Imam Abu Hanifah merupakan imam mujtahid yang masyhur. Selain diakui ketinggian ilmunya mengenai syariat, ia juga dikenal dengan mujahadahnya dalam beribadah.
Khathib al-Baghdadi menyebutkan, Abu Hanifah menyelesaikan bacaan al-Qura’an setiap malam. Tercatat ia mengkhatamkan al-Qur`an di tempat wafatnya sebanyak 70 ribu kali.
Abu Hanifah juga tak pernah lupa melakukan qiyamul-lail. Begitu khusyuknya hingga ia sering menangis tersedu-sedu. Para tetangganya pun bisa mendengar dan merasa iba.
Karena kebiasaannya dalam melakukan qiyam semalam penuh, maka ia melaksanan shalat Shubuh dengan wudhu Isya’. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/114).
Suatu saat Mis’ar bin Qidam menyaksikan Abu Hanifah di masjidnya tengah melaksanakan shalat Shubuh. Setelah itu, sang imam kemudian mengajar para penuntut ilmu sampai tiba waktu shalat Zhuhur. Berikutnya mengajar kembali hingga datang waktu Ashar. Lanjut mengajar hingga waktu Maghrib. Demikian juga setelah Maghrib, ia kembali mengajar.
Mis’ar berkata dalam hatinya, “Jika demikian kesibukan laki-laki ini, kapan ia menyibukkan diri dengan ibadah?”
Akhirnya Mis’ar menyaksikan Abu Hanifah melaksanakan shalat. Hal itu dilakukan setelah hadirin meninggalkan tempat. Ternyata ulama itu shalat hingga menjelang fajar, baru kemudian pulang ke rumah.
Saat waktu fajar tiba, Abu Hanifah sudah muncul kembali di masjid. Kegiatan selanjutnya berlangsung seperti kemarin, yakni mengajar terus hingga shalat Isya’.
Namun Mis’ar masih belum yakin dengan kebiasaan Abu Hanifah yang disaksikannya ketika itu. Dalam hatinya pun berkata, “Bisa jadi laki-laki ini sedang giat pada malam ini saja.”
Akhirnya Mis’ar kembali mengamati ibadah Abu Hanifah di malam kedua. Dan ternyata tidak ada yang berubah sebagaimana rutinitas pada hari sebelumnya.
Mis’ar masih memperhatikan aktivitas ibadah Abu Hanifah di malam ketiga. Lagi-lagi tidak berubah. Ia pun menjadi yakin bahwa memang seperti itulah rutinitas harian sang imam.
Mendapati hal luar biasa itu, akhirnya Mis’ar bertekad, “Aku akan bermulazamah kepadanya, sampai ia wafat atau aku yang wafat.”
Ibnu Abi Muadz beberapa waktu kemudian mengisahkan, “Telah sampai khabar kepadaku bahwasanya ia (Mis’ar) wafat di dalam masjid Imam Abu Hanifah, sedangkan ia dalam keadaan sujud.”
Dirahasiakan
Ada lagi kisah mengenai qiyamul-lail yang dilakukan Abu Hanifah. Suatu saat ulama ini bermakmum shalat Isya’ di belakang Ali bin Husain. Ketika itu Ali membaca Surat az-Zalzalah.
Setelah shalat, Abu Hanifah tampak duduk berpikir. Nafasnya terdengar menghela berat.
Malam itu Yazid bin al-Kumait meninggalkan lentera. Alat penerangan itu hanya menyisakan minyak amat sedikit.
Beberapa jam kemudian, Yazid kembali ke masjid sebelum shalat fajar. Ia menyaksikan Abu Hanifah sedang berdoa dalam shalatnya, “Wahai Dzat yang memberi balasan terhadap amalan sebesar biji sawi kebaikan dan yang memberi balasan terhadap amalan sebesar biji sawi dari keburukan, jauhakanlah hamba-Mu ini dari neraka…”
Kemudian Yazid mengumandangkan adzan fajar. Lentera itu pun mati.
Setelah selesai kumandang adzan, Abu Hanifah bertanya kepada Yazid, “Apakah engkau hendak mengambil lentera?”
Yazin menjawab, “Aku telah mengkumandangkan adzan.”
Abu Hanifah kemudian berpesan, “Rahasiakan apa yang telah engkau lihat.”
Setelah itu, Abu Hanifah mendirikan shalat sunnah fajar, kemudian shalat Shubuh berjamaah dengan wudhu Isya’.
Suatu saat, Abu Hanifah berjalan bersama muridnya, Imam Abu Yusuf. Lalu ada seorang laki-laki yang berseru kepada temannya, “Inilah Abu Hanifah yang tidak tidur di malam hari.”
Abu Hanifah kemudian berkata merendah, “Janganlah kalian berbicara mengenai diriku dengan apa yang tidak aku lakukan.”
Meskipun berusaha dirahasiakan, namun aktivitas qiyamul-lail Abu Hanifah itu tetaplah diketahui oleh sebagian orang. Hal ini antara lain diketahui oleh Imam Ibnu Mubarak.
Suatu saat Ibnu Mubarak kedatangan seorang lelaki dari Kufah. Ternyata lelaki itu mencela Abu Hanifah. Seketika Ibnu Mubarak mengatakan, “Celakalah engkau! Apakah engkau mencela seorang yang melaksanan shalat lima waktu dengan satu wudhu selama empat puluh tahun?”
Sufyan bin Uyainah juga pernah memberi kesaksian, “Tidak ada seorang laki-laki pun yang datang di Makkah di masa kita ini, yang shalatnya lebih banyak daripada Abu Hanifah.”
Abu Muthi’ juga menyatakan, “Ketika aku di Makkah, aku tidak melakukan thawaf di malam hari, kecuali aku dapati Imam Abu Hanifah dan Sufyan bin Uyainah melaksanakan thawaf.”
Sedangkan Kharijah bin Mus’ab menyampaikan, “Yang mengkhatamkan al-Qur`an di dalam Ka’bah ada empat imam, yakni Utsman bin Affan, Tamim ad-Dari, Said bin Jubair, dan Abu Hanifah.” (Tarikh Baghdad, 13/353-357).*