Hari Raya Idul Fitri tahun ini menyisakan beberapa problem krusial. Ada Andi Pangerang yang memicu naiknya tensi ketegangan setelah melontarkan pernyataan warga Muhammadiyah halal darahnya karena menentukan tanggal hari raya berbeda dengan keputusan pemerintah.
Disusul kehebohan pernyataan Hafzan El Hadi yang menyebut Muhammadiyah sama dengan Syi’ah. Sebelumnya, ia juga menuding Ormas Muhammadiyah sebagai pemecah belah.
Ada pula kejadian di Pondok Pesantren al Zaitun yang menggelar shalat Idul Fitri tahun ini dengan mencampur Shaf laki-laki dan perempuan. Sebuah praktek shalat berjamaah yang tidak lazim sehingga menuai kontroversi.
Kali ini, saya, akan mengurai hukum (fikih) shaf shalat berjamaah yang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Hal ini penting untuk mengetahui hukum yang sebenarnya dan bagaimana etika menerapkan aturan hukum tersebut.
Nabi menjelaskan: “Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling depan. Sebaliknya, shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf paling akhir. Sementara, shaf yang paling baik bagi perempuan adalah shaf yang paling akhir, sementara shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal”. (HR. Muslim).
Secara tersurat hadits di atas memberikan gambaran teknis shalat berjamaah ketika jamaah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kelompok laki-laki harus berada di shaf terdepan dan kelompok perempuan berada di belakang laki-laki. Hal ini sebagaimana praktek yang lumrah kita lihat selama ini.
Hikmah aturan shaf seperti ini, salah satunya dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim. Tulisnya, kelompok perempuan berada di shaf belakang kelompok laki-laki dengan jarak yang agak jauh bertujuan supaya mereka tidak ikhtilath (bercampur) dengan laki-laki. Supaya laki-laki tidak melihat mereka dan kaum perempuan juga tidak melihat gerakan dan suara laki-laki yang bisa mengganggu pikiran mereka.
Untuk menjaga hal itu, Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin kemudian mewajibkan adanya satir atau kain pembatas yang menghalangi pandangan perempuan terhadap kaum laki-laki. Menurut Imam al Ghazali, bercampurnya perempuan dan laki-laki berpotensi menimbulkan kerusakan dan pelanggaran terhadap norma. Dan, masyarakat memandang hal itu sebagai kemunkaran.
Bahkan, menurut Imam al Mawardi dalam Al Jawi al Kabir (23/497), jamaah laki-laki tidak boleh bubar lebih dulu sebelum jamaah perempuan keluar dari masjid. Hal ini untuk menghindari terjadinya campur baur laki-laki dan perempuan.
Ini merupakan etika shalat berjamaah ketika jamaah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Terlepas shalat sah atau tidak ketika shaf bercampur antara laki-laki dan perempuan, apalagi dalam satu barisan, etika seperti dijelaskan di atas sejatinya dibuat untuk mendukung kesempurnaan shalat.
Lalu, bercampurnya shaf laki-laki dan perempuan apakah membatalkan shalat?
Ulama berbeda pendapat. Menurut madhab Hanafiyah, laki-laki dan perempuan sejajar dalam satu shaf dapat membatalkan shalat kaum laki-laki. Hal ini jika perempuan yang berada dalam barisan shaf yang sama berpotensi memancing syahwat laki-laki. Dalam posisi ini hanya shalat kaum laki-laki yang batal, perempuan tidak.
Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari madhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, mereka berpendapat, sejajarnya shaf laki-laki dan perempuan tidak sampai membatalkan shalat, hanya makruh.
Misalnya, jika ada seorang perempuan berada di barisan shaf laki-laki, maka tidak batal shalat laki-laki yang berada disampingnya, dibelakangnya dan didepannya. Demikian pula shalat perempuan tadi juga tidak batal.
Namun perlu dicatat, sekalipun shalat tetap sah namun bukan berarti terlepas dari hukum haram. Seperti telah dimaklumi, bercampurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram hukumnya haram. Sehingga, hal ini dapat merusak kesempurnaan shalat serta tidak memperoleh keutamaan shalat berjamaah.
Shalat bukan hanya persoalan sah atau tidak, namun etika dan kesopanan harus menjadi perhatian karena shalat berarti hendak mengahadap pencipta. Begitu naif kalau disaat mengahadap Allah pikiran kita terganggu karena tergoda syahwat terhadap lawan jenis.
Satu contoh yang bisa kita jadikan pelajaran, ketika shalat patokannya hanya cukup sah, maka seorang laki-laki boleh shalat tanpa memakai baju. Cukup memakai sarung atau celana yang penting anggota dari pusat sampai lutut tertutup. Sebagaimana maklum, aurat laki-laki hanya sebatas antara pusat dan lutut saja. Tetapi apakah hal itu sopan dan beretika?
Kesimpulannya, sekalipun shalat dalam keadaan shaf yang bercampur antara laki-laki dan perempuan menurut jumhur ulama sah, namun tetap terikat hukum haram karena berbaurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram. Disamping hal itu merupakan aktifitas menjalankan ritual keagamaan yang melanggar norma kesopanan dan kesantunan ketika mengahadap Allah.