Beragama, berislam, dan meniru Nabi pun ada caranya dan ada ilmunya.
Mencontoh Nabi SAW memang diharuskan dalam syariat, sebab beliau adalah sebaik-baiknya teladan. Namun demikian, berislam dengan Islamnya Nabi juga harus dijalankan dengan dasar ilmu, jangan sampai dimaknai dengan tidak perlunya seorang Muslim untuk bermadzhab.
Apalagi jika ada yang berdalih di zaman Nabi tidak ada madzhab. Justru melalui madzhablah umat Islam dapat mengenal bagaimana sebenarnya Islam ala Nabi Muhammad SAW itu.
Dalam buku Mazhabmu Rasulullah? karya Sutomo Abu Nashr dijelaskan, para ulama merumuskan konsep ‘Islam ala Nabi’ yang diklasifikasikannya berdasarkan sumber utamanya langsung, yakni Nabi Muhammad SAW. Dan semua itu tidak dapat ditemukan kecuali dari karya para ulama madzhab.
Misalnya, ada bagian yang memang wajib bagi Rasulullah akan tetapi tidak wajib bagi umatnya. Sholat witir, dhuha, dan berkurban adalah beberapa contoh yang dikenal sebagai ibadah sunah bagi umat Islam. Padahal dalam konsep Islamnya Nabi, ibadah tersebut adalah ibadah wajib bagi beliau.
Di sisi lain, ada bagian yang boleh bagi Nabi, tapi haram bagi umatnya. Contohnya adalah menikah lebih dari empat. Sebagai umat Islam, umat Islam dilarang melakukan hal itu. Sedangkan dalam konsep Islamnya Nabi, maka hal itu termasuk yang dibolehkan.
Dan ada sekian jumlah hal-hal personal dan lokal lainnya yang sudah dipetakan dengan sangat amat jelas oleh para ulama madzhab terkait mana yang syariat dan mana yang bukan. Hal itu semua dirumuskan agar tidak ada yang mengklaim itu sunnah Nabi, itu Islam Nabi, itu syariat Nabi yang wajib diikuti, atau bahasa sederhananya: dikit-dikit sunnah Nabi.
Padahal realitanya dapat dihukumi sunnah atau hanya perkara mubah. Malah bisa jadi merupakan perkara yang Islam haramkan, walaupun dalam Islamnya Nabi hal itu dibolehkan. Oleh karena itu, sebagian sahabat dahulu, pada saat ada hal-hal yang agaknya kurang tepat dari Nabi menurut pandangan mereka, dengan nada santun mereka akan bertanya terlebih dahulu: ‘apakah itu berasal dari wahyu?’.
Karena kalau itu wahyu, maka sejanggal apa pun menurut pandangan mereka, para sahabat akan dengar dan taat. Itulah syariat, dan itulah agama. Beragama, berislam, dan meniru Nabi pun ada caranya dan ada ilmunya.