Ini Alasan Rasul Suka Makan Paha Kambing

TERDAPAT beberapa hadis yang menunjukkan kesukaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Diantaranya, Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau bercerita, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah undangan. Kemudian dibawakanlah paha kambing, dan beliau menyukainya. Kemudian beliau menggigitnya satu gigitan.” (HR. Bukhari 3340 & Muslim 501)

Apakah hadis ini menunjukkan bahwa makan kambing statusnya sunnah? Kita berikan beberapa catatan. Pertama, informasi bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai daging kambing, bukan semua bagian kambing. Tapi hanya bagian pahanya. Dan berbeda antara menyukai daging kambing dengan menyukai bagian paha kambing. Seperti misalnya ada orang yang menyukai bagian kepala ikan. Belum tentu dia menyukai seluruh bagian ikan.

Kedua, ada pertimbangan masalah selera, mengapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai bagian paha kambing. An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menukil keterangan al-Qadhi Iyadh, Al-Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai paha kambing, karena mudah masak dan mudah dicerna, disamping lebih lezat dan lebih steril dari resiko penyakit. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 3/65)

Kemudian an-Nawawi menyebutkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau mengatakan, “Tidaklah Paha kambing disukai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain karena beliau jarang mendapatkan daging. Sehingga beliau ketika mendapatkannya, ingin segera memakannya, sebab paha adalah daging yang paling cepat masak.” (HR. Turmudzi 1954 dan dinilai dhaif oleh sebagian ulama).

Berdasarkan keterangan beliau, bisa kita pahami bahwa minat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap daging kambing, murni karena pertimbangan selera. Artinya, beliau lakukan itu bukan dalam rangka mengajarkan kepada umatnya agar mereka menyukai paha kambing. Karena selera masing-masing orang berbeda.

Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya, Afal ar-Rasul shallallahu alaihi wa sallam (Memahami Perbuatan Rasul shallallahu alaihi wa sallam) menyebutkan, “Kita harus membedakan perkara-perkara yang disukai dan yang tidak disukai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berikut masing-masing hukumnya. Yang pertama, perkara disukai dan yang tidak disukai yang muncul karena dorongan ingin membiasakan diri agar sesuai syariat. Dengan menyukai apa yang diajarkan syariat atau tidak menyukai yang dilarang syariat. Dua perbuatan ini menunjukkan hukum. Dan selayaknya untuk diikuti.

Kemudian beliau menyebutkan contohnya, Perkara disukai dan yang tidak disukai pada jenis pertama ini, yang menunjukkan hukum dan selayaknya beliau shallallahu alaihi wa sallam diikuti, seperti pernyataan Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan semampu beliau, ketika bersuci, memakai sandal, menyisir, dan dalam semua urusan beliau. (HR. Nasai 5257), dan beliau mencintai dua manusia diantara sahabatnya yaitu Abu Bakr dan Umar.

Kemudian beliau melanjutkan jenis kedua, Yang kedua, suka dan tidak suka karena bawaan tabiat, seperti menyukai yang enak dimakan dan menghindari yang tidak enak dimakan. Dan kecintaan semacam ini tidak ada tuntunan untuk ditiru, karena ini di luar kendali kehendak (dorongan dari dalam). Kemudian Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar menyebutkan contohnya, Diantara contoh perkara disukai dan yang tidak disukai pada jenis kedua ini adalah keterangan dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai makanan manis dan madu (Bukhari & Muslim). Beliau juga menyukai labu (Ahmad & Nasai). Minuman yang beliau sukai yang manis dan dingin (Muttafaq alaih). Dan roti atau adonan yang beliau sukai adalah tsarid (Abu Daud & Hakim). Beliau tidak menyukai aroma daun pacar (Ahamd & Abu Daud). Yang semacam ini tidak dianjurkan untuk ditiru.

Termasuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mau makan daging dhab karena tidak suka. Beliau mengatakan, Saya agak jijik, namun ini tidak diikuti oleh sahabat. Sehingga Khalid bin Walid tetap memakan hidangan daging dhab di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (Afal ar-Rasul shallallahu alaihi wa sallam, 1/221-222). Berdasarkan keterangan di atas, kami memahami bahwa memakan kambing masuk dalam perkara mubah dan bukan termasuk sunah. Sehingga bagi yang tidak doyan kambing, tidak harus memaksakan diri untuk menyukai kambing. Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK