Poligami, seperti ditulis cendekiawan Mesir kenamaan, Abbas Mahmud al’Aqqad, bukan anjuran apalagi kewajiban. Ayat yang mengizinkan berpoligami, mengandung makna boleh atau mubah dengan syarat-syarat tertentu.
Firman Allah yang berbicara tentang poligami: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 4)
Dikutip dari buku yang berjudul “Membumikan Alquran” karya M Quraish Shihab bahwa beberapa hal perlu digaris bawahi menyangkut ayat di atas: Pertama, ayat tersebut ditujukan kepada para pemelihara anak-anak yatim yang hendak mengawini mereka tanpa berlaku adil. Secara redaksional, orang boleh jadi berkata, jika demikian izin berpoligami hanya diberikan kepada para pemelihara anak-anak yatim, bukan kepada setiap orang.
Kendati konteksnya demikian, tetapi karena kenyataan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat Beliau menunjukkan bahwa yang tidak memelihara anak yatim pun berpoligami dan itu terjadi sepengatahuan Rasul SAW, maka tidaklah tepat menjadikan ayat di atas hanya terbatas kepada para pemelihara anak-anak yatim.
Kedua takut, yang merupakan terjemahan dari kata khiftum dapat juga berarti mengetahui. Ini mengandung makna bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga, tidak akan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan oleh ayat di atas melakukan poligami.
Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu/diragukan apakah dapat berlaku adil atau tidak seyogiana tidak diizinkan berpoligami, sebagaimana ditegaskan ulang oleh penutup ayat jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja.
Ketiga, ayat di atas menggunakan kata tuqsithu pada awal ayat dan ta’dilupada akhir ayat yang keduanya, karena keterbatasan bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berlaku adil. Memang ada sementara ulama yang mempersamakan maknanya, tetapi dalam pengetahuan bahasa yang membedakannya adalah tuqsithu berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang atau menerima baik.
Sedang ta’dillu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyengangkan salah satu pihak. Jika demikian, maka itu berarti izin berpoligami hanya diberikan kepada mereka yang menduga bahwa langkahnya itu dia harapkan dapat diterima baik semua istri yang dikawininya. Ini dipahami dari kata tuqsithu.
Namun demikian, kalau hal tersebut tidak dapat tercapai, maka paling tidak sang suami harus berlaku adil, walaupun poligami itu bisa jadi tidak menyenangkan salah seorang di antara mereka.
Keempat, sekali lagi ayat di atas bukan perintah, apalagi anjuran berpoligami. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dia berkata, “Jika Anda khawatir akan sakit bila maka makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda.”
Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekadar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu. Seandainya berpoligami yang berpontensi untuk dikawini haruslah empat kali lipat jumlah lelaki, karena apa arti anjuran jika apa yang dianjurkan tidak tersedia.
Maka, tidak serta merta poligami adalah ibadah, sebelum melihat kesesuaiannya dengan tuntunan agama. Sebab pernikahan dapat dinilai haram jika tidak sejalan dengan tujuan disyariatkan pernikahan.