Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
Banyak orang yang bingung mengenai hukum memberi salam kepada ahli maksiat yang terang-terangan bermaksiat, ketika ia sedang melakukan maksiatnya itu. Contohnya memberi salam kepada orang yang sedang merokok. Bagaimana kaidah yang menjelaskan masalah ini dan bagaimana contohnya? Mohoh berikan kami fatwa, semoga Allah Ta’ala memberi Anda ganjaran pahala
Jawaban:
Pertama, kefasikan tidak membuat seseorang keluar dari keimanan. Dan tidak boleh memboikot (al-hajr) seorang mukmin lebih dari tiga hari [1], kecuali jika dengan diboikot itu menjadi obat baginya. Maksudnya, jika ada yang melihat bahwasanya ahli maksiat tersebut sedang diboikot, lalu orang-orang pun ikut memboikotnya. Kemudian si ahli maksiat ini pun menjadi jera dan memperbaiki diri. Ini (adalah bentuk) pemboikotan yang terpuji.
Pemboikotan itu terkadang dianjurkan dan terkadang wajib hukumnya. Tergantung bagaimana pengaruh dari pemboikotan tersebut. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memboikot Ka’ab bin Malik dan sahabat-sahabatnya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang-orang untuk memboikot mereka karena mereka tidak ikut perang Tabuk (tanpa udzur) [2]. Namun pertanyaannya, apakah pemboikotan yang Nabi lakukan ini bermanfaat? Jawabannya, ya, bermanfaat. Sehingga membuat Ka’ab bin Malik dan sahabat-sahabatnya semakin bertambah kepasrahan dirinya kepada Allah Ta’ala dan bertambah kuat imannya.
Intinya, saudaraku, pemboikotan itu jika ada maslahat bagi orang fasik yang diboikot, maka silakan diboikot. Namun jika tidak ada maslahatnya, maka jangan diboikot. Misalnya, Anda melewati orang yang sedang merokok, dan merokok itu memang perbuatan maksiat dan perbuatan haram. Jika ia terus-menerus melakukannya, (hal itu akan) membuat derajat orang tersebut turun dari derajat ‘adalah [3] ke derajat fasik. Jika Anda melewati orang seperti ini, ucapkan salam kepadanya. Jika Anda memandang bahwa memboikot orang seperti ini tidak akan memberi manfaat, maka ucapkan salam saja. Terkadang ketika Anda mengucapkan salam kepadanya, Anda bisa berhenti untuk berbicara dengannya. Anda bisa menyampaikan bahwa merokok itu haram dan bahwasanya seorang mukmin tidak layak merokok. Terkadang, ia akan menuruti perkataanmu, lalu mematikan rokoknya dan tidak mengulanginya lagi.
Namun, jika Anda tidak mengucapkan salam kepada mereka, terkadang mereka akan mempermasalahkannya. Mereka menjadi benci kepadamu dan akan membenci semua nasihat yang Engkau sampaikan.
Bahkan walaupun orang tersebut terus melakukan maksiatnya (tidak mau menerima nasihat), tetaplah ucapkan salam kepadanya dan tetap nasihati dia.
Sumber: Liqaa’ Babil Maftuh, 12: 165
Penulis: Yulian Purnama
Catatan kaki:[1] Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari 3 hari” (HR. Bukhari no. 6076, no. 6237; dan Muslim no. 2560 dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu ‘anhu).[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 2757, 4418, 4676, 6690); dan Muslim dalam Shahih-nya (no. 2769)[3] al ‘adalah adalah kondisi ketika seseorang dikatakan baik secara umum, orangnya disebut al ‘adil. Syarat seseorang disebut ‘adil atau memiliki ‘adalah yaitu:
- Tidak melakukan dosa besar
- Tidak terus-menerus melakukan dosa kecil
- Tidak melakukan khawarimul muru’ah, yaitu perkara yang dianggap tabu secara ‘urf
Orang yang tidak memiliki ‘adalah akan terkena beberapa konsekuensi dalam syariat, di antaranya: tidak dipercaya perkataannya, tidak diterima persaksiannya, tidak layak mengajarkan ilmu agama, dan lain-lain.
Sumber: https://muslim.or.id/69483-hukum-memulai-salam-kepada-ahli-maksiat.html