Inilah Lima Karakter Muttaqin

Menegakkan shalat adalah cermin dari kesadaran yang tinggi orang Mukmin, dan salah satu ciri karakter muttaqin

AL-QURAN adalah kitab yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu, ia sangat detail membahas tentang manusia berserta karakternya ketika ia berhadapan dengan petunjuk itu sendiri.

Sebab, tidaklah manusia menolak, menerima maupun meragukan petunjuk Allah kecuali terdorong oleh apa yang ada dalam dirinya itu. Paling tidak, ada 3 pola umum karakter manusia yang disinggungnya, dimana masing-masing memiliki ciri khas dan nilai tersendiri.

الٓمٓ

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“Alif laam miin. Kitab (Al- Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS: Al-Baqarah : 1-2)

Pembukaan surah al-Baqarah, mulai ayat pertama sampai ke-20, mengupas ketiga bentuk karakter tersebut, yakni muttaqin, kafir, dan fi qulubihim maradh (munafiq).  Ketiga pola karakter tersebut tidak semata-mata bersifat teknis, atau hanya terkait dengan terminologi dalam aqidah.

Lebih jauh, Al-Quran tengah memberi peringatan dan bimbingan, agar manusia lebih memahami potensi internal dalam dirinya sendiri, lalu secara sadar bergerak untuk menyambut petunjuk yang Allah berikan. Sebab, Al-Quran tidak menyebutkan ketiganya secara bebas, namun dengan menyertakan ciri-ciri yang dengan itu siapapun dapat mendiagnosa dirinya sendiri.

Termasuk golongan manakah dia? Jika dia telah memahami status dirinya, maka diharapkan ia waspada dan senantiasa memohon kepada Allah agar diberi bimbingan serta dukungan menuju jalan-Nya. Artikel ringkas ini akan mengupas karakter pertama, dan insya-Allah akan diperlengkapi dengan uraian atas dua karakter berikutnya dalam artikel terpisah.

Lima karakter muttaqin

Karakter pertama dan terbaik yang disebutkan Al-Quran adalah muttaqin, yakni orang-orang yang bertaqwa. Biasanya, istilah taqwa dialihbahasakan menjadi “takut (kepada Allah)”, atau lebih luas lagi menjadi “melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.” Akan tetapi, penjelasan seperti ini lebih merupakan penjabaran atas konsekuensi dari taqwa, dan bukan makna asli maupun ciri lengkapnya.

Sebaliknya, Al-Quran Surah al-Baqarah 1-5 menjelaskan ciri lengkap karakter ini, sehingga setiap orang yang ingin bertaqwa dapat mencontohnya.  Secara bahasa, taqwa berarti melindungi diri atau memakai perisai.

Yang dimaksud di sini adalah melindungi diri dari siksa serta murka Allah. Jadi, pada dasarnya orang yang menyandang karakter muttaqin adalah mereka yang berusaha agar senantiasa terhindar dari siksa dan murka Allah.

Sebagai konsekuensinya, ia selalu menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itu bermakna pula, bahwa mereka yang tidak memiliki disiplin diri seperti itu termasuk golongan yang tidak akan terlindungi dari murka dan siksa-Nya.

Mengimani yang ghaib

Dalam pembukaan surah al-Baqarah, karakter pertama yang diperlihatkan oleh para muttaqin adalah mengimani yang ghaib. Istilah ghaib disini bukan dalam pengertian mistik dan dunia hantu, seperti yang dikesankan oleh banyak sinetron dan tabloid.

Ghaib adalah segala sesuatu yang ada namun tidak tampak oleh mata, seperti surga, neraka, malaikat, dll. Bahkan, seluruh Rukun Iman pun pada dasarnya mengimani kepada yang ghaib itu.

Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk tidak bersikap materialis, hanya mengandalkan kepada apa yang tampak dan empiris. Dalam banyak ayat, Al-Quran bahkan mencela orang-orang yang terlalu cenderung kepada dunia, menganggapnya sebagai segala-galanya dan satu-satunya tujuan. Sikap melupakan adanya alam ghaib adalah kebodohan besar yang sering diingatkan oleh para Nabi sejak zaman dahulu.

Hal ini penting, sebab jika manusia tidak menyadari adanya alam ghaib dan berpikir semata-mata berdasar alam materi ini, maka ia tidak akan terdorong untuk mempersiapkan kehidupan abadinya kelak. Sebaliknya, ia tidak akan merasa takut untuk berbuat buruk, terutama jika ia yakin bisa terhindar dari akibatnya atau kemungkinan besar dapat lolos dari jangkauan hukum.

Ini adalah awal kerusakan dan penyimpangan moral, dan ini adalah sikap yang sangat berlawanan dengan ketakwaan.

Menegakkan shalat

Karakter muttaqin yang kedua adalah menegakkan shalat. Dalam agama dan sistem kepercayaan apapun, baik yang sesat maupun lurus, selalu ada prosesi ritual tertentu yang menyatukan para pemeluknya ke dalam satu identitas.

