Assalamu’alaikum wr.wb. Saya seorang pemuda tinggal di Jakarta. Pekerjaan saya sering dilakukan di luar kantor, seperti di mall dan kafe bersama teman-teman. Selama Senin sampai Kamis tidak ada masalah. Muncul masalah ketika hari Jum’at. Ketika itu kami berempat. Kalau Jum’atan semua, maka agak ribet karena harus mengemasi barang, sementara usai Jum’atan pekerjaan harus dilanjutkan. Belum tentu kami dapat tempat duduk yang strategis seperti sediakala dimana kami berempat nyaman bekerja.
Maka, dibagi dua. Dua orang Jum’atan dua orang lainnya menjaga barang, dan menjalankan shalat dzuhur seperti biasa. Nah, bagaimana seharusnya menurut syariat dengan apa yang kami alami? Terimakasih atas bimbingannya.
Hernando | Jakarta
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Jawab:
Suatu kesyukuran bagi Anda yang selalu mempertimbangkan aspek syariat dalam menyikapi fenomena kehidupan dalam rangka melaksanakan yang paling tepat untuk mendapat ridha Allah SWT. Kerja adalah bagian dari kewajiban mensyukuri potensi yang Allah berikan serta bagian dari upaya menjaga kehormatan dari meminta-meminta.
Alhamdulillah- Anda jalani dengan tetap konsisten menjaga ibadah utama yaitu shalat fardhu. Begitu pula Anda meninggalkan transaksi jual beli sebagai bentuk pengamalan dari QS. Al-Jumu’ah ayat 9.
Dalam kondisi normal, shalat Jum’at wajib bagi laki-laki dewasa. Namun kewajiban tersebut gugur dengan beberapa alasan. Wahbah al-Zuhailiy menyebutkan ada enam alasan di mana seseorang yang mendapatkan keringanan untuk tidak shalat Jum’at, tetapi cukup dengan melaksanakan shalat dzuhur.(al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, II/1188)
Enam hal tersebut adalah (1) Sakit yang terasa berat untuk melaksanakan shalat Jum’at. (2) Hujan, lumpur, dingin yang menggigit dan gelap yang pekat. (3) Sedang menahan buang air kecil maupun air besar. (4) Mulut berbau akibat mengonsumsi makanan yang berbau menyengat seperti bawang mentah, petai, dan sebagainya. (5) Terpenjara atau semakna hingga tidak dapat keluar menuju tempat shalat Jum’at. Dan ke (6) adalah adanya kekhawatiran bahaya yang menimpa dirinya, hartanya, atau kehormatannya.
Tampak bahwa alasan yang relevan dengan kondisi Anda adalah alasan terakhir, di mana Anda mengalami kekhawatiran gangguan terhadap harta dagangan yang Anda miliki, jika semua tim meninggalkan tempat. Sebagai dasar atas alasan ini adalah hadits Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi bersabda:
مَنْ سَمِعَ المُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْه مِنْ اتبَاعِه عُذْرٌ فَلَا صَلَاةَ لَهُ قالوا: و ما العُذْر؟ قال : خَوْفٌ أو مَرَضٌ
“Barang siapa mendengar seruan tukang adzan kemudian tidak ada udzur yang menghalangi untuk mengikuti seruan itu, maka tiada shalat baginya. Mereka bertanya: ”Apa udzur itu?” Nabi menjjawab:” Takut atau sakit” (HR. al-Hakim)
Atas dasar ini, ketidakhadiran Anda dalam shalat Jum’at dapat dibenarkan, apalagi dilakukan dengan cara bergantian.
Tetapi, sebagai Muslim yang merindukan kesempurnaan ibadah pada penghulu hari (sayyidul ayyam), perlu diniatkan bahwa Jum’at siang itu untuk ibadah hingga tidak terkendala dengan udzur menunggu barang dagangan. Wallahu a’lam.
Ustad Abdul Kholiq, LC, MA, Anggota Majelis Syariah Hidayatullah