Hukum Pembuatan Patung Manusia dan Tugu Peringatan menurut Ulama

Hukum Pembuatan Patung Manusia dan Tugu Peringatan menurut Ulama

ISLAM mencegah umatnya melakukan tindakan dan praktik yang memiliki unsur syirik (mempersekutukan Allah Swt) dan menyerupai praktik jahiliyah. Islam juga melarang tindakan membangun, mengukir atau memahat segala bentuk patung berbentuk manusia atau hewan untuk tujuan ibadah, peringatan atau sebagainya.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah ﷺ yang mengharamkan hal tersebut, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah RA, beliau bersabda, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ

Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang-orang yang suka menggambar.” (HR: Bukhari, 5950).

Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ

“Orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, jika konstruksi (bangunan) tanda peringatan hanya berisi ukiran nama dan bentuk selain manusia dan hewan, hal itu diperbolehkan selama tidak ada pemborosan dan tindakan yang dapat mempengaruhi iman seperti unsur-unsur ibadah dan praktik lain yang bertentangan dengan syariat.

Sebelum ini, keputusan Dewan Muzakarah ke-86 Komite Fatwa Dewan Nasional untuk Urusan Agama Islam Malaysia yang diselenggarakan pada tanggal 21 – 23 April 2009, yang membahas Undang-Undang tentang Pembangunan Monumen Peringatan untuk Angkatan Bersenjata memutuskan, bahwa hukum mengunjungi taman peringatan (memorial) diperbolehkan asalkan tidak ada bentuk patung yang menyerupai manusia atau hewan.

Selain itu, tidak boleh ada unsur ibadah, pemujaan dan syirik, dan praktik lain yang bertentangan dengan syara’. Jika terdapat unsur seperti itu, maka umat Islam dilarang mengunjunginya berdasarkan keputusan Majelis Muzakarah Panitia Fatwa Nasional ke-86.

Imam Nawawi berkata:

قالَ أصْحابُنا وغَيْرُهُمْ مِنَ العُلَماءِ تَصْوِيرُ صُورَةِ الحَيَوانِ حَرامٌ شَدِيدُ التَّحْرِيمِ وهُوَ مِنَ الكَبائِرِ لِأنَّهُ مُتَوَعَّدٌ عَلَيْهِ بِهَذا الوَعِيدِ الشَّدِيدِ المَذْكُورِ فِي الأحادِيثِ

“Ulama dari madzhab kami (Madzhab Syafi’i) dan selain mereka mengatakan bahwa menggambar makhluk bernyawa sangat diharamkan dan termasuk dosa besar, karena pelakunya diberi ancaman yang tegas dalam banyak hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 14/81).

Syeikh Yusuf Al-Qaradhawy dalam buku “Pasang Surut Gerakan Islam, (Media Dakwah, 1982) membagi hukum patung, gambar dan membuatnya ke dalam sembilan kategori;

Pertama, untuk pembuat patung tiga dimensi (mujassim), maka ia lebih berdosa. Begitu juga semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Kedua, tingkatan di bawahnya lagi dalam segi dosa adalah orang yang membuat patung bukan untuk disembah akan tetapi dimaksudkan untuk menyerupai ciptaan Allah yakni ia mengaku bahwa ia berkreasi dan mencipta sebagaimana Allah menciptakan sesuatu. Ia dianggap kufur. Kelompok kedua ini sangat tergantung dari niat pembuatnya itu sendiri.

Ketiga, tingkatan di bawahnya lagi adalah membuat patung bukan untuk disembah tetapi untuk diagungkan. Seperti patung raja, presiden, pemimpin, tokoh, dan lainnya dengan tujuan diabadikan dan biasanya diletakkan di alun-alun, pusat kota, dan lainnya. Sama saja bentuk patungnya sempurna atau separuh.

Keempat, tingkatan dosa di bawahnya lagi adalah patung yang tidak bertujuan untuk disucikan juga tidak untuk dimuliakan. Ulama sepakat atas keharamannya kecuali dua yaitu.

1). Yang tidak terhina seperti mainan anak-anak,

2). Sesuatu yang dimakan seperti patung manisan.

Kelima, tingkatan dosa di bawahnya lagi adalah gambar makhluk bernyawa (bukan tiga dimensi) yakni lukisan dari figur yangdiagungkan seperti lukisan hakim, pemimpin, dan lainnya.

Khususnya apabila diletakkan di suatu tempat atau digantung di dinding. Keharaman itu akan lebih besar apabila lukisan kalangan dzalim dan fasiq karena mengagungkan mereka sama dengan merusak Islam.

Keenam, tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar (bukan tiga dimensi) makhluk bernyawa yang tidak dimuliakan akan tetapi dianggap termasuk memamerkan kemewahan seperti lukisan untuk menutupi dinding. Ini hukumnya makruh saja.

Ketujuh, adapun gambar bukan makhluk bernyawa seperti pohon, laut, perahu, gunung dan pemandangan alam lainnya, maka tidak ada dosa bagi orang yang melukisnya atau memilikinya selagi tidak memalingkannya dari ketaatan atau tidak menyebabkan pamer kemewahan, maka kalau begini hukumnya makruh.

Delapan, fotografi (shuwar al-syamsiyah) maka hukum asalnya adalah boleh selagi fotonya tidak ada unsur keharaman di dalamnya. Contoh yang haram seperti penuhanan yang bersifat agama, atau pengagungan duniawi. Terutama apabila yang diagungkan itu adalah orang kafir dan fasiq (pelaku dosa).

Sembilan, patung dan gambar yang diharamkan apabila dihinakan maka statusnya berpindah dari haram menjadi halal. Seperti gambar yang ada di lantai (jadi keset, tikar, atau keramik lantai) yang terinjak kaki atau sandal.

Para ulama memberi 5 persyaratan tentang keharaman gambar / patung :

  1. Berbentuk manusia atau hewan
  2. Berbentuk sempurna, tidak dibikin pengurangan anggota tubuh dengan bentuk yang menghalangi untuk hidup. Seperti terpotong kepalanya, terpotong sebagian kepalanya, perutnya, dadanya, dilubangi perutnya, memisah anggota-anggota tubuh menjadi dua bagian.
  3. Gambar/gambarnya terletak pada tempat yang diagungkan, bukan pada tempat yang direndahkan dengan terinjak atau terhinakan.
  4. Adanya bayangan bagi gambar/patung tersebut yang terlihat secara jelas. (Yang dimaksud adalah berbentuk 3 dimensi)
  5. Bukan diperuntukkan bagi anak perempuan.

Jika salah satu syarat dari 5 (lima) tidak ada maka termasuk hal yang  diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Namun meninggalkan untuk hal yang diperselisihkan itu lebih wara’ dan lebih hati-hati.

Jika terpenuhi kelima syarat tersebut maka wajib untuk ditinggalkan dan diingkari dengan pelarangan / pencegahan. (Majmû Fatâwâ wa Rosâil lil Imam as-Sayyid Alwiy al-Malikiy al-Hasaniy, al-maulûd 1328 H wal-mutawaffâ 1391 H. Halaman 213-214).*

HIDAYATULLAH