Di dalamnya ada protokoler yang tetap dan ajeg, ucapan yang khusus, pakaian seragam yang spesifik, petugas yang tetap, tempat dan peralatan unik, yang semua itu harus dipenuhi dan dilaksanakan sebagai syarat keabsahannya. Jika ada yang tertinggal atau berjalan kurang lancar, maka ritual itu pun menjadi tidak khidmat, kurang sempurna.

Disini, Al-Quran menjelaskan bahwa diantara karakter muttaqin adalah kedisiplinannya yang tinggi dalam menegakkan shalat, baik terkait etika, waktu, syarat, rukun, tata cara, tempat, kekhusyu’an, dsb. Di tempat lain, Al-Quran menyebutkan manfaat shalat ini sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar (QS 29:45).

Menegakkan shalat adalah cermin dari kesadaran yang tinggi untuk selalu memelihara hubungan dengan Allah. Dengan kata lain, menegakkan shalat adalah benteng untuk memelihara sikap taqwa.

Kesediaan untuk berbagi

Karakter muttaqin yang ketiga adalah kemauan berbagi kepada sesama atas rezeki yang diterima dari Allah. Sejak awal dakwah Rasulullah, bahkan ketika beliau dan para sahabat pertama masih terjepit serta tertindas di Makkah, beliau sudah berkali-kali menyerukan sikap-sikap mulia berikut: menyantuni anak yatim, memperhatikan fakir miskin, memerdekakan budak, bersedekah, dan sejenisnya.

Sikap seperti ini merupakan pilar penopang keberlangsungan sebuah komunitas, agar seluruhnya ternaungi dalam kasih sayang dan kebersamaan yang berkeadilan. Bila tidak, maka manusia akan terjerembab ke jurang egoisme dan keserakahan, yang pada akhirnya merusak sikap takwa dan mengundang kemurkaan Allah.

Dalam surah al-Maa’un, Al-Quran mencela beberapa perilaku manusia, salah satunya adalah keengganan untuk menolang dengan barang yang berguna (yamna’uuna al-maa’uun). Sebetulnya, frase tersebut semula berarti keengganan untuk mempersilakan orang lain makan dari piringnya. Demikianlah, perilaku ini dapat diperluas kepada makna-makna lain yang sejenis.

Menerima otoritas ilahiyah

Pada bagian selanjutnya, karakter muttaqin dicirikan dengan kesediaan menerima otoritas Ilahi dalam mengatur kehidupan. Ketundukan, kepercayaan penuh, dan kesediaan untuk menerapkan aturan Ilahi adalah mutlak sebagai konsekuensi ketaqwaan.

Sebab, ia tahu bahwa kehidupannya hanya untuk Allah, dan jalan paling aman untuk menuju kesana hanyalah dengan memperhatikan rambu-rambu-Nya.  Ia tidak berhenti berpikir dan mempergunakan segenap potensi manusiawi yang dimiliki, namun ia tidak menjadikannya sebagai sandaran tunggal.

Bahkan, ia tidak mungkin menggantikan otoritas ilahi itu dengan buah pikiran dan prasangka akal manusia, seperti isme-isme dan ideologi lain. Ia selalu berpegang teguh pada otoritas ilahiyah, dan berpikir serta bekerja keras untuk mengikuti saran-sarannya. Otoritas Ilahi tersebut terangkum dalam kitab suci yang Allah anugerahkan kepada Nabi pilihan-Nya: Al-Qur’an, yang membenarkan kitab-kitab yang telah Dia turunkan sebelumnya.

Meyakini adanya alam akhirat

Terakhir, golongan muttaqin adalah mereka yang meyakini adanya alam akhirat. Sebagaimana telah disinggung diatas, keimanan kepada akhirat sangat penting perannya dalam membangun ketaqwaan.

Jika manusia berpikir bahwa kehidupan dunia ini adalah puncak terakhir eksistensinya, maka ia akan terjebak kepada beragam penyimpangan dan dominasi nafsu. Ia tidak perduli pada amalnya, sepanjang menyenangkan dan memuaskan.

Sedikit sekali keperduliannya kepada kebenaran, keadilan, kebajikan dan nilai-nilai kemuliaan manusia. Al-Quran menyebut golongan pengingkar akhirat sebagai manusia yang “tidak bisa mengenali apa pun” serta penuh kesombongan (QS 16:22).

Tidak bisa mengenali apapun termasuk tidak mengenal Allah, kebajikan, keburukan, bahkan dirinya sendiri. Hati mereka telah tuli sehingga tidak bisa mendengar, bisu sehingga tidak bisa diajak berdialog, buta sehingga tidak bisa membedakan apa-apa di hadapannya. Jelas, manusia seperti ini sangat amat sombong dan melampaui batas.*/Alimin Mukhtar, Ma’had Hidayatullah Malang

HIDAYATULLAH