Di antara kewajiban bagi orang puasa adalah menahan dirinya dari sesuatu yang bisa membatalkan puasa, atau sesuatu yang mendekati terhadap batalnya puasa. Salah satunya adalah mencicipi makanan. Mencicipi makanan saat puasa sebenarnya bukan dengan tujuan ingin membatalkan puasa. Namun, untuk mengetahui rasa makanan agar nikmat buka bersama semakin terasa bagi keluarga. Hukum mencicipi makanan saat puasa ini tentu akan ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama 4 mazhab. Mari simak penjelasannya
Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa Menurut Ulama 4 Mazhab
Secara global, ulama 4 mazhab hampir sepakat bahwa hukumnya makruh mencicipi makanan bagi orang puasa. Hanya saja ada beberapa catatan dan sedikit ketentuan dari para ulama agar mencicipi makanan itu berhukum boleh.
Pertama, Ulama Kalangan Mazhab Syafi’iyah
Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitab karangannya, Hasiyah asy-Syarqawi menjelaskan:
وذوق طعام خوف الوصول الى حلقه أي تعاطيه لغلبة شهوته. ومحل الكراهة ان لم تكن له حاجة، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي.
Artinya, “Di antara kemakruhan puasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan menjadi penyebab sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir bisa sampai pada tenggorokan karena orang puasa sangat besar keinginannya terhadap makanan. Hukum makruh itu sebenarnya apabila tidak ada alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan. Sedangkan mencicipi makanan bagi tukang masak; baik laki-laki maupun perempuan dan orang tua yang berkepentingan mengobati anaknya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian penjelasan Imam Az-Zayyadi”. (Lihat, Hasiyah asy-Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab, juz 1, hlm 881)
Kedua, Ulama Kalangan Mazhab Hanafiyah
Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fathul Qadir menjelaskan:
(ومن ذاق شيئا بفمه لم يفطر) لعدم الفطر صورة ومعنى (ويكره له ذلك) لما فيه من تعريضِ الصوم على الفساد. قيده الحلواني بما إذا كان في الفرض، أما في النفل فلا لأنه يباح الفطر فيه بعذر وبلا عذر. وقيل : لا بأس في الفرض للمرأة إذا كان زوجها سيئ الخلق أن تذوق المرقة بلسانها
Artinya, “Barang siapa yang mencicipi sesuatu dengan mulutnya maka puasanya tidak batal. Karena mencicipi makanan tidak dianggap membatalkan secara tersurat dan tersirat. Namun tindakan demikian hukumnya makruh. Karena bisa menjadi penyebab puasanya batal. Kemakruhan tersebut menurut Imam Al-Halwani hanya berlaku untuk puasa fardhu. Sedangkan mencicipi makanan ketika puasa sunnah hukumnya tidak makruh, karena dalam puasa sunnah diperbolehkan membatalkan puasa sebab adanya udzur dan tidak udzur. Menurut suatu pendapat: tidak masalah (tidak makruh) dalam puasa fardhu bagi wanita yang suaminya buruk etika untuk mencicipi makanan dengan lisannya”. (Lihat, Fathul Qadir lis Syaukani, juz 4, hlm 361)
Ketiga, Ulama Kalangan Mazhab Malikiyah
Syekh Abdurrahman al-Jazairi dalam kitabnya, al-Fiqhu ala Mazahibi al-Arba’ah menjelaskan:
المالكية قالوا : يكره للصائم أن يذوق الطعام ولو كان صانعا له وإذا ذاقه وجب عليه أن يمجه لئلا يصل إلى حلقه منه شيء فإن وصل شيء إلى حلقه غلبة فعليه القضاء في الفرض على ما تقدم وإن تعمد إيصاله إلى جوفه فعليه القضاء والكفارة في رمضان
Artinya, “Dimakruhkan bagi orang puasa mencicipi makanan, meski yang membuat makanan. Dan jika sudah mencicipi maka wajib baginya untuk meludahkan agar tidak sampai pada tenggorokan. Jika ada sesuatu yang sampai pada tenggorokannya, maka wajib baginya mengganti puasa fardhunya sebagaimana penjelasan yang telah lewat”. (Lihat, al-Fiqhu ala Mazahibi al-Arba’ah, juz 1, hlm 294)
Keempat, Ulama Kalangan Mazhab Hanabilah
Syekh Musthafa Asy-Suyuthi Al-Rahibani dalam kitabnya, Mathalibu uli an-Nuha menjelaskan:
(و) يكره له (ذوق طعام) لأنه لا يأمن أن يصل إلى حلقه فيفطره قال أحمد : أحب أن يجتنب ذوق الطعام فإن فعل لا بأس وأطلقوا (لغير حاجة) إلى ذوقه أما للحاجة فلا بأس به.
Artinya, “Makruh bagi orang puasa mencicipi kakanan. Karena tidak bisa dipastikan aman sampai pada tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: saya senang menjauhi dari mencicipi makanan, dan jika mencicipi maka tidak masalah. Hukum makruh tersebut apabila tidak adanya hajat untuk mencicipinya. Sedangkan jika ada hajat maka tidak makruh mencicipinya”. (Lihat, Mathalibu uli an-Nuha, juz 2, hlm 203)