ADALAH Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit atau populer disebut Imam Hanafi. Suatu hari belau berpapasan dengan seorang anak kecil yang tampak berjalan mengenakan sepatu kayu.
”Hati-hati, Nak, dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kau tergelincir,” sang imam menasehati.
Bocah miskin ini pun tersenyum, menyambut perhatian pendiri mazhab Hanafi ini dengan ucapan terima kasih.
”Bolehkah saya tahu namamu, Tuan?” tanya si bocah.
”Nu’man.”
”Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-imam al-a‘dham (Imam Agung) itu?”
”Bukan aku yang menyematkan gelar itu. Masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu kepadaku.”
“Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke Neraka gara-gara dia. Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”
Gara-gara nasehat bocah kecil itu, ulama yang diikuti banyak umat Islam itupun tersungkur menangis. Imam Hanafi bersyukur masih ada orang yang memberinya nasehat.
Nasehat datang dari mana saja. Dan siapa sangka, peringatan itu datang dari lidah seorang bocah.* (Dari kitab Muqodimah Hasyiah Ibnu Abidin)