Musibah bisa datang kapan saja. Bahkan datang tanpa kita sadari. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita berdoa untuk berlindung dari musibah.
عن عبد الله بن عمر – رضي الله عنهما – قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ، وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ، وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
“Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: bersabda Rasulullah ﷺ: ‘Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat-Mu, dan dari pindahnya keselamatan yang Engkau berikan, dan dari kedatangan sangsi-Mu yang tiba-tiba, serta dari seluruh murka-Mu’.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menjelaskan kepada kita, bahwa Rasulullah ﷺ berlindung kepada Allah dari empat hal:
Pertama, hilangnya Nikmat Allah
ﻣﻦ ﺯﻭﺍﻝ ﻧﻌﻤﺘﻚ
“Hilangnya nikmat-Mu”
Kata (hilang) menunjukkan bahwa sebelumnya sudah ada nikmat, kemudian nikmat tersebut menjadi hilang. Kenapa nikmat menjadi hilang? Paling tidak terdapat dua hal yang menyebabkan hilangnya suatu nikmat, yaitu; (1) menyalahgunakan nikmat (2) mengingkari nikmat. Kedua hal tersebut bisa diringkas menjadi satu, yaitu tidak mensyukuri nikmat.
Dalilnya adalah firman Allah,
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari nikmat Allah.” (Q: Ibrahim: 34)
Pada ayat di atas, Allah menyebutkan sifat manusia yang tidak mensyukuri nikmat, yaitu zhalim dan kafir. Dzalim artinya menyalahgunakan nikmat, sedangkan ? kafir artinya mengingkari nikmat.
Allah juga menjelaskan bahwa tidak mensyukuri nikmat menyebabkan hilangnya nikmat tersebut, sebagaimana firman-Nya,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS: Ibrahim: 7)
Begitu juga di dalam firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: al-Anfal: 53)
Diantara nikmat Allah yang paling besar dalam hidup dan wajib disyukuri adalah nikmat Islam dan Iman. Allah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS: al-Maidah: 3).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa nikmat Islam tersebut harus dijaga jangan sampai hilang dan tidak boleh terkena musibah. Adapun nikmat dunia, adalah nikmat yang tidak langgeng.
Harta yang dikumpulkan di dunia, cepat atau lambat akan hancur dan punah. Tidak sedikit orang yang baru mengumpulkan harta, kemudian tidak seberapa lama terkena musibah..
Rasulullah ﷺ mengajarkan do’a untuk memperingan musibah dunia, dan berdo’a agar musibah tersebut tidak menimpa agama. Hal ini tersebut di dalam hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu:
قَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهَؤُلاَءِ الدَّعَوَاتِ لأَصْحَابِهِ : اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ اليَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
“Sangat jarang Rasulullah ﷺ bangkit dari suatu majlis sehingga berdoa dengan doa ini untuk orang-orang yang duduk bersamanya: ‘Ya Allah, berikanlah kami rasa takut kepada-Mu yang bisa menjadi penghalang antara kami dan maksiat kepada-Mu, dan (berikanlah kami) ketaatan kepada-Mu yang bisa menyampaikan kami kepada surga-Mu, dan (berikanlah kami) keyakinan yang meringankan kami di dalam menghadapi musibah dunia, Ya Allah, berilah kami manfaat pada pendengaran kami, penglihatan kami dan kekuatan kami selagi kami hidup, dan jadikanlah ia kekal dengan kami dan terpelihara sehinggalah kami mati, dan Kau berikanlah balasan kepada orang yang menzalimi kami, dan bantulah kami terhadap atas orang yang memusuhi kami, dan janganlah Kau timpakan musibah pada agama kami, dan janganlah juga Kau jadikan dunia ini sebagai sebesar-besar kerisauan (matlamat) kami serta (janganlah Kau jadikan) pengetahuan kami mengenai dunia semata-mata, dan janganlah Kau biarkan orang yang tidak mengasihani kami menguasai kami’.” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasai. At-Tirmidzi berkata: Hadis ini Hasan Gharib)
Kata (ni’matika) menunjukkan bahwa seluruh nikmat yang ada di dunia ini, semuanya berasal dari Allah, bukan dari yang lain-Nya. Allah berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS: An-Nahl: 53)
Berkata al-Wahidi di dalam Tafsir al-Wajiz: “Apapun nikmat yang kalian dapatkan, baik berupa kesehatan badan, luasnya rezeki, atau kesenangan berupa harta dan anak, maka semua itu berasal dari Allah kemudian ketika kalian ditimpa sakit dan kebutuhan, maka kalian berteriak meminta pertolongan kepada Allah.” (bersambung…)
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)