya-katanya” (berita dusta), menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.” (HR. Bukhari 1477 & Muslim 4578).
Dengan demikian, meskipun diniati sebagai ibadah, namun boikot dengan cara membuang produk orang kafir yang sudah kita beli, hukumnya adalah haram karena bisa dianggap sebagai tindakan menyia-nyiakan harta.
Pilihan yang lebih bijaksana dalam boikot sebenarnya ialah kita berhenti membeli produk-produk orang kafir, dan untuk produk yang sudah terlanjur kita miliki, sebaiknya kita konsumsi dengan baik agar jangan sampai tersia-siakan.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.