Datangnya tahun baru Cina alias Imlek di Indonesia selalu jadi momen istimewa bagi para peranakan Tionghoa. Bagaimana dengan sebagian dari kaum tersebut yang memeluk agama Islam?
Lina Liputri adalah salah satu mualaf keturunan etnik Tionghoa. Perempuan yang berpindah agama sejak 2005 itu setiap tahun mengadakan open house untuk merayakan Imlek. “Meskipun saya sudah ber-Islam, tapi saya tetap menghormati budaya Cina,” tuturnya, di kediamannya di Perumahan Magnolia, Alam Sutera, Tangerang Selatan, Senin (8/2).
Ketika Imlek, Hajjah Lina juga menyajikan makanan-makanan khas seperti kue keranjang dan berbagai macam buah-buahan. Bedanya, makanan khas Imlek tersebut hanya untuk makanan hidangan saja, bukan untuk sembahyang.
Aksesori serbamerah yang khas dengan perayaan Imlek melekat cantik di kediamannya. Hajjah Lina pun juga mengenakan busana khas Cina berwarna merah berpadu dengan warna hitam dengan hiasan payet yang tersusun rapi membentuk gambar bunga sembari rambutnya berbalut kerudung merah. Menjalin silaturahim pada perayaan Imlek, menurut dia, merupakan salah satu sarana dakwah.
Hajjah Lina mengaku keluarga besarnya biasanya akan datang ke rumahnya ketika siang hari, selepas melakukan sembahyang di klenteng. Selain keluaga besar, Hajjah Lina juga mengundang kerabat-kerabatnya seperti karyawan-karyawannya di PT El Essential. Para koleganya pun juga diundang.
Hajjah Lina juga mengundang beberapa yayasan untuk ikut menikmati hari kebahagiaan. Di antaranya adalah Yayasan Haji Karim Oey dan Yayasan Difable Raudhatul Ma’mufin.
Bagi Deasy (32), peranakan Muslim Tionghoa lainnya, perayaan Imlek tak ubahnya hari Lebaran. “Enggak ke klenteng. Ya cuma ngumpul-ngumpul aja kayak Lebaran,” tutur warga Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, tersebut.
Ia sudah memeluk Islam sejak lahir. Kedua orang tua Deasy beragama Islam. Darah Tionghoa dia dapat dari sang ayah, sedangkan ibunya berasal dari suku Jawa. “Kayaknya yang asli Tionghoa buyut. Bapak saya juga udah enggak bisa bahasa China,” ucap Deasy.
Keluarga Deasy juga mengisi Imlek dengan bagi-bagi angpau pada keponakan yang masih kecil. Bagaimanapun, ia mengaku sudah tidak memegang teguh adat istiadat Tionghoa.
Tidak banyak ada pernak-pernik di rumahnya, kecuali lampu dan lampion. Pada malam Imlek pun tidak pernah diadakan tradisi makan bersama dengan menu ikan laiknya Tionghoa asli.
Perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnik Cina ini menurut ulama dari etnik Tionghoa, Haji Ali Karim Oey, merupakan perayaan budaya dan bukan perayaan agama tertentu. Menurut dia, perayaan Imlek merupakan perayaan tahun baru setelah Dinasti Han berhasil membuat kalender Cina, setelah dinasti-dinasti sebelumnya gagal.
Perayaan tahun baru yang dibuat sejak tahun 1500 SM ini menurut pria paruh baya yang akrab disapa Haji Ali ini untuk merayakan sukacita memasuki musim bertanam. Sementara, untuk ritual-riual tertentu seperti yang dilakukan penganut Buddha di klenteng merupakan ritual tambahan yang melekat dengan etnik Tionghoa yang mayoritas beragama Buddha.
Kue keranjang, yang selalu identik dengan perayaan tahun baru Cina itu sengaja dibuat awet menurut Haji Ali karena pada zaman dahulu ada kesulitan pangan. Sehingga, makanan yang bisa tahan hingga beberapa bulan itu dapat disimpan untuk cadangan bahan makanan.