Hukum Menolak Tamu dalam Islam

Hukum Menolak Tamu dalam Islam

Bagaimana hukum menolak tamu dalam Islam? Manusia selain makhluk yang berpikir logis serta rasional juga merupakan makhluk yang beretika dan bermoral, hal inilah yang membedakannya dengan makhluk yang lain.

Etika Bertamu dalam Islam

Etika menurut sementara para pakar adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya dinilai dari aspek benar atau salahnya, melainkan juga dinilai dari aspek manfaat atau kebaikan dari keseluruhan tingkah laku manusia.

tanpa etika dan moral, mungkin kita dapat berkata bahwa manusia akan lebih kejam dari pada binatang, karena pengetahuan memang harus diimbangi dengan etika atau pun moral.

Atas alasan inilah seorang filsuf kenamaan berkebangsaan Prusia, Immanuel Kant (1724-1802) mengatakan: Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia. Perkataan ini merupakan kata mutiara beliau yang ditulis di batu nisan pemakamannya.

Ajaran Islam juga selaras mengenai urgensinya moral ini, bahkan moral merupakan refleksi dari ajaran Islam itu sendiri. Bisa kita lihat hal ini pada beberapa hadis, salah satunya sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ . رواه البيهقى

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. (HR. Al-Baihaqi)

Hadis di atas ini bisa dibuktikan kebenarannya, karena pada ajaran Islam ada beraneka etika, mulai etika terhadap allah Swt, etika terhadap sesama manusia, sampai etika terhadap lingkungan. Ajaran islam sifatnya menyeluruh (Syumuliy) terhadap segala realitas.

Demi menjungjung tinggi etika ini, masyarakat pedesaan mempunyai tradisi silaturrahmi, meski hanya berkeluh kesah tentang peristiwa yang dialaminya. Mereka tak lupa untuk selalu senantiasa mempererat persaudaraan, kondisi bahagia dan sedih mereka merasakannya bersama.

Namun perlu diperhatikan, meski etika sangat dijunjung tinggi dalam ajaran islam tetap saja mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilewati secara serampangan, sebab masing-masing kita mempunyai etika.

Faktanya, sering kali seorang tamu datang tanpa memperhatikan kondisi tuan rumah, meski sedang sibuk tetap saja tak diperhatikan dan melanjutkan untuk bertamu. Bahkan seorang tamu kadang menginap selama satu minggu, seolah tak ada rasa sungkan.

Tentu hal ini tidaklah baik mengingat tuan rumah belum tentu mempunyai kecukupan makanan untuk dijadikan sebagai hidangan, tuan rumah juga ingin menikmati waktunya bersama keluarga.

Oleh karena itu, Islam melarang seseorang untuk bertamu lebih dari tiga hari, karena konteks tersebut bisa menyebabkan ketidaknyamanan pada tuan rumah. Kecuali sudah mendapat izin dari tuan rumah atau ada indikasi yang enak, maka silahkan saja menginap selama satu minggu. Larangan ini bisa dijumpai dalam hadis nabi riwayat Abu Hurairah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَدِينِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، جَائِزَتُهُ ثَلَاثٌ، فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُخْرِجَهُ.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Wahb bin baqiyyah, memberi informasi pada kami Khalid, dari ‘Abdur Rahman bin Ishaq al-Madini, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abu Hurairah berkata: Berkata Rasulullah Saw: “Barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, menjamunya selama tiga hari. Menjamu setelah tiga hari dihukumi sebagai sedekah, tidak halal bagi tamu tinggal (bermalam) hingga (tuan rumah) mengeluarkannya.”

Ada lagi tidak jauh beda dengan hadis ini, yaitu hadis sebagai berikut:

عن أبى موسى الاشعريّ رضي الله عمه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلم: الاستئذانُ ثلاثٌ، فان أذن لك و الاّ فارجع

Artinya: Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!” (Hadits shahih. HR. Bukhari, no. 5891 dan Muslim, no. 2153).

Secara umum, kedua kedua hadis ini menegaskan dua hal: pertama, kewajiban untuk memuliakan tamu bagi tuan rumah. Kedua, kebolehan untuk mengusir seorang tamu tatkala melebihi waktu tiga hari ataupun menolaknya karena ada kesibukan dan faktor lain-lain.

Selanjutnya ada kisah menarik yang menceritakan tentang tamu rasulullah yang membuat beliau jengkel lantaran terlalu lama bertamu. Kisah berikut direkam dalam al-Qur’an Surah Al-Ahzab, ayat 53. Berikut ini jelasnya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ اِلٰى طَعَامٍ غَيْرَ نٰظِرِيْنَ اِنٰىهُ وَلٰكِنْ اِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَاِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلَا مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْ ۖوَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. 

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. 

(Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.

Sebab diturunkannya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Tafsir Ibnu Katsir dari Anas bin Malik adalah berkenaan dengan peristiwa pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti jahsy, beliau mengundang sahabatnya makan-makan. Setelah selesai makan, mereka pun duduk berbincang-bincang, sehingga rasulullah siap akan berdiri, akan tetapi mereka tidak juga berdiri.

Rasulullah berdiri diikuti oleh sebagian yang lain, sementara tiga orang di antara mereka masih duduk bercakap-cakap. Lalu nabi berkehendak untuk masuk (kamar) sedangkan orang-orang itu masih tetap duduk, lalu mereka pun berdiri dan pergi.

Maka aku (Anas) mengabarkan kepada Nabi bahwa mereka telah pergi, lantas datanglah Nabi sampai beliau masuk kembali. Aku (Anas) pun masuk, dan Rasulullah memasang hijab antara aku (Anas) dan beliau.

Hukum Menolak Tamu dalam Islam

Sejauh keterangan tadi, hukumnya adalah diperbolehkan bagi tuan rumah untuk mengusir sang tamu ataupun menolaknya untuk berkunjung. Namun perlu dijadikan sebagai catatan, bahwa kebolehan ini jangan dijadikan alasan bagi tuan rumah untuk mengusir sang tamu secara kasar, tetap harus mengindahkan etika, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah yang begitu pemalu untuk mengusirnya secara langsung dan tegas.

Konkritnya, untuk mengindahkan etika ini ada beragam cara, bisa dengan memberikan alasan bahwa dirinya sedang tidak enak badan, lagi mau bepergian, bisa juga dengan menyindirnya dengan sedikit humor, dan lain sebagainya.

Sekian penjelasan hukum menolak tamu dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH