Latar belakang terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap kelompok maupun individu dalam masyarakat memang bermacam-macam, mulai dari latar belakang status sosial, kepercayaan, suku, ras, kondisi perekonomian, dan lain sebagainya. Berdasar latar belakang tersebut pula, sangat dimungkinkan terjadinya tindak penindasan, oleh yang kuat terhadap yang lemah. Sehingga menjadikan semakin jauhnya prinsip keadilan bagi seluruh insan, juga semakin tidak berimbangnya kesejahteraan bagi setiap lapisan.
Perlu digarisbawahi bahwasanya hilangnya keadilan dan kesejahteraan sendiri sejatinya bertentangan dengan spirit yang dibawa oleh Islam. Karenya datangnya Islam memang tidak semata membawa pesan untuk mengimani Allah, tetapi juga membawa ajaran yang berguna untuk memperbaiki nasib seluruh penghuni bumi. Terlebih lagi, dijalankannya ajaran Islam bukanlah sebuah kemaslahatan bagi Allah, melainkan kemaslahatan bagi yang menjalankannya dan makhluk yang ada di sekitarnya.
Ketika menelusuri catatan sejarah pada awal masa perjuangan Islam, akan ditemukan sekian bukti yang menunjukkan bahwa Islam secara tegas melawan tindak penindasan, diskriminasi, dan yang sejenisnya. Bahkan berbagai perlawanan yang diupayakan Nabi Muhammad dan para sahabat pun bukan untuk membabat kekufuran dan kemusyrikan semata, tetapi lebih sebagai upaya penolakan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi saat itu.
Bukan hanya ditunjukkan dengan sikap Nabi Muhammad semata, nabi-nabi yang lain juga bertindak demikian. Misalnya ialah: Penentangan Nabi Hud atas pembangunan bangunan tinggi-tinggi untuk bermain, serta benteng-benteng yang menjadi sekat kepada masyarakat lainnya; perjuangan Nabi Syu’aib menentang para saaudagar untuk keadilan ekonomi, dan lain-lain. Karena pelaku penindasan, diskriminasi, dan yang lain sebagainya itu ialah orang-orang musyrik, maka seakan-akan perlawanan yang dilakukan adalah gerakan perlawanan ideologi terhadap orang musyrik.
Kelompok orang yang tertindas dan yang terdiskriminasi jika ditelusuri dalam Al-Qur’an, maka akan dijumpai redaksi yang mengarah pada kondisi tersebut, yakni kalimah al-mustadh’afin yang memiliki arti orang-orang yang dilemahkan atau tertindas. Pernyataan ini tercermin dari firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ [4] ayat 75.
وَمَا لَكُمۡ لَا تُقَـٰتِلُونَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِینَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَاۤءِ وَٱلۡوِلۡدَ ٰنِ ٱلَّذِینَ یَقُولُونَ رَبَّنَاۤ أَخۡرِجۡنَا مِنۡ هَـٰذِهِ ٱلۡقَرۡیَةِ ٱلظَّالِمِ أَهۡلُهَا وَٱجۡعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِیࣰّا وَٱجۡعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِیرًا
Dan mengapa kalian tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang bedoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dari sisi-Mu dan jadikanlah bagi kami seorang penolong dari sisi-Mu.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 75]
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan penduduk Makkah yang telah jenuh tinggal di tempat tersebut akibat perilaku diskriminatif dan penindasan yang mereka alami. Lebih lanjut, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhruddin ar-Razi juga menegaskan bahwa maksud al-mustadh’afin dalam ayat tersebut ialah kaum muslim yang menetap di Makkah dan menerima penindasan yang amat pedih dari kaum musyrik, sedang mereka tak mampu berpindah dari kota tersebut. Penafsiran ini didasarkan pada perkataan Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Bukhari, “Aku dan ibuku merupakan bagian orang-orang yang lemah dari golongan perempuan dan anak-anak.”
Namun bila kemudian ditarik dalam konteks sosial masa kini, sejatinya perintah untuk membela orang-orang yang dilemahkan atau yang tertindas (al-mustadh’afin) tidak terbatasi hanya untuk membela dan melindungi orang berdasar kesamaan kepercayaan maupun suku. Oleh karenanya, sangat mungkin apabila diambil pelajaran dari ayat tersebut untuk membela dan melindungi setiap orang yang dilemahkan, tentindas, maupun terdiskriminasi, meski berbeda dalam hal kepercayaan, suku, ras dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pembelaan Islam bukan berlatar pada siapa yang tertindas, akan tetapi perlawanan terhadap tindak penindasan itu sendiri.
Selain contoh di atas, contoh lain yang juga terdokumentasikan dalam Al-Qur’an ialah dalam surah Thaha [20] ayat 24 & 43, tentang seruan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mendatangi Fir’aun: seorang penguasa tiran yang telah melampaui batas (ath-thaghut). Menurut Imam Ibnu Katsir, sikap melampaui batas yang dilakukan oleh Fir’aun bukan saja karena aspek ketauhidan, yakni telah menuhankan dirinya sendiri, tetapi juga karena aspek sosial, yakni telah berlaku sewenang-wenang dengan melemahkan, menindas, dan menyiksa Bani Israil.
ٱذۡهَبَاۤ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ (42) فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلࣰا لَّیِّنࣰا لَّعَلَّهُۥ یَتَذَكَّرُ أَوۡ یَخۡشَىٰ (43)
Pergilah kalian berdua pada Fir’aun, karena sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar dan takut. [Q.S. Thaha (20): 43-44]
Meski telah mendapat seruan dari Allah untuk menghadapi dan menentang perilaku sewenang-wenang Fir’aun, bukan berarti menjadi legalitas bagi Nabi Musa dan Nabi Harun bersikap buruk ketika berhadapan dengan Fir’aun. Justru Allah tetap memerintahkan kepada keduanya untuk berlaku baik yang dicontohkan dengan perkataan yang lembut untuk menghadapi orang yang telah menyekutukan-Nya dan berlaku sewenang-wenang kepada makhluk-Nya.
Setelah memahami uraian di atas, terdapat setidaknya dua poin yang perlu dilingkari. Pertama, sesungguhnya Islam benar-benar menentang tindak penindasan, penganiayaan, dan sikap diskriminatif. Tidak terbatas yang dilemahkan atau yang ditindas itu berasal dari orang dengan latar belakang kepercayaan yang sama maupun tidak. Kedua, perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan bukan berarti mengharuskan untuk berlaku kasar terhadap pelakunya. Karena tujuan yang baik tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan selaras dengan norma-norma dalam Islam. Wallahu a’lam bish shawab.