Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Ju’fi al-Bukhari atau yang akrab dikenal dengan panggilan Imam al-Bukhari.
Tokoh kelahiran Bukhara, Uzbekistan kini pada 810 M ini, tak lagi asing bagi umat Islam. Dia adalah pakar hadis yang berjuluk amir al-mu’minin fi al-hadits (pemimpin kaum mukminin dalam hadis).
Kepakarannya meriwayatkan sabda-sabda Rasulullah SAW tersebut terbukti dengan beragam karyanya di bidang ini.
Magnum opusnya yang melegenda dan menjadi rujukan utama hadis hingga sekarang adalah Shahih al-Bukhari.
Tetapi, tak banyak yang mencoba menggali sisi humanis dari al-Bukhari. Salah satunya adalah sikap zuhud dari tokoh yang wafat pada 31 Agustus 870 M itu.
Mengutip buku al-Byukhari, Imam al-Ai’immah wa Sayyid al-Fuqaha wa al-Muhadditsin yang dialihbahasakan dengan judul Biografi Imam Bukhari (810-870 M), kezuhudannya merupakan satu dari sekian faktor penting yang menopang kesuksesan beliau.
Di antara kisah kezuhudan al-Bukhari adalah bahwa dia, sengaja tidak pernah memakan lauk-pauk yang nikmat dan lezat semasa hidup meski sebenarnya dia mampu membeli aneka lauk-pauk yang lezat.
Suatu ketika, Imam al-Bukhari jatuh sakit. Untuk mengetahui penyakitnya, urinennya dibawa ke salah seorang dokter untuk diperiksa. Ini merupakan cara dokter pada zamannya, 1.200 tahun yang lalu.
Setelah masuk laboratorium dan diteliti, dokter menyimpulkan bahwa pemilik urine ini (al-Bukhari) tidak pernah menyantap lauk-pauk selama makan.
Hasil diagnosa inipun disampaikan ke Sang Imam. Dia berkata,”Aku tidak pernah memakan lauk ketika makan, cukup dengan memakan roti saja selama dua puluh tahun.”
Untuk menjaga kesehatan Sang Imam, dokter bersikukuh agar dia mau menyantap lauk. Akhirnya, Sang Imam menyantap roti dengan ‘lauk’ berupa manisan.
Contoh lain sikap zuhud Imam Bukhari, adalah kezuhudannya dalam berniaga. Dia tidak semata mengejar keuntungan yang besar akan tetapi lebih menekankan tentang aspek spiritual di balik aktivitas perdagangannya.
Suatu saat, dia menawarkan barang ke seorang pembeli pertama dengan tawaran seharga 15 ribu dinar. Namun, datang pembeli kedua menyodorkan harga yang lebih mahal yaitu sebesar 18 ribu dinar. Ternyata justru, dia memberikan barangnya ke pembeli pertama.
“Aku sudah berniat memberikan kesepakatan bisnis kepada penawar pertama. Aku tidak ingin membatalkan niatku.”